x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 1 November 2021 16:41 WIB

Minimum 3 Pasang Capres agar Pilpres 2024 Lebih Sehat

Pilpres mendatang akan lebih sehat bagi perkembangan demokrasi maupun kesehatan kehidupan masyarakat bila pasangan yang turun ke gelanggang lebih dari dua, minimum tiga pasang. Rakyat lebih punya pilihan, masyarakat tidak terbelah oleh ketegangan, serta membuka peluang bagi lahirnya pemimpin baru.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Pemanasan menuju pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden semakin terasa. Beberapa nama sudah menyatakan akan maju, di antaranya Airlangga Hartarto—Ketua Umum Golkar. Beberapa nama lain didorong untuk maju—yang bersangkutan tidak mengiyakan, tapi juga tidak membantah. Sebutlah di antaranya Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, Prabowo Subianto, hingga Puan Maharani. Ada juga yang tampak berminat, seperti Ridwan Kamil namun barangkali tengah menanti pinangan dari partai politik.

Banyak nama yang sudah muncul, dan mungkin akan bertambah seiring dengan semakin dekatnya jadwal perhelatan politik nanti. Mungkin saja Sandiaga Uno akan maju lagi, juga nama lain yang belum terpantau radar publik. Dari jumlah sebanyak itu, berapa akhirnya yang akan benar-benar bisa turun ke gelanggang pilpres? Mungkinkah 3-4 pasang capres-cawapres ataukah hanya ada 2 pasang?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Banyak pihak khawatir bila akhirnya hanya ada dua pasang capres-cawapres yang bisa berkompetisi. Kecemasan itu umumnya merujuk pada pengalaman pilpres 2019, yang dianggap menciptakan pembelahan masyarakat yang demikian tajam. Sebutan-sebutan tak layak menjadi trade mark pilpres masa itu serta meninggalkan bekas yang tidak mudah terhapus.

Peristiwa pasca pilpres pun tak kalah mengundang perhatian masyarakat luas. Pasangan Prabowo-Sandiaga yang demikian sengit berkompetisi dengan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amien kemudian bergabung ke dalam kabinet pesaing yang memenangi pilpres. Prabowo-Sandi mungkin ingin mengesankan bahwa kompetisi sudah selesai dan kemudian tiba saat untuk bersatu.

Namun, banyak pendukung Prabowo-Sandi yang kecewa dengan langkah itu, sebab dengan bergabungnya Prabowo-Gerindra, kekuatan yang berpotensi mengimbangi pemerintah lalu kehilangan kekuatan secara cukup berarti. Bila jumlah pasangan pada pilpres 2024 tetap dua pasang, pembelahan masyarakat ke dalam dua kubu seperti itu akan terulang, walaupun mungkin juga pasangan yang kalah akan bergabung dengan pemenang—sebab sudah ada contohnya, presedennya.

Pilpres mendatang akan lebih sehat bagi perkembangan demokrasi maupun kesehatan kehidupan masyarakat bila pasangan yang turun ke gelanggang lebih dari dua, minimum tiga pasang. Harapannya, ini akan mengurangi tingkat ketegangan di tengah masyarakat. Kita pernah menggelar pilpres, 2009, dengan 3 pasang capres/wapres: Megawati-Prabowo, SBY-Boediono, dan Jusuf Kalla-Wiranto. Bahkan, lima tahun sebelumnya, ada 5 pasang:  Wiranto-Salahuddin Wahid, Megawati-Hasyim Muzadi, Amien Rais-Siswono, SBY-Jusuf Kalla, dan Hamzah Haz-Agum Gumelar.

Aturan presidential threshold sebesar 20% tampaknya menjadi rintangan bagi munculnya banyak pasangan capres. Bila mengacu pada perolehan suara nasional dalam pemilihan legislatif 2019, potensi untuk tampilnya minimum 3 pasang capres-cawapres sebenarnya ada. Setidaknya ada tiga partai yang bisa menjadi motor pembentukan pasangan waktu itu: PDI-P (19,3%), Gerindra (12,57%), dan Golkar (12,31%). Bila partai-partai sisanya menyebar ke ketiga partai tersebut, 3 pasangan bisa dimunculkan. Namun, ini tidak terjadi, sebab beberapa partai cenderung untuk bergabung dengan PDI-P selaku petahana ketimbang membentuk koalisi tersendiri.

Ada faktor-faktor lain yang sangat berpengaruh di luar kalkulasi matematis semacam itu, seperti iming-iming kursi kekuasaan yang ditawarkan petahana, sehingga ini menjadi daya tarik partai lain untuk bergabung. Bahkan, kita menyaksikan, kompetitor sengit pun enggan duduk di kursi oposisi serta lebih suka bergabung dengan pemenang pilpres. Partai-partai dengan perolehan tanggung tidak mau ambil risiko mengusung capres sendiri, sebab banyak sumber daya yang harus dikeluarkan namun belum pasti menang.

Kehadiran banyak pasangan memungkinkan masyarakat untuk menimbang-nimbang lebih banyak pilihan. Kehadiran lebih banyak calon—minimal 3 pasang—membuat rakyat lebih leluasa untuk menentukan pilihan, tidak digiring untuk memilih salah satu di antara dua pasang, serta terhindarkan dari perselisihan, pengkubuan yang berlebihan, serta ketegangan yang melelahkan. Ini akan menjadikan pilpres 2024 lebih sehat dibandingkan sebelumnya.

Tapi, bagi oligarki, banyaknya calon tidak menguntungkan, sebab dinamika politik menjadi lebih sukar dikendalikan dibandingkan bila hanya ada dua pasang calon. Karena itu, mereka akan berusaha agar presidential threshold tidak diturunkan, apa lagi dihapus seperti tuntutan banyak unsur masyarakat. Sebab, presidential threshold dapat menjadi saringan awal untuk memilih pasangan yang maju.

Mereka yang bersikukuh mempertahankan presidential threshold 20% menginginkan kepresidenan yang kuat dengan dukungan yang kuat dari parlemen. Dan inilah yang terjadi saat ini, ketika mayoritas parlemen ditempati oleh partai-partai yang juga bergabung dalam pemerintahan. Kita bisa saksikan, DPR lebih menyerupai kepanjangan elite politik serta legitimator pemerintah ketimbang menjadi pelantang aspirasi rakyat. Mayoritas anggota DPR adalah teman satu partai politisi yang duduk di kabinet maupun institusi pemerintahan lainnya.

Kita memang membutuhkan kepresidenan yang kuat agar program-program yang baik bagi rakyat dapat berjalan, tapi tidak berarti bahwa pada saat yang sama DPR lantas dilemahkan sehingga tidak berdaya mengontrol jalannya pemerintahan dalam kapasitas sebagai wakil rakyat. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler