Hari ini, kata-kata itu masih saja terdengar,
“ingat! kita adalah saudara yang datang dari tanah yang sama”,
dan lihat, “orang-orang yang saat ini sedang menjaring janji,
apakah besok mereka akan makan siang”?
atau bahkan makan malam yang direbut oleh badai saat ini?
Sungai-sungai tak lagi mengalir,
di kerumuni oleh cinta buta,
cinta yang selalu memutar kewarasan,
menjadi kursi tidur, tempat menyimpan debu,
yang hanya menutupi kuping untuk mendengar rintihan di sebelah trotoar.
Di tepi muara yang berlumpur,
kita sepertinya tak lagi menjadi akar,
yang menjalar menghidupkan ranting-ranting,
yang fana oleh “hitungan jam”,
sialnya kita sedang berjalan mengikuti arus simpatisan.
Kita sepaham, “mari membela yang lelah”,
tapi gulungan arus membela pada yang kuat,
sedang aku masih bertengkar menghitung jari,
biaya anak sekolah belum dilunasi,
susu si bungsu belum dibeli, apa bapak bisa membantuku?
Esok, aku masih tetap utuh,
mencari dari puing-puing sampah,
dari tanah tandus yang menjulang di batas kampung,
dan kata-kata ini yang tak binasa,
di hadapan para pembicara.
---
Nekafehan, 08 Desember 2020
Silivester Kiik - Penulis, Penggiat Literasi, dan Founder Sahabat Pena Likurai
Ikuti tulisan menarik Silivester Kiik lainnya di sini.