Menyikapi Sumber Informasi dengan Tabayyun ala Santri

Selasa, 26 Oktober 2021 11:29 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sadar atau tidak, kita hidup di zaman yang dibanjiri informasi. Terlepas penting atau tidak, kabar-kabar begitu saja membanjir tanpa kita tahu asal muasalnya. Sebut saja lewat Televisi dan media sosial. Bahkan kalaupun kita menolak kedua itu, informasi-informasi tetap datang di tempat-tempat yang semestinya menjadi wilayah privat, katakanlah Whatsapp dan surat elektronik.

Sadar atau tidak, kita hidup di zaman yang dibanjiri informasi. Terlepas penting atau tidak, kabar-kabar begitu saja membanjir tanpa kita tahu asal muasalnya. Sebut saja lewat Televisi dan media sosial. Bahkan kalaupun kita menolak kedua itu, informasi-informasi tetap datang di tempat-tempat yang semestinya menjadi wilayah privat, katakanlah Whatsapp dan surat elektronik.

Dulu, di masa Orde Baru, informasi terhambat karena ada pihak-pihak yang mengekangnya. Namun sekarang, semuanya seolah-olah terbolak-balik. Kita tenggelam di dalam lautan informasi yang seolah-olah hanya dapat dinikmati secara sekilas-sekilas.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Katakanlah jika Anda tidak punya HP, informasi tetap akan menyerang lewat orang-orang di sekitarmu. Mereka bertukar kabar dengan dasar, bila meminjam istilah Bapak Quraish Shihab, "Katanya dan katanya."

Maka dari itu, kita perlu alat untuk menguji, dan menyeleksi kelayakan informasi tersebut, yang sering kali menyerang tanpa memberikan sejenak waktu untuk kita bersiap-siap. Alat termudah dan termurah, kita mengenalnya sebagai ilmu logika, tetapi sayang sekali, alat ini tidak dikenalkan secara serius di sekolah-sekolah. Bahkan barangkali, guru-gurunya pun tak akrab dengan ilmu tersebut.

Namun di tempat lain, yaitu pesantren, ilmu logika diajarkan di kalangan santri. Dia menjadi satu mata pelajaran dan setara dengan mata pelajaran yang lain. Oleh sebab itu, bersyukurlah bila kamu seorang santri.

Yang perlu diketahui, para santri tidak menyebutnya sebagai ilmu logika, melainkan ilmu mantiq. Mantiq adalah bahasa arab, berasal dari akar kata nathaqa, yang artinya, berpikir. Sedangkan orang yang berpikir disebut nathiqun, dan objek yang dipikirkan disebut manthuqun. Dan alat berpikirnya disebut manthiqun.

Dengan menguasai ilmu mantiq, kita dapat menghemat waktu dan energi. Sebab apa pun informasinya, dapat kita gugurkan secara langsung bila terdeteksi mengandung sesat pikir. Dengan begitu, tak perlu lagi menggunjingkan informasi tersebut lama-lama. Apa perlunya menggunjingkan  informasi yang menyesatkan?

Perkara informasi, sebenarnya ada dua poin yang mesti digaris bawahi. Yang pertama, pembawa informasi tersebut, atau biasa disebut sumber informasi. Yang berikutnya yaitu, isi informasi tersebut.

Dalam ajaran Islam yang juga diajarkan di pesantren, ada sebuah tradisi yang disebut tabayyun, yang artinya, mencari kejelasan hingga terang dan benar. Tabayyun juga dapat dipakai sebagai alat agar akal seseorang tetap waras dalam menghadapi era informasi hari ini.

Dalam QS Al Hujarat ayat 6, dianjurkan bahwa, pembawa kabar atau informasi yang patut di-tabayyun ialah orang-orang fasiq; orang yang kesehariannya kerap melanggar aturan agama; melakukan tindakan keliru yang berujung pada dosa, dan pelanggar budaya positif masyarakat.

Meskipun demikian, tabayyun sebaiknya tetap dilakukan bila informasi terkait menyangkut kemaslahatan khalayak. Artinya, meskipun keluar dari mulut-mulut orang baik, informasi tetap harus diuji. Sebab boleh jadi informasi tersebut mengalami pengikisan karena prosesnya yang panjang dari satu tangan ke tangan yang lain. Selain itu juga untuk mengantisipasi kalau pembawanya ialah seorang pelupa. Ini biasa terjadi bila pembawa informasi itu orang-orang berusia senja.

Di lain hal, tabayyun semestinya cuma berlaku pada informasi yang sekiranya penting. Karena saking banyaknya informasi, kemungkinan seseorang akan lelah bila semua mesti dicari kebenarannya. Terlebih, untuk apa juga mencari kebenaran informasi yang tidak penting; yang tiada manfaat bagi diri sendiri maupun orang banyak.

Namun  yang jadi soal, tabayyun hanya berfungsi bila seseorang bermental berani mengakui kalau dirinya bodoh atau tidak tahu. Sedangkan menjadi bodoh itu memalukan, dan anggapan itu membuat orang tergesa-gesa menarik kesimpulan pada suatu informasi.

Padahal perlu diketahui, bahwa setiap orang hanya pintar di satu atau dua hal, dan bodoh di lain hal. Dengan menyadari itu, sebenarnya kita tak perlu malu dengan kebodohannya dan mau sering-sering bertanya. Hanya dengan begitu tabayyun dapat difungsikan agar kita tidak torambang-ambing di era sekarang ini.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler