x

cover buku Penghargaan Sosial Semu dan Liminalitas Perempuan Migran

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 31 Mei 2021 07:22 WIB

Wajah Perempuan Grobogan Masa Kini

Penelitian Profesor Tri Marhaeni P Astuti ini menggambarkan perubahan posisi sosial perempuan Grobogan akibat dari migrasi antarnegara sebagai TKW.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Penghargaan Sosial Semu dan Liminalitas Perempuan Migran

Penulis: Tri Marhaeni P. Astuti

Tahun Terbit: 2013

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Widya Karya                                                                                            

Tebal: xxii + 303

ISBN: 978-602-8517-63-8

Studi-studi tentang pekerja migram perempuan, atau dalam istilah Indonesia Tenaga Kerja Wanita (TKW) kebanyakan fokus kepada kekerasan yang dialami oleh mereka dan aspek ekonomi. Jarang sekali riset yang berfokus kepada perubahan jatidiri dan peran perempuan pekerja migran di keluarga dan masyarakat. “Penghargaan Sosial Semu dan Liminalitas Perempuan Migram” karya Tri Marhaeni P. Astuti ini adalah salah sati riset di bidang jatidiri dan peran perempuan pekerja migran ini.

Dalam buku yang merupakan disertasinya ini, Marhaeni menemukan bahwa para perempuan migran mendapatkan posisi yang lebih baik di masyarakat. Mereka dihargai dan dikagumi. Namun kalau dilihat lebih mendalam, sebenarnya penghargaan yang diterima oleh perempuan migran tersebut adalah sebuah penghargaan sosial yang semu. Relasi perempuan migran dengan keluarganya dan dalam pengambilan keputusan di masyarakat masihlah belum banyak berubah.

Marhaeni meneliti perempuan migran asal Kabupaten Grobogan, tepatnya dua desa di Kecamatan Godong. Kedua desa tersebut adalah Desa Bugel dan Desa Sumberagung. Dua des aini mempunyai karakteristik berbeda. Desa Bugel berada di dekat kota kecamatan, sedangkan Desa Sumberagung berada di pelosok. Dengan memilih dua desa dengan karakter berbeda, Marhaeni bisa melihat perbedaan/persamaan bahasan tentang topik penelitiannya.

Pemilihan Kecamatan Godong, Kabupaten Grobogan sebagai lokasi penelitian adalah tepat. Sebab wilayah Grobogan pada umumnya, Kecamatan Godong khususnya adalah wilayah yang dari dulu mengalami kemiskinan akut akibat dari sumber alam yang kurang. Godong pernah mengalami kelamaran akibat kekeringan di jaman Tanam Paksa. Godong juga seringkali mengalami kegagalan panen padi akibat dari kekeringan. Di wilayah miskin seperti ini biasanya perempuan mempunyai peran yang penting dalam menopang ekonomi keluarga. Para perempuan membantu dan bahkan tidak jarang mengambil alih peran lelaki dalam menopang ekonomi keluarga.

Akibat dari seringnya terjadi kegagalan panen, penduduk Grobogan mempunyai pola migrasi. Para lelakinya seringkali bermigrasi ke luar daerah setelah masa tanam sampai menjelang panen. Aatu jika kekeringan terlalu lama, mereka juga bermigrasi untuk menjadi pekerja pertanian atau tukang batu di daerah lain. Para perempuan, khususnya yang masih muda ada juga yang menjadi pembantu rumah tangga di keluarga-keluarga kaya di desanya, di kota-kota yang tidak terlalu jauh dari desanya. Ada juga yang menjadi pembantu rumah tangga di keluarga-keluarga di kota berar, seperti Jakarta dan Surabaya.

Marhaeni memotret perubahan orientasi migrasi dari lokal ke internasional di Bab IV. Sejak tahun 1980-an, ada beberapa perempuan Grobogan yang menjadi pembantu rumah tangga di Arab Saudi. Fenomena keberhasilan TKW di Arab Saudi ini menarik para perempuan untuk mencari perbaikan ekonomi. Bekerja di Arab Saudi menjadi semacam cara untuk meujudkan mimpin keluar dari kemiskinan. Apalagi ketika kesempatan bekerja di negara-negara lain yang lebih dekat secara geografi dan kultural mulai terbuka. Sejak tahun 1990-an, negara-negara seperti Singapura, Malaysia dan Hongkong juga membuka peluang untuk menyerap tenaga perempuan sebagai pembantu rumah tangga. Kesempatan ini tak dilewatkan oleh para perempuan di Kecamatan Godong.

Selain dari alasan kemiskinan, ada alasan lain yang juga menjadi penyebab keputusan perempuan di Kecamatan Godong untuk menjadi TKW. Alasan lainnya itu adalah karena posisinya dalam keluarga yang tersiksa.

 

Pandangan yang Barubah di Masyarakat Namun Masih Semu

Dalam buku ini, Marhaeni menunjukan bahwa para perempuan migran yang berhasil, mendapatkan penghargaan sosial di desanya. Jika dulunya perempuan tidak mendapat tempat di ruang tamu, apalagi duduk di kursi tamu, mereka-mereka yang pulang dari merantau dan berhasil, sekarang mendapatkan tempat utama jika berkunjung ke sebuah rumah (hal. 99).

Perempuan migran ini membawa remiten ke keluarganya yang kemudian digunakan untuk memperbaiki rumah, menambah aset (membeli sawah), menambah kemewahan dan untuk menyekolahkan anak/adik-adiknya. Keberhasilan para perempuan migran ini terwujud dalam perubahan kesejarhteraan keluarganya yang ada di kampung.

Para perempuan migran yang berhasil ini juga dijadikan idola, karena penampilannya yang berbeda. Mereka kelihatan lebih modis, lebih bersih dan berbicara serta berperilaku seperti orang kota.

Banyak perempuan muda dan keluarga yang mempunyai anak perempuan berkeinginan supaya mereka bisa mempunyai keberhasilan yang sama dengan para perempuan migran ini. Keinginan untuk bekerja sebagai TKW tidak terbatas kepada mereka yang masih sendiri, tetapi juga para perempuan yang telah berkeluarga.

Keberhasilan para perempuan migran ini telah mengubah pandangan masyarakat bahwa mempunyai anak lelaki adalah lebih beruntung. Sekarang ini banyak keluarga yang justru menghaparkan mempunyai anak perempuan, karena ternyata anak perempuan lebih “berguna” dalam menolong keluarganya keluar dari kemiskinan.

Meski para perempuan migran yang berhasil ini mendapatkan posisi barunya dalam kehidupan sosial di masyarakat, namun harus diakui bahwa dalam hal pengambilan keputusan, para perempuan ini masih ditinggalkan. Dalam berbagai kasus yang tampak di Godong, perempuan … masih menempati posisi yang tidak penting dan tidak perlu didengar (hal. 159). Marhaeni menggunakan kasus pembangunan mushalla dan pembangunan jalan di Desa Sumberagung untuk menunjukkan bahwa perempuan belum dilihat sebagai pihak yang harus ikut mengambil keputusan. Dalam rapat-rapat pembangunan mushala dan pembangunan jalan, para perempuan ini tidak pernah dilibatkan, meski sumber dana dari pembangunan tersebut berasal dari remitan para perempuan pekerja migran tersebut.

 

Peran dan Hubungan Dalam Keluarga

Bekerja sebagai TKW membuat para perempuan ini mengalami perubahan pola hubungan dengan keluarganya. Beberapa perempuan migran ini harus menitipkan anak-anaknya kepada keluarga orangtuanya. Anak-aak perempuan migran ini harus hidup bersama nenek kakeknya. Ada juga yang harus meninggalkan anak-anaknya kepada suaminya yang tetap tinggal di desa. Peran perempuan migram ini kemudian hanya terfokus kepada tanggungjawab ekonomi. Perubahan peran ini tentulah tidak mudah. Marhaeni memaparkan beberapa kasus hubungan ibu-anak yang terpisah jarak dalam buku ini.

Meski berperan besar dalam aspek ekonomi keluarganya, khususnya untuk anak-anak yang ditinggalkan, namun ternyata para perempuan migran ini seringkali tidak mempunyai kontrol terhadap remiten yang dikirim ke keluarganya. Banyak kasus remiten ini tidak digunakan seperti yang diharapkan olehnya. Orangtua dan suami sering menggunakan remiten ini untuk kepentingan mereka sendiri daripada untuk menyejahterakan anak-anak yang ditinggalkan.

Hubungan perempuan migran dengan suaminya menjadi leboh longgar. Beberapa perempuan bahkan tidak lagi memedulikan suaminya. Kalau mereka mengirimkan remiten, itu karena alasan untuk anaknya, daripada untuk suaminya. Para perempuan migran yang pulang ke desa juga bisa memilih suami yang diingininya. Jika sebelumnya perempuan selalu dijodohkan, para perempuan migran ini bisa memilih sendiri lelaki yang akan dijadikan suami. Status mereka sebagai janda pun tidak menjadi halangan untuk memilih suami yang diingini. Bahkan lelaki yang lebih muda.

 

Posisi ambigu (liminalitas)

Marhaeini telah membahas bahwa para perempuan migran ini telah mendapatkan posisinya yang baru dalam masyarakat. Namun demikian sebenarnya para perempuan ini masih dalam situasi ambigu. Keputusan kaum perempuan bermigrasi ke luar negeri membawa beberapa konsekuensi yang harus ditanggung. Ia harus menghadapi batas kultural dan keterpisahan dari kultur lamanya. Ia mendapatkan pengalaman-pengalaman baru yang membuat mereka mempunyai pandangan-pandangan baru tentang masa depannya (hal. 34).

Marhaeni memotret bahwa para perempuan migram ini merasa sudah modern dan tidak lagi tertarik dengan ritual-ritual (Kisah Sulimah hal. 170). Mereka mempunyai hubungan yang lebih longgar dengan keluarganya. Mereka menjadi lebih berani untuk menentukan nasipnya sendiri (kasus Ninik hal. 127 dan Mustiyem 128). Meski demikian, para perempuan ini masih mempunyai kepedulian yang tinggi kepada anak-anak yang ditinggalkan bersama dengan keluarganya di kampung asal.

Situasi ambigu ini dijelaskan dengan contoh-contoh kasus oleh Marhaeni. Kecintaan kepada anak dan keterpaksaan untuk meninggalkannya adalah sebuah situasi ambigu yang dihadapi oleh para perempuan migran. Mereka merasa bersalah karena harus meninggalkan anak-anaknya (yang biasanya masih kecil dan masih membutuhkan kehadiran sosok ibu). Mereka juga merasa bersalah karena harus meninggalkan suami dalam waktu yang lama (hal. 239).

Situasi liminal juga dialami oleh para TKW yang memutuskan untuk kembali ke desa. Mereka harus kembali kepada kebiasaan-kebiasaan lama yang telah dilupakannya. Kebiasaan tentang makanan dan cara masak, cara bekerja dan relasi dengan keluarganya. Pengalaman-pengalaman di luar negeri telah mengubah kebiasaan dan cara pandang para TKW ini tentang banyak hal. Sehingga mereka mengalami situasi yang sulit ketika harus kembali ke kebiasaan lamanya di desa.

Situasi ambigu juga ditunjukkan para perempuan ini terhadap peran/kodratnya. Jika sebelum mereka pergi merantau ke luar negeri menganggap bahwa kodrat/peran perempuan adalah melahirkan, memelihara anak, mengurus suami dan rumah tangga, sekarang mereka merasa bahwa mencari uang adalah salah satu kodrat/peran yang bisa dijalankan. Apakah kodrat sebagai pencari nafkah ini adalah kodrat baru yang sudah diterima, ataukah peran ini hanya dianggap sebagai sebuah situasi sementara, sehingga saat mereka kembali dari merantu harus kembali kepada kodratnya yang lama? Sayangnya para perempuan migran ini masih merasa ragu dengan peran barunya. Sementara itu, suami dan keluarga malah masih memaknai bahwa peran pencari nafkah ini adalah peran sementara akibat dari sebuah keterpaksaan karena situasi.

Situasi liminalitas ini tidak seharunsya ditanggung oleh para perempuan migran sendiri. Keluarga dan pemerintah harus membantu mencari jalan keluarnya. Pemerintah perlu melakukan upaya pemberdayaan perempuan sehingga mereka lebih berani untuk menyuarakan haknya. Pemerintah dan masayrakat perlu melakukan penyiapan keluarga, khususnya dalam pola pengasuhan anak. Masyarakat harus semakin menyadari bahwa para perempuan pekerja migran ini mau tidak mau telah mengambil alih peran ekonomi bagi keluarga dan masyarakatnya. Sehingga tidak bisa lagi peran dalam pengambilan keputusan di keluarga dan masayarkat diabaikan begitu saja. 589

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB