x

Ilustrasi perempuan

Iklan

Maria Christin Imaculata Bulu Manu

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 17 November 2021

Kamis, 18 November 2021 07:49 WIB

Perempuan Sepotong Daging

Cerita ini menggambarkan seorang perempuan yang menjadi korban dari seorang lelaki melalui segelas jus lemon. Perempuan ini berusaha mendatangi laki-lakinya dengan membawa segelas jus lemon yang kosong dan berharap agar gelas kosong tersebut segera diisi lagi untuk memberi minum jiwanya yang sedang haus. Pada akhirnya laki-laki itu pun meminum jus lemon yang pernah diminum sang perempuan dan perempuan itu puas karena dia telah menepati janjinya untuk tetap bersamanya. Sepotong daging yang dipegangnya pun akhirnya siap untuk dimatangkan dengan jus lemon tersebut.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kau pikul sepotong daging yang belum sempat matang. Dengan tertatih-tatih, kau menghampiri laki-laki tampan yang terkapar di atas kasur dengan seprei putih yang tak ada bentuk lagi. Kau beri makhluk lemas itu gelas jus lemon kosong yang pernah diberi pemuda itu untuk sepotong daging dalam darahmu.

"Laki-lakiku, segera berikan aku segelas jus lemon, dagingku berontak karena haus” Kau bisik halus pada telinga makhluk itu sama nadanya dengan bisikan laki-laki itu pada gendangmu sebelum kau minum jus lemon. Mata laki-lakimu membesar. Ada binatang lapar yang tak pernah kenyang di sana walau sesamanya sendiri dimangsa.

"Laki-lakiku, segera berikan aku segelas jus lemon, dagingku berontak karena haus." Kau buat suaramu naik satu level. Tak lagi bisik. Kau meraba rambut-rambut kasar pada dada telanjang itu dengan tangan kirimu. Satu tanganmu tetap pegang sepotong daging yang belum sempat matang. Lemas pada tubuh laki-lakimu hilang seketika entah karena sepotong daging yang belum matang menyentuh kulitnya atau saat rambut-rambutnya tersentuh oleh jemarimu ataukah karena lemasnya laki-lakimu telah usang. Laki-lakimu bangun. Diambil sapu tangannya untuk mengeringkan peluh. Lalu dibuang. Digulungnya seprei dengan bercak merah maroon dan dibuang juga. Kau tangkap seprei dan saputangan itu sebelum menyentuh sepotong dagingmu yang belum matang itu. Aroma bercak merah maroon itu masuk dalam rambut-rambut hidungmu dan kau kenal betul aroma itu. Aroma makhluk yang pernah kau sebut pujangga hati.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 "Laki-lakiku, segera berikan aku segelas jus lemon, dagingku berontak karena haus” Kau naikkan volume empat pada pita suaramu. Tak ada lagi bisikan halus. Suaramu bergemuruh. Heningnya malam pecah karena kaget. Laki-lakimu menarik resletingnya dan pergi mengikuti jejak seorang makhluk lain dengan rambut panjang. Kau melihatnya dan kau menangis. Lalu kau tertawa lagi dan kau ciumi sepotong daging yang belum matang bak obat penawar. Kau taruh sepotong daging yang belum matang itu pada kantong gaunmu lalu mengejar laki-lakimu namun gelas kosong jus lemon itu tak beranjak dari tanganmu. Kau bawa badanmu bergeser dengan cepat pada lantai rumah itu hingga kau bisa dahului laki-lakimu. Kau ulurkan kakimu memagari dia lalu kau tiupkan napasmu sekuat tenaga pada belakang telinga laki-laki itu. Uap napasmu membuat rambut di tangannya berdiri dan kau buka gigimu untuk tersenyum.

“Yolanda, aku sungguh menyayangi kamu, jangan lari. Aku minta maaf.” Kau kaget karena bukan namamu yang disebut. Kau baru sadar bahwa ada makhluk lain selain dirimu. Kau hendak muntah saat itu karena suara laki-lakimu mencekik lehermu. Kau lihat perempuan lain itu pun menangis dengan hebat dan berlari membiarkan air matanya menjadi jejak bagi laki-lakimu untuk mengikutinya. Kau sadar bahwa tangisan itupun pernah kau tangisi. Sepotong daging yang belum matang dalam kantong gaunmu itu seolah ikut menangis dengan bau busuknya. Kau kepalkan tinjumu kala kau lihat dirimu dan masa depanmu ada dalam penjara air mata itu. Kau sadar bahwa wajahmu penuh semak belukar bagi wajah-wajah tua dan kusut dalam rumahmu. Kau berasap lalu membara dengan derasnya air mata dari perempuan bahenol yang berambut panjang itu.

 “Laki-lakiku, segera berikan aku segelas jus lemon. Dagingku berontak karena haus” Kau semakin lantang berteriak. Kau ambil sepotong daging yang belum matang itu lalu kau tiupkan aromanya pada mulut laki-laki yang sedang terbuka. Laki-lakimu tak berhenti. Dia terus mengejar perempuan lain sementara kau ada di sampingnya dengan segelas jus lemon yang kosong.

Bayu malam itu menjadi geram dan panas, laksana matahari yang berada pada garis vertikal dengan dirimu. Malam tak berbintang, gerimis yang kau cipta buat suasana jadi peluh dan cekam. Kau yang lelah ngesot muntahkan amarahmu yang bergelombang. Bau belatung busuk dan cacing tanah dari perutmu bertebaran. Sepotong daging yang belum matang itu kau angkat dari kantongmu memuntahkan pusarmu yang tertanam dalam potongan daging itu sendiri. Laki-laki itu menutup hidungnya dengan kaos berbau peluh. Dia tertawa terbahak-bahak sebagai topeng penghalau rasa takut. Kau semakin tampak bengis. Kau terangsang dengan tawa laki-laki itu. Kau mendekatinya, ingin memeluk dan bercumbu seperti yang pernah laki-laki itu buat denganmu kemarin.

Laki-lakimu menghindar. Dia sempat bilang beberapa mantra suci pada bibir keringnya lalu dia berlari lagi. Kau panggil terus namanya namun dia tak menoleh. Sepotong daging yang belum matang itu protes. Terabaikan. Kau masih mengikuti laki-laki itu lalu dengan alasan yang kau bilang cinta, kau buat dirimu tertangkap cahaya matanya. Kau berikan segelas jus lemon kosong pada tanganmu. Laki-lakimu berhenti. Diam. Dan tak lagi berlari. Dia menyangka kau datang mengajaknya berdansa. Benar, kau mengajak laki-lakimu berdansa dengan masa lalu kalian.

Ada gambar kalian saling peluk di bawah selimut yang laki-lakimu bilang itu cinta. Kalian bangga karena wajah-wajah kusut yang meng’ada’kan kalian sudah saling kenal dan itu kalian sebut sebagai tiket penjelajah kota. Kalian saling peluk dengan hasrat yang bergrafik.  Laki-lakimu bilang untuk mengukur sejauh, sedalam dan sebesar apa cinta kalian lalu kau pun ikut menggangguk. Kalian sama-sama bersumpah serapah bagi siapapun yang mendonor ide agar kalian tak saling peluk. Cibiran dari wanita-wanita tua di kampung, kaliah jadikan sebagai alas kaki kalian.

Dengan bermodal lembaran rupiah dari orang tua laki-lakimu, kalian masuk keluar situs-situs merah internet, lalu copy paste menjadi milik kalian. Sekali lagi kalian merasa aman karena dipercayai sudah dewasa. Kalian simpan rasa percaya di bawah ketiak kalian agar tak terlihat siapapun. Kalian merasa aman karena mereka tak pernah menanyakan jam berapa anak-anak mereka masuk rumah lalu mengunci pintu atau tidak pernah mencium aroma alkohol yang tertahan pada bibir kalian. Kalian selalu tiba pada saat yang tepat di mana semua wajah-wajah yang kalian anggap antik itu dicumbu sang mimpi dengan keindahan dunia yang tak nyata. Wajah-wajah mereka benar-benar nyenyak.

 "Satu kali saja" Kau dirayu laki-laki itu dengan kata-kata yang ditangkap dari hasil downloadnya. Kau pun menggeleng lalu silangkan tangan pada dadamu. Laki-lakimu tak menyerah, dia terus mengisi pikiranmu dengan rangkaian kalimat menarik dan mengandung mantra peleleh jiwa.

 “Raul, jangan. ayahku orangnya keras. Aku takut. Aku mau namun hanya seadanya saja.” Kaupun bersuara. Kalian lalu karam dalam lubang yang kalian gali. Kau sempat teringat akan cerita ibumu tentang ayahmu. Ayahmu menyuap ibumu dengan segudang kata yang sama persis dilakukan Raul saat ini. Ibumu yang lapar saat itu pun langsung menjadi kenyang terbius mantra ayahmu. Kau tak mengelak untuk mengakui bahwa kau lahir dari nafsu cinta konyol sesaat yang tak dapat dimengerti saat itu. Takut hatimu terganggu, kau segera menepis rasa dan pikiranmu itu.

“Raul, berjanjilah padaku satu hal. Kau tak akan meninggalkan aku”

 “Aku janji sayang, peganglah kata-kataku. Aku akan menua bersamamu. Tanyakanlah hatimu, apakah kau masih ragu denganku?”

“Tidak, aku percaya padamu” lalu malaikat yang menjagamu meleleh dan sirna

Setiap senja, kau selalu datang kepada laki-lakimu tanpa rasa takut lagi. Kau telah takut dengan rasa takutmu sendiri. Pada senja lain kala gerimis mengurungmu dan laki-lakimu dalam bilik yang kau beri nama sederhana, laki-lakimu membawa segelas jus lemon yang hangat untukmu. Sedikit belaian, kau seruput habis jus lemon hangat dalam dekapan detik. Kau pergi tanpa pamit dan segelas jus lemon yang telah kosong masih ada pada tanganmu.

Para laki-laki itu lantas membawa laki-lakimu yang telah compang-camping karena dikeroyok secara rakus. Wajahnya memerah bak tercambuk gincu. Salah seorang laki-laki itu lalu membuka mulutnya. “Jangan, jangan kita apa-apakan dia lagi. Dia adalah anak Pak Lurah.” Mereka dengan cekatan merapikan rona wajahnya lalu meninggalkan laki-lakimu.

Kau lalu pulang ke rumah ayah-ibumu namun tak bersua. Ingin kau tumpahkan air mata pada wanita renta itu tapi terhalang tembok tipis. Ingin kau cicipi ikan asin buatan jemari rentanya namun tak terasa. Kau pergi menemui laki-laki tuamu yang sedang memeluk fotomu, mungkin itu adalah pelukan pertama yang seharusnya kau rasakan. Kau hanya bisa melihat. Kau baru sadar ketika waktu merasa iba padamu lalu menyeretmu pada rumah barumu. Kau lalu kaget ketika bersua dengan seorang perempuan bersanding sepotong daging diantara kedua pahanya sementara tangannya memegang segelas kosong jus lemon.

Laki-laki itu tetap masih diam dan tak bergerak. Kau mengunci pikirannya lalu keluar. Laki-laki itu mengambil segelas jus lemon hangat yang sempat dibuatnya tadi sore untuk perempuan tubuh bahenol itu. Kakinya lantas membawa dia ke rumahmu. Di sana laki-lakimu menangis. Dia tak tega mengakhiri hidupnya tanpa maaf darimu. Kau tersenyum puas ketika laki-lakimu meminum segelas jus lemon hangat di depanmu. Bukan hanya kau, sepotong daging yang belum matang itupun juga tersenyum. Laki-laki itu menepati janjinya bahwa dia tak akan meninggalkanmu.

Ikuti tulisan menarik Maria Christin Imaculata Bulu Manu lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB