x

Iklan

Diaz Elprana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 11 November 2021

Jumat, 12 November 2021 17:01 WIB

Permainan Yang Berujung Maut (Part 2)


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Permainan Yang Berujung Maut

Part 2

“Selain Diaz, saya minta semuanya keluar dari ruangan ini.” Prof. Heru memandang Pak Noto, satpam perumahan, ia berkata,”Tolong dipastikan tidak ada diantara mereka semua yang pergi.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Orang itu mengangguk dan kami ditinggal berdua.

“Sini Diaz.” Prof. Heru mendekat dan berdiri tepat di depan mayat. “Bila memang pernyataan mereka semua benar, mustahil pemuda ini bisa meninggal.”

“Kita sudah bergerak cepat, Prof, setelah mendengar suara tersebut.” kataku.

“Benar sekali.”

“Apakah mungkin mereka berlima pelakunya?”

“Itu bisa saja.”

“Lalu kenapa tidak langsung menangkap mereka semua?”

“Saya belum menemukan alasan pria ini mati dan suara hantaman apa yang tadi kita dengar.”

Prof. Heru berjongkok di sebelah pemuda malang tersebut. Tanpa menyentuhnya, ia seperti orang mengintip, melihat sisi belakang dari korban yang bersandar di tembok.

“Nah ini dia! “kata Prof. Heru dengan semangat.

“Ada apa, Prof?”

“Lihat sini.”

Prof. Heru memundurkan tubuhnya untuk mempersilahkanku melihat sesuatu yang ia temukan.

“Astaga… pisau.”

“Terang saja tidak ada darah yang tercecer. Mayat ini bersandar, pisau dan darahnya tentu saja tidak ada yang bisa melihat.”

“Iya, Prof.” aku melihatnya dengan serius.

Ketika aku hendak memegang pisau tersebut yang menancap di punggung korban, Prof. Heru menarikku dengan keras,” Jangan disentuh!” aku ditariknya hingga hampir terjatuh.

“Kenapa Profesor?”

“Ingat, kita bukan polisi atau penyidik. Kita bisa saja menjadi tersangka bila sidik jari kita ada disini. Apalagi hukum, tidak mengakui adanya bantuan dari detektif swasta.”

“Maafkan saya, Profesor. Saya lupa.”

Prof. Heru tidak menjawab penyesalanku. Ia melanjutkan penyelidikannya.

Dia berjongkok ke kiri ke kanan untuk memastikan tidak ada sesuatu yang tertinggal dalam pengamatannya. Setelah sekitar 10 menit mengamati, ia berdiri. “Oke sudah. Sepertinya cukup.”

“Apa kesimpulannya, Prof?”

“Saya bisa katakan ini bukan pembunuhan bersama. Mungkin 1 orang tapi bisa juga 2 orang.” Ia menggosokan tangannya sambil memandang mayat itu.”Pria ini tertusuk pisau dari belakang. Jadi diantara kelima orang tersebut ada yang menusuknya secara cepat tanpa diketahui siapapun.”

“Berarti pasti pria?”

“Tidak pasti. Perempuan juga bisa. Saya mencurigai, bagian yang ditusuk adalah bagian kelemahan korban.”

“Maksudnya?”

“Pisaunya tidak terlalu besar. Tertusuk di punggung sebelah kanan. Itu bukan posisi jantung. Saya kira pembunuh tahu bahwa bagian kiri punggung korban pernah dioperasi.”

“Darimana Anda tahu?”

“Pria ini ditusuk memang hanya sekali. Tapi mungkin karena korban memberontak, tusukan tersebut tergeser hingga menjatuhkan sebuah tali benang.” Ia melangkah ke kiri mayat, lalu memperlihatkannya padaku.” Lihat itu.”

Aku mengikuti perintahnya.

“Aku kira itu rambut. Hanya saja tidak memantulkan cahaya. Bisa juga kain dari baju. Tapi sepertinya mustahil. Korban menggunakan baju biru, sedangkan tali kecil yang kita lihat berwarna hitam.”

“Luar biasa, Profesor.” Kataku mengangumi kehebatan mata dan pikirannya. “Lalu, selanjutnya apa yang akan Anda lakukan?”

“Saya hanya butuh 1 pertanyaan untuk mengetahui siapa pembunuhnya.” Ia melanjutkan dengan meminta kepadaku,” Tolong panggilkan semuanya kemari.”

“Baik, Profesor.”

Sekawanan anak muda itu aku panggil ke dalam kamar, termasuk beberapa satpam. Tampak dari wajah mereka aura gugup dan cemas bercampur aduk dengan penasaran.

“Ini tidak membutuhkan waktu lama.”kata Prof. Heru memulai percakapan, “sebelum saya menuju ke intinya, adakah dari Kalian berlima yang ingin mengatakan sesuatu?”

Mereka semua saling memandang satu sama lain.

“Tidak ada? Bila Kalian mengaku sekarang, itu lebih baik.”

Pemuda pemudi tersebut masih terdiam.

“Baiklah kalau tidak ada.” Prof. Heru berjalan mendekati kelima orang tersebut. Ia memberikan senyuman kepada mereka, tetapi matanya memandang tajam. “Coba tulis nama panggilan Kalian di kertas ini.” minta Prof. Heru sambil mengeluarkan kertas. Mereka semua menulisnya.

“Pertanyaan saya sederhana. Apa yang Kalian lakukan terakhir sebelum meninggalkan mayat ini?”

Perempuan pertama menjawab, “Kami sempat melakukan ‘starter’ pada Daniel.”

“Termasuk Anda dan dia?” Prof. Heru menunjuk perempuan yang satu lagi.

“Tidak. Kami berdua hanya tertawa saja.”

“Berarti Anda tahu siapa yang melakukan ‘starter’pada korban?”

Wajah ketiga pemuda mulai terlihat cemas.

“Katakan saja.” lanjut Prof. Heru.

“Rian yang memegang kakinya,” ia menunjuk pemuda pertama, “Azka memegang badannya,” sambil menunjuk pemuda kedua,” dan Dimas memegang tangannya.” Ia menunjuk pemuda terakhir.

Prof. Heru melihat ketiga pemuda tersebut. Bola matanya bergerak memandang setiap dari mereka. Sampai akhirnya bola mata tersebut berhenti pada satu orang.

“Anda pembunuhnya.” 

“Apa? Saya? tidak mungkin. Saya begitu dekat dengan Daniel.” Kata Azka.

“Karena Anda bersahabat dekat, pasti Anda tahu bahwa punggung kanan Daniel memiliki bekas operasi.”

“Saya yakin semuanya pasti tahu.”

“Bagaimana dengan posisi Anda yang memegang badannya. Diantara teman Anda bertiga, tidak ada yang bisa menyentuh punggung kanan korban selain Anda.”

Ia menggeleng.

“Bukan saya, Pak. Tidak mungkin saya.”

“Dan hanya Anda yang kidal. Satu-satunya syarat orang bisa membunuh korban di punggung bagian kanan, adalah dia pasti seorang kidal.” Prof. Heru menatap tajam pemuda tersebut, “hanya Anda dari mereka semua yang kidal. Masih mau menyangkal?”

“Itu hanya kebetulan.”

“Bagaimana Anda bisa menjelaskan adanya noda darah di lengan kiri kaos Anda?”

Pemuda itu terdiam menunduk.

Hampir semua orang di kamar tersebut melihatnya.

Tiba-tiba tanpa perkataan sedikitpun, pria itu mengeluarkan pisau dari kantong celananya. Dengan cepat ia menusuk pemuda disebelahnya, Rian, sambil berkata, “Dasar bangsat!”

Ia berteriak berkali-kali sambil menusuk temannya. Ketika ia melepas tusukannya dan berniat menusuk teman disebelahnya lagi, Prof. Heru dengan sigap bergerak cepat ke arah Azka sambil melempar sebuah pulpen kewajahnya. Ia mendorong Azka hingga mereka berdua terjatuh. Prof. Heru meninju tangannya yang memegang pisau lalu memukul wajahnya dua kali.

Azka tampak mulai lemas dengan hantaman Prof. Heru. Kemudian, dibalikkan tubuhnya lalu dikunci oleh Prof. Heru dalam posisi tengkurep.

“Cepat bantu anak muda itu, bawa saja langsung ke rumah sakit. Tutup darahnya.”

Aku mengambil beberapa tali di rumah tersebut, lalu kuberikan kepada Prof. Heru. Ia mengikat tangan Azka kebelakang menggunakan tali itu. “Saya punya urusan dengan Anda,” katanya sambil melihat Azka yang sudah terkunci,”setelah itu baru kita bawa ke polsek.”

Malam itu hanya tinggal aku, Prof. Heru, si pembunuh, Azka, dan korban pertama, Daniel, yang berada di ruangan tersebut. Sisanya, sudah menemani Rian ke rumah sakit. Terakhir, kami sempat dikabari bahwa luka tusukan di tubuh Rian, tidak begitu dalam. Sehingga ia masih bisa diselamatkan.

“Sepertinya hanya tinggal kita bertiga,” Prof. Heru membangunkan Azka untuk duduk bersandar di dinding, “di depan mayat itu,” ia menunjuk ke korban pertama,”jelaskan pada kami apa alasan kamu berbuat seperti ini?”

Pemuda itu membisu. Ia hanya melihat ke bawah seperti seseorang yang sedang menghitung kancing miliknya.

“Tidak ada jawaban?” tanya Prof. Heru dengan hangat.

“Sebenarnya saya sudah muak dengan mereka semua.” jawabnya tiba-tiba tanpa menatap Kami.

“Semua?”

“Iya, Pak.” Suaranya mulai lebih lancang, “Bila Anda tidak datang, saya pasti sudah dapat membunuh mereka semua malam ini.”

“Kenapa kamu ingin membunuh mereka semua?”

Ia terdiam sejenak. Sepertinya ia ragu untuk menceritakannya pada Kami.

“Ceritakan saja. Saya akan mencoba bijaksana bila memang kamu merasa mereka yang bersalah.”

“Baiklah. Saya akan ceritakan.” Ia memejamkan mata. Prof. Heru mendekatinya sambil berjongkok didepannya. “Saya adalah orang yang selalu dipermainkan oleh mereka semua.”

Ia melanjutkan.

“Mereka menganggap kita semua teman, tetapi buat saya mereka adalah penjahat.”

“Lanjutkan…”kata Prof. Heru.

“Awalnya saya bersedia tinggal ngekos di rumah ini adalah karena mereka mengajak saya. Saya bukanlah orang kaya, Pak, saya sudah jelaskan saya tidak bisa ngekos dengan uang bulanan yang begitu besar. Tetapi mereka semua meyakinkan saya kalau soal itu, akan diselesaikan bersama-sama nanti. Katanya, saya tidak usah bayar. Tujuannya supaya makin ramai saja kalau banyak yang tinggal disini.”

“Jawaban itu membuat saya bersedia ngekos disini. Pada mulanya tidak ada masalah yang terjadi selama tinggal disini. Tetapi lama-kelamaan, mereka berempat, selain Daniel, sering meledek saya. Saya seperti menjadi objek candaan mereka semua selama disini. Beberapa candaan yang sering mereka ucapkan kepada saya adalah seperti sudah makan numpang, tidur numpang, mandi numpang, semuanya numpang, sok-sok banyak ngomong. Itu baru satu. Sebenarnya masih banyak lagi. Kadang ketika saya buang air, mereka mendobrak pintu dan merekam saya. Juga, tidak jarang, mereka menendang-nendang saya tanpa alasan yang jelas.”

“Hal itu membuat saya merasa tidak bebas selama tinggal disini padahal saya juga dipaksa oleh mereka. Bila saya tahu sebelumnya saya hanya menjadi objek candaan, tentu saja saya lebih memilih tinggal di tempat kos sebelumnya. Walaupun harus bayar dan sempit, hati saya bahagia.”

“Puncak ketersinggungan yang saya rasakan terjadi ketika ada omongan saya akan diusir oleh mereka. Alasannya, saya tidak pernah iuran bulanan, sehingga mereka merasa layak untuk mengusir saya dan menggantinya dengan Daniel.” Ia menujuk ke belakang Prof. Heru. “Kasur hanya ada lima. Tiga di belakang bapak dan dua diatas untuk perempuan. Sehingga bila Daniel tinggal disini, pilihannya hanya dua, saya tidur di lantai atau saya diusir. Saya tahu itu bahasa alus supaya saya segera minggat dari sini.”

“Saya sangat tersinggung diperlakukan seperti itu. Oleh karena itu, saya merencanakan menghabisi mereka semua tanpa terkecuali. Tidak ada satupun orang yang membela selama saya diperlakukan seperti itu.”

Aku mulai merasa agak kasihan dengan pemuda itu ketika berbicara. Sempat terlintas dalam hati, aku merasa ia melakukan hal yang wajar.

 “Saya tahu tindakan saya salah dan bisa membuat saya di penjara. Tetapi di kampung halaman saya, memuaskan hati sendiri adalah segalanya.” Pemuda itu menatap Prof. Heru, “Karena kami selalu bermain permainan itu setiap malam dan bila pria yang kalah akan di ‘starter’, saya sudah merencanakan dan menyiapkan tiga pisau di kantong untuk membunuh mereka semua dengan bersih.”

“Rencana saya mendapatkan lampu hijau. Daniel kalah pada putaran pertama. Saya sudah sigap memegang badannya dan sudah menandai tempat mana yang akan saya habisi. Dia memiliki bekas operasi lipoma dan itu adalah posisi yang terbaik untuk menghabisi dia. Daniel sempat berontak, tetapi anak-anak yang lain menganggap berontakan tersebut karena ia akan di ‘starter’, padahal sebenarnya saya sudah menusuk dengan pisau punggungnya. Kepalanya sempat membentur dinding selama kejadian itu, tapi saya katakan badan saya yang terbentur. Tidak lama kemudian Daniel sudah diam, lalu kami semua keluar dari kamar tersebut meninggalkan pemuda itu. Kami ke atas tertawa-tawa, lalu tidak lama kemudian Kalian datang.”

“Apakah sudah semuanya diceritakan?” tanya Prof. Heru.

“Sudah.”

“Tapi saya ingin bertanya, bagaimana kamu bisa menusuk Daniel dengan pisau yang kecil dan juga kenapa bisa darahnya tidak bersemburan?”

“Pisau saya khusus dari kampung halaman saya. Itu pisau yang bisa menembus lemari kayu yang padat. Bentuknya tidak meruncing, tetapi seperti golok. Sehingga bila menusuk tubuh, hanya membekaskan tetesan darah tidak menyembur.”

“Menarik sekali,” Prof. Heru berdiri didepannya. “Kalau begitu saya sudah selesai. Polisi sebentar lagi akan datang dan saya akan coba jelaskan beberapa kesaksian dari kamu. Peluang kamu bebas, nol, tapi bisa saja hukumannya tidak seberat seperti seharusnya.”

Ikuti tulisan menarik Diaz Elprana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB