x

cover buku Qin Kaisar Terakota

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 28 Juli 2021 06:09 WIB

Qin Kaisar Terakota dan Relevansinya dengan China Modern

Kaisar Qin Shi Huang adalah sosok yang berhasil menyatukan China. Kebesarannya diyakini setelah ditemukan makamnya di Xi’an. Makam ini dilengkapi patung prajurit seluruh badan. Sebelumnya kisah kebesaran sang Kaisar sudah terdokumentasi dalam naskah Kitab Sejarah Qin karya Shima Qian. Michael Wicaksono menulis ulang sejarah Kekaisaran Qin berdasarkan tiga sumber dengan merefleksikannya kepada Cina Baru di bawah Mau Tse Tung. Sejarah Kaisar Qin Shi Huang masih dipakai oleh China Modern sekarang ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Qin Kaisar Terakota

Penulis: Michael Wicaksono

Tahun Terbit: 2013

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Elex Media Komputindo          

Tebal: xxiv + 370

ISBN: 978-602-02-2616-3

 

Kaisar Qin Shi Huang adalah kaisar yang berhasil menyatukan China. Kebesarannya semakin diyakini setelah ditemukan makamnya di Xi’an. Makam ini dilengkapi dengan patung prajurit seluruh badan. Sebelum ditemukannya makam ini, kisah tentang Kaisar pemersatu China ini sudah terdokumentasi dalam naskah Kitab Sejarah Qin karya Shima Qian (hal. xiv), Intrik Negara-Negara Berperang yang ditulis Liu Xiang (hal. xvi) dan Almanak Keluarga Lu (hal. xvi). Michael Wicaksono menulis ulang sejarah Kekaisaran Qin berdasarkan ketiga sumber tadi dengan merefleksikannya kepada Cina Baru di bawah Mau Tse Tung.

Di awal-awal buku Wicaksono sudah menyampaikan bahwa penulisan tentang sosok Qin Shi Huang dalam ketiga buku rujukan itu terlalu banyak menuliskan sisi buruk dari Sang Kaisar (hal. xi). Itulah sebabnya Wicaksono ingin menuliskan kisah Sang Pemersatu China ini dengan lebih berimbang. Sebab, bagaimana pun Qin Shi Huang adalah orang besar yang mempersatukan China menjadi sebuah negeri. Bahkan nama China itu sendiri berasal dari kata Qin (Chin-a). Kaisar inilah yang menyatukan bahasa dan tulisan yang memudahkan komunikasi wilayah China yang begitu luas. Ia juga menyeragamkan ukuran, mata uang dan ukuran roda. Wicaksono menjelaskan bahwa dalam Qin digambarkan sebagai kaisar yang kejam dalam buku-buku sejarah yang ditulis setelah keruntuhannya adalah karena para penulis tersebut hidup di jaman kaisar-kaisar yang telah meruntuhkan Qin.

Dalam buku setebal 370 halaman ini Wicaksono menggambarkan siapa sesungguhnya Qin Shi Huang mulai sejak nenek moyangnya. Wicaksono tak segan memasukkan gosip tentang Qin sebagai anak haram. Ying Zheng (nama kecil Qin Shi Huang) adalah anak haram dari Lu Buwei dengan seorang perempuan yang kemudian menjadi selir Raja Zhao. Sebelum menjadi selir, si perempuan sudah mengandung anak dari Lu Buwei (hal. 101). Tak hanya membeberkan ulang gosip tersebut, Wicaksono juga menunjukkan fakta-fakta lain yang meragukan klaim Shima Qian bahwa Yin Zheng adalah anak haram, bahkan anak pelacur. Selanjutnya Wicaksono menuliskan perjalanan Yin Zheng sampai menjadi Qin Shi Huang, upayanya menyatukan China, kematiannya dan anak-anaknya yang tidak mempunyai kualitas untuk melanjutkan kepemimpinannya.

Selain menjelaskan perjalanan karir Qin Shi Huang sebagai Kaisar yang menyatukan China, Wicaksono secara menarik menggambarkan faktor-faktor yang digunakan oleh para pemimpin dalam memimpin negara. Dua hal yang menarik saya adalah tentang upaya untuk mempekerjakan para cendekiawan dan sistem kenegaraan. Dua faktor ini masih sangat relevan gunanya di masa China modern.

Para penguasa sering mencari cendekiawan untuk menjadi penasihat demi kemajuan daerahnya. Kisah pengangkatan Jian Shu dan Bai Lixi (hal. 16) sebagai menteri utama oleh Adipati Mu adalah contoh dari praktik menghargai para cendekiawan ini. Contoh lain adalah tentang Su Qin, seorang sarjana dari kalangan bawah yang dijadikan penasihat Raja Yan (hal. 58).  Bahkan di jaman Raja Zhuangxiang, Lu Buwei mengkoordinir para cendekiawan untuk menuliskan pengetahuannya supaya penguasa mempunyai legitimasi karen pengetahuannya tentang filsafat, seni dan ilmu pemerintahan (hal 132). Fakta-fakta ini membuktikan bahwa ada tradisi di kebudayaan China untuk menghargai cendekiawan sangat tinggi. Para penguasa selalu menjalankan kekuasaannya melalui konsultasi dengan para cendekiawan. Bukan hanya cara pedang.

Hal kedua yang saya dapati dari buku ini tentang politik pemerintahan adalah adanya berbagai aliran di Tiongkok Kuno yang dianut oleh para penguasanya. Aliran-aliran tersebut adalah Legalisme, Daoisme, Konfusianisme dan Mohisme. Aliran Legalisme adalah aliran yang menjunjung tinggi supremasi hukum dan meletakkan sistem perundangan di atas semua orang. Hanya sang adipate atau raja sebagai penguasa tertinggi yang kebal hukum, dan sabdanya adalah hukum itu sendiri (hal. 32). Aliran Daoisme adalah aliran yang menekankan kepada pentingnya mengikuti alam dan menjaga keseimbangan dunia. Pemerintah seharusnya memerintah tanpa melawan alam, sehingga rakyatnya akan damai (hal.  49). Aliran Konfusianisme adalah aliran yang menekankan kepada pentingnya keluarga. Hubungan keluarga adalah dasar dari tradisi nenek moyang. Dengan mementingkan keluarga maka kepercayaan rakyat kepada pemerintah akan sangat tinggi (hal. 50). Jika kepercayaan rakyat terhadap pemerintah tinggi, maka keutuhan pemerintahan akan terjaga, meski rakyat dalam kondisi lapar. Sedangkan aliran Mohisme adalah aliran anti perang. Menurut pengikut aliran ini, perang tidak ada gunanya (hal. 51).

Pada masa Dinasti Qin, aliran Legalisme sangat kuat pengaruhnya. Bahkan ada masa dimana keluarga kerajaan harus dipecah-pecah supaya negara lebih kuat dan tidak terbebani dengan biaya besar. Kebijakan legalisme ini tentu saja bertabrakan dengan prinsif konfusianisme yang sangat menghargai keluarga. Itulah sebabnya, ketika Dinasti Qing runtuh, dinasti berikutnya yang menganut (kembali) konfusianisme membuat penulisan sejarah yang menampilkan sisi buruk Dinasti Qing yang menganut politik Legalisme secara kuat.

Wicaksono menjelaskan bahwa Mao adalah pemimpin China modern yang sangat menghargai Legalisme. Bahkan Mao pernah berucap “Aku mengagumi Qinshihhuang, dan tidak mengagumi Konfusius…” (hal. x). Saya jadi mengerti mengapa di era Revolusi Kebudayaan, Mao begitu giat merombak keyakinan masyarakat. Pengalaman betapa kerusakan yang ditimbulkan oleh perbedaan paham aliran politik di masa lalu, sepertinya membuat China berupaya mempertahankan satu pahan saja dalam menjalankan pemerintahannya. Tidak penting paham apa yang diyakini. Apakah itu komunisme, atau kapitalisme yang dibungkus komunisme atau apa. “Tidak masalah kucing kuning atau hitam, yang penting bisa menangkap tikus,” demikian ucapan Deng Xiao Ping sang suksesor Mao. 611

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB