x

Iklan

Jessica Martin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 November 2021

Senin, 15 November 2021 06:22 WIB

Mulutmu Harimaumu

Hai semuanya aku mau ikut lomba cerpen. Mohon bantuannya ya. Hope you enjoy ya dengan cerpen yang aku buat. Terima kasih dan selamat membaca

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bel istirahat berbunyi dan semua murid keluar dari kelas.

     “Cha, Tia ke perpus yok”, kata Gwen.

     “Ayok aku mau pinjem buku juga nih”, jawab Tia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

     “Aku laper guys, aku ke kantin aja ya hehehe”, ujar Echa.

     “Ya udah gakpapa, nanti kalau ada apa – apa bilang kita ya”, jawab Gwen.

Echa menganggukkan kepalanya untuk menisyaratkan kata “iya”

            Gwen, Tia, Echa menjalin persahabatan sejak SMP hingga saat ini. Namun Echa memiliki keterbatasan fisik dan mental yang kurang sehat karena sering dibully, jadi Gwen dan Tia yang hanya bisa mengerti apa yang Echa mau. Walaupun Echa memiliki keterbatasan fisik dan mental yang kurang sehat, orang tua Echa tidak mau memasukkan anaknya disekolah khusus mereka memiliki pandangan kalau Echa bisa melakukan seperti anak lainnya.

     “Tia, aku gak tega deh kalau kita ninggalin Echa. Kasian dia nanti mentalnya drop lagi bahaya”, kata Gwen dengan nada cemas.

     “Iya juga sih, yaudah kita cepet aja ambil bukunya terus ke kantin”, tambah Tia.

            Gwen dan Tia bergegas menuju perpustakaan untuk mengambil buku yang ingin mereka pinjam dan segera pergi ke kantin.

     “Terima kasih Bu Siska”, kata Gwen.

     “Sama – sama jangan lupa dikembalikan tepat waktu ya”, ujar Bu Siska.

     “Siap bu”, jawab Tia.

     “Ayo cepet Tia”, kata Gwen dengan nada yang semakin kelisah.

     “Iya sabar ini tali sepatuku lepas”, jawab Tia sambil membenahi tali sepatunya. “Nah udah nih, ayo ayo!!”

Di kantin sekolah, Gwen dan Tia segera menemui Echa

     “Cha kamu gakpapa?”, tanya Gwen dengan napas yang tidak teratur.

     “Gakpapa kok kenapa? Kalian juga capek banget kayaknya habis dihukum?”, jawab Echa dengan tenang.

     “Enggak, kita khawatirin kamu”, ujar Tia.

     “Tenang aja, aku udah bisa marah. Kemarin aku belajar marah di rumah”, jawab Echa dengan mulut yang penuh oleh bakso.

     “Uuh syukurlah”, ujar Gwen sambil menghela nafas panjang.

     “Kalian mau makan apa? Ambil aja nanti aku bayarin”, kata Echa ke Tia dan Gwen.

     “Enggak deh aku udah bawa bekal dari rumah tapi gak aku bawa hehehe”, jawab Gwen dengan malu – malu.

     “Aku boleh pesen gak?”, tanya Tia kepada Echa.

     “Boleh ambil aja nanti aku yang bayar. Sekalian Gwen ambilin juga gengsi mungkin dia”, jawab Echa.

Tia mengajungkan ibu jarinya untuk mengatakan “oke siap”

     “Aku ikut Tia, kamu gakpapa kan kalu ditinggal sebentar”, kata Gwen.

     “Tenang aja gakpapa kok”, jawab Echa yang sambil mengambil sambal.

            Gwen dan Tia pergi ke warung bakso yang ada di kantin sekolah. Sementara itu, ada geng Zea yang suka membully murid yang lemah.

     “Gengs lihat itu sasaran empuk kita”, kata Zea kepada Shelly dan Jenifer

     “Gas kuy, mumpung dia sendirian”, kata Shelly dengan semangat

Zea dan gengnya menghampiri Echa yang sedang makan bakso dan duduk sendirian

     “Hai anak gajah, sendirian aja nih”, kata Jenifer sambil menepuk punggung Echa.

     “Sendirian aja nih, mana itu bodyguardmu atau jangan – jangan mereka udah bosen ya sama kamu”, Zea semakin membuat panas keadaan

Mendengar perkataan Zea dan Jenifer, Echa langsung naik pitam dan menggenggam tangannya

     “Pasti lagi marahan sama sahabatnya secara diakan udah bau, gendut, disabilitas lagi hahahahahaha”, kata Shelly dengan nada yang mengejek dan makin membuat panas keadaan.

     “Kalian mau apa?”, kata Echa dengan nada tinggi hingga Gwen dan Tia menengok ke arah Echa dan segera menghampiri Echa.

     “Kenapa sih kalian bully aku terus, aku udah berusaha ngelupain kalian terus bully aku”, kata Echa dengan nada keras dan sambil menangis

     “Echa Echa diem ya udah ya jangan nangis. Tia tenangin Echa dulu, aku mau urus mereka dulu”, kata Gwen kepada Echa dan Tia

     “Oke oke”, jawab Tia

     “Lemah dia, digituin aja nangis, Putri aja yang hampir sama kayak si gajah ini enggak nangis “, kata Shelly dengan nada jutek.

     “Hey jaga bicaramu baik – baik. Aku bisa laporin ini ke BK, keterlaluan kamu ngatain temen sendiri kayak gajah emang kamu mau dikatain gitu”, kata Gwen sambil marah besar dan menunjuk Zea.

     “Aku mah fine fine aja dikatain gak dimasukin ke hati kayak si gajah itu”, jawab Zea dengan nada santai dan tidak memperdulikan perkataan Gwen.

     “Hey ngomong gitu lagi kita berantem di sini”, kata Gwen yang menantang Zea.

     “Kalian ini mau apa sih, selalu buat masalah”, kata Tia.

     “Iya dong kita puas banget kalau bisa buat masalah apalagi sampe ada yang nangis kayak si gajah ini”, kata Zea yang terus – menurus membuat panas keadaan.

Gwen menampar Zea dengan keras sampai pipi Zea merah.

     “Hey apa – apaan ini, sini maju kita berantem di sini”, kata Zea kepada Gwen. Zea memulai dengan menjambak rambut Gwen, dan Gwen membalas jambakan dari Zea.

     “Hey udah - udah malah berantem, kalian nanti yang dipanggil guru BK”, kata Tia sambil melerai Zea dan Gwen. “Kalian juga Shelly, Jenifer malah seneng mereka berantem”

     “Oh jelas dong aku yakin Zea bisa ngalahin Gwen makanya kita ketawa”, jawab Jenifer dengan nada jutek.

     “Udah Gwen, lihat Echa jangan kepancing emosi”, ujar Tia yang berusaha menenangkan Gwen

     “Awas aja kamu Zea”, sambil menunjuk Zea dan dengan tatapan dendam. “Echa kamu gakpapa kan?”, tanya Gwen kepada Echa.

     “Gakpapa kok aku udah bisa kontrol emosiku, ayo ke kelas aja”, jawab Echa. “Oh ya Tia bayarin ya baksonya ini uangnya” sambil memberikan uang yang ada disakunya.

Tia segera pergi ke warung bakso dan membayar baksonya

     “Bu baksonya yang tadi gak jadi ya. Terus ini baksonya Echa belum dibayar. Bu jangan bilang Bu Wati ya nanti aku sendiri aja yang bilang”, kata Tia.

     “Siap non, makasih ya non”, ujar Bu Siti

     “Sama – sama bu”, balasan terima kasih Bu Siti kepada Tia

            Gwen, Echa, dan Tia pergi ke kelas untuk menenangkan diri. Beberapa menit kemudian ada pengumuman.

“Ting tong ting tong” (musik untuk masuk pengumuman)

     “Perhatian kepada seluruh siswa/i baik yang ada di kelas maupun di kantin. Untuk murid yang Pak Bayu panggil segera menemui Bu Wati di ruang BK dan izin untuk tidak mengikuti pembelajaran jam ke 3 dan 4 ke guru bidang study. Panggilan ditujukan kepada Gwen, Tia, Echa, Zea, Jenifer, Shelly segera keruang BK dan izin ke guru bidang study untuk tidak mengikuti jam pelajaran ke 3 dan 4. Sekali lagi panggilan ditujukan kepada Gwen, Tia, Echa, Zea, Jenifer, Shelly segera keruang BK menemui Bu Wati. Sekian dan terima kasih”, ujar Pak Bayu.

Bel masuk sekolahpun berbunyi.

     “Tuh kan aah ini semua gara – gara Zea”, ujar Gwen dengan nada kesal.

     “Udah tenang dulu Gwen, Echa tenang ya gak perlu panik”, kata Tia yang menenangkan Gwen dan Echa

     “Oke Tia aku berusaha untuk gak panik”, jawab Echa

Setelah itu guru biologi masuk ke kelas.

     “Bu Endri, kami bertiga izin tidak mengikuti pelajaran Ibu hari ini”, kata Gwen kepada Bu Endri

     “Iya silakan”, jawab Bu Endri

Tiba diruang BK

     “Permisi Bu Wati”, kata Gwen sambil mengetuk pintu ruang BK yang terbuka.

     “Silakan masuk, duduk di sini”, ujar Bu Wati untuk mempersilahkan mereka masuk dan menunjuk tempat duduk untuk mereka bertiga. “Mana temen kamu itu si Zea?”

     “Kurang tahu saya Bu, kita beda kelas”, jawab Gwen

     “Oh ya sudah, langsung saja sambil nunggu mereka. Bu Wati mau tanya ke Echa dulu, bagaimana Echa?”, tanya Bu Wati.

     “Echa masih”, Gwen ingin membantu Echa menjawab namun dipotong oleh Bu Wati.

     “Ssssttt kamu diam, saya mau bicara dengan Echa. Bagaimana Echa?”, ujar Bu Wati.

     “Echa tidak apa – apa bu, cuma Echa sedih aja sama perkataan Zea dan temannya itu”, jawab Echa.

     “Emangnya mereka bilang apa ke kamu?”, tanya Bu Wati.

     “Mereka ngatain aku gajah bu”, ujar Echa.

     “Gajah?”, kata Bu Wati yang terkejut mendengar pernyataan dari Echa. “Setelah mereka katain kamu kayak sigung, sekarang gajah?”

     “Iya bu” tak terasa air mata Echa turun.

     “Ssssstttt cup – cup Echa, jangan nangis ya Echa kuat”, kata Tia yang berusaha menenangkan Echa

Zeapun datang dan berkata, “Permisi Bu Wati”

     “Silakan masuk dan duduk dikursi yang ini. kalian diam dulu ibu masih bertanya ke Gwen. Gwen kamu kenapa berantem sama Zea”, ujar Bu Wati

Gwen menceritakan kejadian di kantin

     “Baiklah makasih ceritanya Gwen. Tia apakah benar Zea yang memulai pertengkaran ini yang menjambak Gwen?”, tanya Bu Wati kepada Tia untuk memastikan cerita Gwen

     “Iya bu, dan waktu saya melerai Gwen dan Zea, Jenifer dan Shelly malah ketawa bu”, jawab Tia dengan yakin.

     “Zea, Shelly, Jenifer apakah itu benar?”, tanya Bu Wati.

     “Iya bu benar”,  jawabnya

            Bu Wati hanya bisa menggelengkan kepala dan mengatakan yang sejujurnya kalau orang tua Zea melakukan suap kepada kepala sekolah agar Zea, Jenifer, dan Shelly tidak dikeluarkan dari sekolah karena score yang diberikan sekolah kepada mereka dan menjelaskan tindakan bullying yang mereka lakukan bisa berakibat fatal bagi sang korban.

     “Tapi kan bu ini sekolah umum kok Echa masuk sini harusnya kan masuk sekolah khusus disabilitas”, kata Jenifer yang berusaha untuk melakukan pembelaan.

     “Hey Jenifer jangan kompor – kompori ya kamu”, jawab Gwen dengan nada tinggi dan spontan berdiri.

     “Gwen tenang dulu, kalau enggak ibu kurangi banyak point kamu”, ujar Bu Wati dengan tegas.

     “Iya bu maaf”, jawab Gwen dan langsung duduk lagi.

     “Sekolah ini menerima siapapun muridnya, dan kami para guru berharap agar para murid bisa saling menghargai bukan membully. Sebenarnya kebijakan dari kepala sekolah ini Bu Wati tidak setuju karena akan menggangu mental murid yang disabilitas. Untung saja Bu Wati punya kenalan yang bekerja sebagai psychologist. Sebentar lagi orangnya akan datang. Kalian berlima boleh kembali ke kelas untuk mengikuti pembelajaran jam ke 4, biarkan Echa disini ibu mau mengecek mental dia, kasian ibu sama Echa”, jelas Bu Wati.

     "Saya dan Tia boleh temani Echa di sini bu?", ujar Gwen.

     “Kalian kembali ke kelas, ibu akan buatkan surat score buat Zea, Shelly dan Jenifer. Untuk kamu Gwen dan Tia Ibu akan mengurangi point kalian”, tambah Bu Wati.

     “Baik Bu, kami permisi dulu ya Bu”, jawab Gwen dan Tia.

     “Iya selamat belajar jangan diulangi lagi ya”, ujar Bu Wati.

     “Kok kita saja Bu yang discore? Mereka kan juga ikut berantem”, ujar Shelly yang berusaha melakukan pembelaan agar dihukum bersamaan.

     “Kalian bertiga mau ditambahin scorenya sampai 1 bulan?”, jawab Bu Wati dengan tegas.

     “Jangan Bu kasian orang tua saya”, jawab Jenifer dengan nada takut

     “Makanya kalau kalian kasian sama orang tua, kalian jangan ngebully lagi kasian korban yang kalian bully”, jelas Bu Wati.

     “Iya bu kami minta maaf. Kami permisi dulu ya bu”, ujar Zea.

     “Iya selamat belajar jangan diulangi lagi ya”, ujar Bu Wati

            Setelah itu seorang psychologist datang dan Echa melakukan terapi dengan psychologist tersebut. Hampir 1,5 jam Echa melakukan terapi dan setelah itu Echa diberi obat penenang, selain itu Echa juga diberi tips untuk menenangkan diri ketika menghadapi pembully.

            Beberapa bulan setelah Ujian Nasional dan UNBK Echa sudah seperti orang normal, dia dapat mengontrol emosinya. Saat ujian praktek sekolah berlangsung, kesehatan mental Echa down. Satu dua hari Echa masih bisa ditenangkan oleh Gwen dan Tia. Tetapi di hari yang ke 3 Echa tidak masuk sekolah, dan orang tua Echa bilang kalau anaknya sakit demam.

     “Gwen, habis ujian praktek selesai, langsung jenguk Echa ya”, ujar Tia.

     “Iya boleh sama beli kue kesukaannya ya”, jawab Gwen

Bel pulang sekolah berbunyi, Gwen dan Tia segera pergi ke parkiran sepeda motor dan berbegas membeli kue kesukaan Echa. Setelah mendapat kuenya mereka berdua pergi ke rumah Echa.

     “Permisi, tante”, ujar Gwen sambil menkan bel rumah Echa.

     “Eh ada Gwen sama Tia masuk – masuk”, ujar mama Echa membuka pintu sambil  mempersilahkan mereka berdua masuk

     “Terima kasih tante. Echanya ada te?”, tanya Tia.

     “Echa lagi di kamar, dari pagi belum keluar kamar, dipanggil juga gak nyahut, mungkin dia lagi tidur”, jawab mama Echa.

     “Kami boleh ke kamarnya te?”, tanya Gwen

     “Boleh kok kalian langsung aja ke lantai atas, tapi pintunya dikunci”, jawab mama Echa.

     “Nanti kalau gak ada sahutan kami boleh dobrak gak te?”, tanya Tia.

     “Boleh tapi sama tante ya”, jawab mama Echa

     “Iya te, oh ya ini kue buat Echa”, ujar Gwen sambil memberikan kue kesukaan Echa.

     “Makasih ya Gwen, Tia”, ujar mama Echa.

     “Sama – sama te, kami permisi ke lantai atas ya te”, jawab Gwen dan Tia

Gwen dan Tia segera ke lantai atas untuk menemui Echa.

     “Echa, bangun yuk, kita bawa kue kesukaan kamu nih”, ujar Gwen sambil mengetuk pintu kamar Echa.

     “Iya Echa, buka in pintunya dong. Echa sayang”, ujar Tia.

Lima menit berlalu tapi Echa tak kunjung membuka pintu.

     “Tia kok perasaan aku gak enak ya”, ujar Gwen dengan nada cemas dan khawatir.

     “Iya sama aku juga”, jawab Tia

     “Kamu turun ke bawah deh bilangin ke mamaya Echa”, ujar Gwen

Tia turun ke bawah untuk berbicara ke mamanya Echa

     “Tante, Echanya belum bangun. Ini boleh kami dobrak kok perasaan aku enggak enak ya”, ujar Tia dengan nada yang panik

     “Ya udah ayo cepat”, kata mama Echa yang juga sama – sama panik mendengar perkataan Tia. Mama Echa dan Tia segera ke kamar Echa

     “Gwen dobrak aja pintunya”, ujar Tia

     “Boleh tante?”, tanya Gwen. Mama Echa hanya mengganguk dan raut wajahnya cemas. “Oke aku dobrak ya”

            Setelah pintu terbuka, mereka bertiga terkejut karena melihat Echa yang tergeletak membiru dan tangannya penuh dengan darah. Gwen segera memanggil Ambulance dengan suara yang ketakutan dan menangis, Mama Echa segera memeluk anaknya dan Tia menelpon Papa Echa.

            Setelah ambulance datang Echa diangkat masuk ke mobil ambulance dan pergi ke rumah sakit, Gwen dan Tia mengikuti dari belakang dengan berboncengan. Sesampainya di rumah sakit dokter segera membersihkan mayat Echa, dan disitu Mama Echa menangis sejadi – jadinya. 30 menit berlangsung Papa Echa datang bersamaan dengan dokter yang keluar dari kamar mayat. Dan dokter mempersilahkan keluarga untuk menengok mayat Echa sebelum dimakamkan.

            Sepulang dari rumah sakit Gwen dan Tia memberi tahu pihak sekolah dan keluarga masing – masing. Keesokkan harinya tepat pukul 10.00 WIB pagi dilakukan proses pemakaman oleh pihak rumah sakit. Di saat inilah Gwen dan Tia merasa  bersalah tidak bisa menjaga Echa dengan baik. Zea tergerak hatinya dan merasa bersalah karena selalu membully Echa. Semua orang memakai pakaian hitam dan menangisi kepergian Echa. Echa bukanlah orang yang sempurna namun bisa membuat semua orang rindu kalau tidak ada dia.

            Beberapa bulan setelah kepergian Echa, tiba saatnya pelepasan siswa/i kelas XII. Dan Gwen ditunjuk untuk berpidato. Setelah berpidato tentang sekolah, Gwen telah mempersiapkan pidatonya sendiri.

     “Saya ingin menyampaikan sesuatu hal yang penting. Saya mengambil pelajaran berharga dari kejadian sahabat saya yang telah tiada, untuk menjaga ucapan kita. Karena kita tidak tahu seperti apa keadaan orang tersebut. Mungkin sebagian orang menganggap enteng masalah ini, tapi jika perkatan yang dilontarkan membuat sang korban ketakutan hingga kesehatan mentalnya terganggu inilah yang akan berbahaya bagi sang korban. Di sini saya hanya ingin mengingkatkan jangan sekali – kali kalian melakukan bullying terhadap seseorang karena ini akan menimbulkan hal yang sangat fatal bagi korban. Mari kita sebagai pemuda/pemudi bangsa milikilah sikap peduli bukan membully. Sekian pidato dari saya, mohon maaf jika ada kesalahan kata dan ada kata yang menyinggung perasaan, saya mohon maaf. Akhir kata saya ucapkan terima kasih”

            Semua orang bertepuk tangan, dan hal yang tidak terduga adalah, Zea menghampiri Gwen dan memeluk Gwen serta meminta maaf juga kepada orang tua Echa. Kejadian inipun sontak membuat seluruh tamu, guru/karyawan, orang tua siswa, siswa/i kelas 3 SMA, dan adik kelas memberi tepungan tangan dan respect atas perbuatan yang dilakukan Zea.

                                                                 -  TAMAT  -

Ikuti tulisan menarik Jessica Martin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler