x

painting by Katie m. Berggren

Iklan

Acha Hallatu

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 November 2021

Rabu, 24 November 2021 19:17 WIB

Bakwan Terakhir

Sebuah cerita pendek yang mengisahkan seorang pria yang mengenang kebiasaan Ibunya yang suka memasak bakwan untuknya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Ini bakwannya sudah Ibu buat,” teriak Ibu dari dapur.

Setiap pekan Ibu senang membuat bakwan untukku. Ya, tujuh hari dalam seminggu hanya saat pekan tepat hari Sabtu adalah hari special buatku karna Ibu selalu memasak bakwan jagung kesukaanku.

Tidak ada hari lain yang menyenangkan seperti hari ini. Hari dimana aku dan Ibu senang bercanda gurau. Aku juga sering curhat ke Ibu tentang kuliahku, teman-teman yang ada di kampus, bahkan seorang wanita yang menyukaiku.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun semuanya telah berubah. Pada bulan Januari sehari sebelum hari ulang tahun Ibu, Ibu meninggal. Saat itu Ibu hendak pergi mengunjungi rumah saudara yang ada di kota Berastagi. Dari Medan Ibu menaiki angkutan umum, melanjutkan perjalanannya dengan bus, dan sesampainya di Berastagi Ibu menumpang pada salah seorang yang menaiki sepeda motor yang Ibu kenal disana.

Tapi sayangnya, saat Ibu menumpang itu dalam perjalanan menuju rumah saudara, Ibu ditabrak oleh salah seorang pengemudi mobil. Ibu yang sudah dalam keadaan kritis, baju berlumuran dengan darah, hingga akhrinya Ibu dilarikan ke rumah sakit yang terdekat.

Sesampainya di rumah sakit, dokter dan suster berusaha menyelamatkan Ibuku yang sudah tidak sadarkan diri lagi. Aku tahu pihak rumah sakit sudah berusaha sekeras mungkin. Hingga akhirnya nyawa Ibu tidak terselamatkan lagi. Ibu mengalami pendarahan hebat di kepala akibat benturan keras saat jatuh ke jalanan.

Tuhan sayang sama Ibu. Ya, mungkin ini waktu yang sudah ditentukan Tuhan agar Ibu pulang dan bertemu Tuhan.

Saat kejadian itu aku sedang berada di kampus. Tepat di hari itu aku sedang mempresentasikan hasil tugasku di depan kelas.

DRRTTT… DRRRTTT…

Ponselku bergetar namun ku abaikan. Ku biarkan saja karna aku sibuk saat itu. Ponselku terus bergetar. Hingga akhirnya setelah aku selesai mempresentasikan hasil tugasku, aku meminta izin pada dosenku untuk keluar sebentar. Saat aku sudah keluar dari kelas, aku melihat dari luar dosenku sedang mengomentari hasil kerjaku di depan kelas. Aku tidak tahu apa yang dia katakan soal hasil tugasku, aku berfokus pada ponselku. Aku sempat merasa kaget setelah mengecek ponselku.

“23 panggilan masuk yang tidak terjawab dan 20 pesan masuk. Yang benar saja, ini dari siapa?” ucapku dalam hati.

Aku langsung buru-buru membuka pesan masukku dan mengecek nomor yang menelfonku. Ini nomor siapa, ya? Aku sempat bingung karna memang ini nomor yang tidak ku kenal. Setelah ku cek isi pesan masuk semua itu, aku terdiam. Aku bisa apa selain kaget dan merasa ini semua mimpi?

“Apa benar ini anak dari Ibu Margaret? Maaf mengganggu, kalau benar ini anaknya yang bernama William, kami ingin menginfokan bahwa Ibu kamu sedang kritis di rumah sakit. Ibu mengalami kecelakaan dan sedang berada di rumah sakit sekarang. Kami sudah berusaha maksimal mungkin untuk menyelamatkan hidup Ibu kamu, tapi kami meminta maaf kenyataannya Ibu kamu tidak bisa bertahan dan meninggal. Yang sabar ya, William.”

Begitu isi salah satu pesan yang masuk yang aku yakini bahwa itu dari pihak rumah sakit. Selebihnya pesan masuk dari keluarga dan saudaraku yang berada di kota Berastagi. Begitu pula panggilan masuk yang banyak sekali masuk, itu semua dari keluarga dan saudaraku di kota Berastagi yang ingin memberitahuku soal ini.

Aku langsung berlari ke kamar mandi. Hari itu rasanya hari yang paling terburuk dalam hidupku. Aku menangis di dalam kamar mandi. Mungkin orang yang tidak mengenalku saat itu melihatku menangis di dalam kamar mandi merasa aku ini gila. Aku bahkan sudah tidak peduli bila ada yang mendengarkan suara tangisku dari dalam kamar mandi.

Aku merasa hidupku hancur sekali hari itu. Aku bahkan tidak kuat masuk kelas dan kembali belajar. Konsentrasiku pecah. Yang ada di dalam pikiranku hanyalah Ibu. Bagaimana keadaan Ibu sekarang disana?

Akhirnya aku memilih kembali ke kelas dan meminta izin pada dosenku saat itu untuk pulang. Aku pikir, mending aku pulang saja karna yang ku butuhkan sekarang adalah aku perlu menenangkan diriku sendiri.

“Kamu kenapa nangis?” tanya dosenku saat aku masuk ke dalam kelas.

“Ibuku meninggal, Pak.”

Kelas menjadi hening dan seisinya mulai menenangkanku. Mereka berusaha membuatku kuat menerima kenyataan ini. Satu per satu ucapan menyemangati dan menghibur aku terima dari teman-teman sekelasku. Aku meninggalkan semua jadwal kuliahku pada hari itu dan memilih untuk pulang menangis sepuasnya dirumah.

Malam hari itu juga jenazah itu datang dan sampai dirumah. Tangisku pecah karna pekan kemarin adalah pekan terakhirku bersama Ibu. Semua orang yang melihatku saat itu berusaha menenangkanku sambil memelukku. Aku terus menangis sambil berteriak.

“Bu! Kemarin Ibu masih membuat bakwan kesukaanku. Ternyata itu bakwan terakhir? Iya Bu?! Bu, siapa yang akan membuatkan bakwan jagung kesukaanku lagi kalau Ibu pergi?” teriakku sambil menangis ke arah jenazah Ibu.

23 Januari…

Selamat ulang tahun, Bu.

Itu tanggal lahir Ibu sekaligus tanggal dimana hari itu Ibu dikuburkan. Kini setiap kali aku bertemu dengan bulan Januari tepat di tanggal itu aku selalu ingat dengan Ibu. Apalagi kini tidak ada lagi yang memasak bakwan jagung kesukaanku. Kadang kekasihku dengan senang hati membuat bakwan kesukaanku untuk menghibur hatiku. Tapi tidak ada yang bisa menggantikan kenangan itu. Bakwan Ibu selalu di hati walau pasti ada banyak yang lebih enak dari buatan Ibu.

Ibu? Apa kabar? Ibu disana baik-baik saja, kan? Di sini William baik-baik saja. Wanita yang kemarin kita bicarakan sambil menyantap hidangan bakwan buatan Ibu, masih ingat? Dia sudah menjadi kekasihku sekarang. Dia baik sekali, Bu. Dia mau membuatkanku bakwan jagung kesukaanku. Dia seperti Ibu. Seperti yang pernah Ibu katakan, jangan pernah coba-coba menyakiti hati seorang wanita yang tulus mencintaimu. Aku janji akan menjaga dan mencintainya terus, Bu.

Begitu isi surat kecilku yang ku tulis untuk Ibu yang sudah tenang di surga sana. Ku simpan di dalam laci meja pribadiku dan tidak sengaja dibaca oleh kekasihku yang kini sudah menjadi istriku. Kami mengenang semuanya, kepergian Ibu 10 tahun yang lalu.

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Acha Hallatu lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler