x

ilustrasi kredit syariah

Iklan

M Sutan Alambudi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 22 April 2024

Rabu, 1 Mei 2024 16:17 WIB

Pengertian Kredit Syariah, Solusi Jika Macet dan Cara Akuisisi Barang

Akad murabahah menjadi solusi dari produk ekonomi syariah, karena meringankan nasabah dalam pembiayaan barang/jasa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di era modern ini, Lembaga Keuangan Syariah (LKS) terus mengeluarkan produk hukum yang menjadi solusi agar kegiatan ekonomi yang dilakukan sesuai dengan aturan syariat Islam. Sehingga secara kasat mata, meski bergerak di bidang yang sama dengan bank konvensional, LKS tidak menggunakan istilah bunga dalam pembiayaannya. Karena menghindari dari khilafiyah/perbedaan pendapat soal bunga bank termasuk riba atau tidak. Berdasarkan dalil kaidah fikih:

الْخُرُوْجُ مِنَ الْخِلَافِ مُسْتَحَبٌّ

“Menghindari perbedaan pendapat itu lebih disukai.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam suatu transaksi, kita mengenal istilah pembayaran secara kontan dan kredit. Kredit di bank konvensional akan dikenai bunga. Sedangkan bagaimana jika di LKS? Sebelum itu, mari kita bahas sedikit hal yang mendasar. Kredit sudah punya aturan dalam undang-undang di Indonesia. Seperti tercantum dalam UU No. 4 tahun 2023 pada Bab IV Perbankan pasal 14 ayat 11:

“Kredit adalah penyediaan dana atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.”

Sedangkan dalam ayat 12 disebutkan:

“Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan dana atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.”

Hukum Kredit Syariah

Di dalam masyarakat, tentu tidak sedikit yang memerlukan bantuan penyaluran dana dari Lembaga Keuangan. Guna membantu masyarakat dalam melangsungkan dan meningkatkan kesejahteraan dan berbagai kegiatan, Lembaga Keungan Syariah menyediakan akad murabahah dalam transaksi bagi yang memerlukannya, yaitu menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba.

Pada tulisan sebelumnya, ada pembahasan tentang leasing syariah melalui akad IMBT (Ijarah Muntahiyatu Bi Tamlik) dengan teknis pembayaran diangsur. Dalam fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) NO: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah, sejumlah ketentuan di dalamnya ialah: a) Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba; b) Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syari’ah Islam; c) Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya;

Lalu disebutkan lagi bahwa: 1) Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan. 2) Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.

Maka secara teknis, kredit bisa disamakan dengan bai’ bitsaman ‘ajil (jual beli secara diangsur). Dalam ketentuan akad murabahah, nasabah akan membayar harga barang sesuai dengan kesepakatan dengan LKS setelah disepakati margin harganya (harga pokok dan untung). Sehingga adanya akad murabahah ini menjadi solusi dari produk ekonomi syariah, karena meringankan nasabah dalam pembiayaan barang/jasa sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya banyak dalam waktu sekaligus.

Mengatasi Kredit Macet

Tidak bisa dipungkiri dinamika dalam pembayaran angsuran/kredit yang terjadi, tidak selalu berjalan lancar alias kredit macet. Jika nasabah melakukan cidera janji atau wanprestasi, yakni ia tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditetapkan dalam perikatan atau perjanjian maka perlu dilakukan tindakan preventif agar meminimalisir resiko kerugian.

Dalam bank konvensional, barang/objek pembiayaan biasanya akan masuk dalam jaminan fidusia. Seperti keterangan dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF). Pasal 1 Angka 1 mengatakan bahwa:

“Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.”

Sedangkan jaminan fidusia dalam Pasal 1 Angka 2 UUJF ialah:

“Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.”

Maka bisa dipahami bahwa barang/objek pembiayaan tetap dalam kuasa pemberi fidusia, dalam hal ini Lembaga Keuangan. Sehingga apabila nasabah melakukan wanprestasi, maka jaminan fidusia dapat dieksekusi. Akuisisi aset dalam proses eksekusi atau penarikan kendaraan, misalnya, bisa dilakukan oleh debt collector. Tetapi pengeksekusi harus mememuhi beberapa syarat yakni adanya sertifikat fidusia, surat kuasa atau surat tugas penarikan, kartu sertifikat profesi, dan kartu identitas. Jika syarat itu tidak terpenuhi, maka penarikan debt collector tersebut tidak sah. Lalu bagaimana jika teknisnya dalam Lembaga Keuangan Syariah?

Akuisisi Barang dalam Fikih

Dalam fikih muamalah kita mengenal istilah syuf’ah. Dalam penerapannya, akad syuf’ah tidak lazim diterapkan di masyarakat Indonesia. Syuf’ah bisa diartikan sebagai hak mengambil kepemilikan secara paksa bagi syarik qadim atas syarik hadits di dalam benda yang dimiliki dengan imbalan. Maksudnya, dalam konteks akad ini ada dua orang yang mempunyai harta secara bersama (milku musytarak), misalnya sebidang tanah.   

Contohnya, sebidang tanah itu milik A dan B, berasal dari warisan ayah mereka. Luas tanah 1 hektar, maka 50% milik A dan 50% milik B, dan belum dibagi. Lalu si B menjual bagian tanahnya kepada si C dengan harga 200 juta. Maka tanah itu jadi milik A (syarik qadim) sebesar 50% dan C (syarik hadits) sebesar 50%. Lalu ternyata si A tahu bahwa bagian si B dijual ke si C, maka si A punya hak syuf’ah untuk membeli secara paksa tanah si C dengan harga yang sama. Si C tidak bisa menolak, karena itu hak si A, hak syuf’ah.  

Ketentuan objek syuf’ah ialah tanah atau yang ikut pada tanah. Tidak bisa dilakukan pada selain tanah. Kedua, objek syuf’ah bisa dibagi maka mengecualikan hal yang tidak bisa dibagi misalnya mobil atau sumur. Ketiga, perpindahan kepemilikan harus dengan ganti atau jual beli. Jadi mengecualikan jika si B ternyata menghibahkan tanah bagiannya kepada si C, maka si A tidak bisa melakukan hak syuf’ah karena si B hibah kepada si C. Keempat, hak syuf’ah dimiliki oleh syarik qadim atau sebab kepemilikannya terlebih dahulu.

Ini merupakan ketentuan syuf’ah dalam mazhab Syafi’i. Sedangkan dalam mazhab Hanafi menambahi bahwa hak syuf’ah tidak hanya dalam syirkah tapi juga bisa berlaku dalam hubungan jawarah (bertetangga).

Dalam satu riwayat, Rasulullah bersabda bahwa objek syuf’ah belum dibagi.

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اَللَّهِ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: ( قَضَى رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِالشُّفْعَةِ فِي كُلِّ مَا لَمْ يُقْسَمْ, فَإِذَا وَقَعَتِ اَلْحُدُودُ وَصُرِّفَتْ اَلطُّرُقُ فَلَا شُفْعَةَ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ

Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam telah menetapkan berlakunya syuf’ah (hak membeli bagian dari dua orang yang bersekutu) pada setiap sesuatu yang belum dibagi. Apabila telah dibatasi dan telah diatur peraturannya, maka tidak berlaku syuf’ah. Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari.

وَفِي رِوَايَةِ مُسْلِمٍ: ( اَلشُّفْعَةُ فِي كُلِّ شِرْكٍ: أَرْضٍ, أَوْ رَبْعٍ, أَوْ حَائِطٍ, لَا يَصْلُحُ أَنْ يَبِيعَ حَتَّى يَعْرِضَ عَلَى شَرِيكِهِ )

Menurut riwayat Muslim: “Syuf’ah adalah setiap kepemilikan bersama pada tanah, tempat tinggal, atau kebun. Ia tidak sah untuk dijual sebelum mengabarkan kepada rekannya.”

Maka akad syuf’ah ini tidak pas jika dimasukkan pada ranah akuisisi aset selain tanah, dalam kredit yang macet atau saat nasabah melakukan wanprestasi.

Pembayaran Kredit Syariah Macet

Pembiayaan dari LKS kepada nasabah, adakalanya berdasarkan pada prinsip jual beli maupun akad lain yang pembayaran dilakukan secara angsuran. Tetapi, terkadang ada nasabah mampu yang menunda kewajiban membayarnya. LKS menanggapi hal terset melalui Fatwa DSN NO: 17/DSN-MUI/IX/2000, tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu Yang Menunda-nunda Pembayaran bahwa dalam kentutuan umum:

  • Sanksi yang disebut dalam fatwa ini adalah sanksi yang dikenakan LKS kepada nasabah yang mampu membayar, tetapi menunda-nunda pembayaran dengan disengaja;
  • Nasabah yang tidak/belum mampu membayar disebabkan force majeur tidak boleh dikenakan sanksi;
  • Nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran dan/atau tidak mempunyai kemauan dan itikad baik untuk membayar hutangnya boleh dikenakan sanksi;
  • Sanksi didasarkan pada prinsip ta’zir, yaitu bertujuan agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya;
  • Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani;
  • Dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial.

Sanksi dalam fatwa ini diperuntukkan bagi semua akad yang menyaratkan pembayaran, tidak hanya dalam murabahah. Begitu pun sanksi ini khusus bagi nasabah mampu tapi menunda pembayaran.  Dari segi teknis, praktik pemberian sanksi tentu melalui beberapa fase. Misalnya di awal diberi peringatan penagihan jika pembayaran sudah jatuh tempo. Kemudian jika masih belum dibayar, bisa dikenakan SP1-3.

Jika masih belum dibayar, LKS masih memberi solusi dengan menawarkan rescheduling, yaitu memperpanjang jangka waktu pengangsuran dengan sistem perubahan syarat pembiayaan yang menyangkut jadwal angsuran dan ini dilakukan dengan musyawarah dengan nasabah. Jika masih belum bisa kooperatif, ditawarkan solusi dengan restructuring yaitu nasabah eks-murabaḥah yang akadnya dikonversi pada akad IMBT, mudharabah dan musyarakah. Jika belum ada jalan keluar, maka  penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah.

Dalam fatwa DSN NO: 04/DSN-MUI/IV/2000 juga disebutkan bahwa nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian utangnya. Maka dari itu, ia layak mendapatkan sanksi jika melakukan wanprestasi.

Kemudian apabila ternyata jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan utangnya, bank harus menunda tagihan utang sampai ia menjadi sanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan. Sedangkan ketika terjadi force majeur (keadaan-keadaan yang terjadi di luar kekuasaan nasabah) yang berdampak secara langsung dan materiil sehingga nasabah tidak dapat memenuhi kewajibannya seperti gempa bumi, badai, angin topan, banjir, kebakaran, tanah longsor, peperangan, embargo, pemogokan umum, hura-hura, peledakan, dan pemberontakan.

Di sini LKS memberikan solusi terbaik agar kedua pihak tidak dirugikan, dan biaya dalam sanksi pun dialokasikan kepada kegiatan sosial, bukan untuk LKS sendiri karena akan dianggap riba. Jadi dari segi hukum, sanksi tersebut  tidak menyalahi syariat Islam karena posisinya sebagai ta’zir agar tidak mengulangi kesalahannya.  Apakah pembayaran secara kredit/angsur sama dengan kartu kredit? Semoga ada di bahasan selanjutnya. Wallahu a’lam.


Muh Sutan, alumni Ma’had Aly Hasyim Asy’ari

Ikuti tulisan menarik M Sutan Alambudi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Penumbra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terpopuler

Penumbra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu