cerpenindonesianatempo.co - www.indonesiana.id
x
cerpenindonesianatempo.co
Oleh: Winda Pipit

Kamis, 11 Agustus 2022 14:00 WIB

Bertanya

Dibaca : 187 kali


Pertanyaan

Oleh: dream_ praire

Rabu, 8 Desember 2021 23:39 WIB

Amber dan Ceta

Dibaca : 517 kali


Cerpen

Oleh: Nina Garnis

Rabu, 8 Desember 2021 23:14 WIB

Colt M9

Dibaca : 464 kali


Oleh: nina sanica

Rabu, 8 Desember 2021 10:37 WIB

Si Bocah Renta

Dibaca : 278 kali


Oleh: Harna Silwati

Senin, 6 Desember 2021 12:40 WIB

Cerpen Aku Adalah Aku

Dibaca : 2.980 kali


Cerpen: Aku Adalah Aku

Oleh: Isnan Adi Priyatno

Rabu, 1 Desember 2021 11:47 WIB

Bunyi yang Memecah Keheningan

Dibaca : 2.394 kali


Cerita Pendek

Oleh: honing

Selasa, 19 Mei 2020 08:16 WIB

Cerpen | Perempuan Bodoh dari Besipa'e

Dibaca : 1.170 kali


“Perempuan bodoh!” “Perempuan bodoh?” Saya tak mengerti: kenapa ucapan itu terdengar pelan. Bukankah ia sedang menghina saya? Kenapa ia tak berani lantang? Beberapa detik saya pikirkan. Oh, mungkin karena ia sudah terlalu lelah. Berjam-jam ia memeriksa saya. Sejak kemarin lusa, ini pemeriksaan kali kedua. Tapi sampai sekarang ia belum juga mendapatkan apa-apa. Saya menatapnya, ia duduk menghadap ke arah saya di seberang meja. Sebagai seorang polisi, ia sudah menjalankan aturan sebagaimana mestinya. Ia tak seperti kebanyakan polisi lainnya, ia lepaskan seragamnya sewaktu memeriksa saya. Ia ganti dengan sebuah kemeja. Memang, sudah semestinya begitu. “Perempuan bodoh? Maksud Bapak apa?” Raut wajahnya berubah. Ia terlihat tegang dan mulai ketakutan. Saya bisa saja melaporkan dia atas tuduhan penghinaan dalam pemeriksaan perkara. Atau setidak-tidaknya saya bikin laporan ke Propam, untuk pelanggaran kode etik. Akan tetapi, saya tidak tega. Lihatlah raut wajahnya. Betapa lelahnya ia. Berjam-jam ia memeriksa saya. Seharusnya ada pengganti, atau setidak-tidaknya ada yang mendampingi. Tidak seperti saat ini, hanya ia sendiri. Berdua dengan saya di ruangan Reskrim ini. “Sumpah, saya tidak bermaksud demikian.” Ia coba meyakinkan saya. “Empat jam saya diperiksa, tapi Bapak melecehkan saya. Tidakkah Bapak seharusnya bisa lebih sopan?” “Iya, iya,” ia menjawab gugup, “saya minta maaf". Saya tidak ada niat menghina, Mama. Saya hanya lelah. Saya hanya butuh sedikit istirahat. Saya minta maaf .” Saya coba memahaminya. Ia belum mendapatkan keterangan yang berarti dari saya, tapi lelah sudah menyergap tubuhnya. Betapa kasihan ia. “Jujur,” katanya, “saya tidak mau mama melaporkan saya.” “Kenapa?” “Karena saya sudah mengalami trauma.” “Trauma kenapa?” “IYa, mama” katanya. “Sudah dua kali saya ditegur Komandan.” “Ditegur kenapa?” " Karna emosi saya sering tidak terkendali. Setiap ada terperiksa atau tersangka yang berbuat datang, saya langsung jadi kesal. Awalnya hanya makian. Tapi karena terlalu sering, akhirnya jadi kebiasaan. Seperti tadi yang mama dengar. Saya kesal. Saya belum juga mendapatkan keterangan kunci. Sedangkan saya sudah lelah. Akhirnya….” “Akhirnya pak hina saya bodoh begitu?” “Iya, mama! Tapi saya tidak maki.” Saya mengerti. Ia kesal karena belum mendapatkan keterangan tentang siapa yang menyuruh kami memprotes dengan bertelanjang dada. Saya tahu, sebab sejak tadi ia melontarkan pertanyaan tentang siapa yang memprovokasi kami untuk melakukan seperti itu. Selain belum mendapatkan keterangan, sebenarnya ia juga kesal karena tak ada petugas pengganti. Padahal rasa capek sudah menyergap tubuhnya. “Saya harap mama mengerti. Saya tidak ada maksud menghina.” “Baiklah,” kata saya. “Tapi bolehkah saya tahu kenapa pak memilih kalimat 'perempuan bodoh’ untuk menunjukan kekesala? Kenapa tidak ucapkan kata yang lain saja?” “Ada,” katanya. “Hanya saya sudah terbiasa menggunakan kalimat itu.” “Kasihan,” kata saya. “Kasihan?” “Ya. Karna perempuan masih saja dihina dan dilecehkan seperti itu. Padahal kau lahir dari seorang Perempuan. Pak tahu kalau perempuan adalah makluk paling teraniaya didunia ini?” “Maksudnya?” Betapa bodohnya ia, tak mengerti maksud saya. “Baiklah. Saya jelaskan. Pak pernah urus kasus perselingkuhan?” “Pernah,” katanya. "Tau istilah pelakor?" "Pernah," ia menjawab lagi. “Itu kebiasaan kaum laki-laki. Mereka yang memulai lebih duluan. Tapi saat ada masalah, mereka berpura-pura jadi korban.” “Siapa suruh jadi pelakor?” “Istilah pelakor itu ciptaan laki-laki, pak.” “Hah, ciptaan laki-laki?” “Iya, pak. Laki-laki lah yang lebih dulu menggoda. Saat menggoda, ia suka menipu perempuan bahwa ia masih jomblo atau belum menikah. Nanti saat terjadi masalah, ia tiba-tiba mengubah posisi seolah-olah menjadi korban. Saat itu perempuanlah yang disalahkan. Padahal perempuanlah yang seharusnya menjadi korban dari tipu daya si laki-laki. Istilah pelakor itu awalnya cuma ucapan biasa, lama kelamaan jadi kebiasaan dan stigma untuk mendeskreditkan perempuan. "Awalnya ucapan biasa tp lama-kelamaan lalu menjadi kebiasaan, maksudnya?" Ia bertanya. "Iya, Pak. Awalnya hanya ucapan biasa seperti kalimat 'perempuan bodoh' yang tadi bapak ucapkan kepada saya. Tapi lambat-laun menjadi kebiasaan." Ia menatap saya dengan serius. Saya lalu melanjutkan." Pak pernah dengar kasus di Desa Kiubaat? " "Kasus apa?" Ia penasaran. "Kasus perselingkuhan seorang laki-laki yang sudah menikah. Ia meninggalkan istrinya yang telah memberikan 3 orang anak kepadanya." "Yang benar?" "Sumpah, pak! Ia membawa perempuan hasil perselingkuhan itu ke rumahnya. Ia lalu mengusir istinya yang sah." "Trus..?" "Perempuan itu akhirnya pulang ke rumah orang tuanya dengan membawa tiga orang anak itu. Dua bulan kemudian, ia berangkat ke Malaysia untuk menjadi TKW." "Kenapa harus ke Malaysia? Kan bekerja disini! Katanya." "Kalau disini, ia pasti akan dihantam beberapa masalah sekaligus. Ia akan terus tersakiti kalau melihat suaminya bersama perempuan yang lain. Ia juga harus menahan malu dengan ucapan orang-orang disini. Pak, tahu istilah dalam Bahasa Dawan untuk seorang janda? " "Tidak! apa?" "Disini orang biasanya menyebut orang yang sudah diceraikan dengan istilah "Mpoli". "Artinya?" Ia bertanya. "Mpoli itu artinya buangan, bekas, sampah !" Ia hanya menunduk. Saya kemudian melanjutkan, "Laki-laki sepintar apa pun, ia tak bisa merasakan langsung perasaan yang dialami perempuan." "Betul" Iya mengangguk. "Laki-laki juga tak bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi perempuan yang tanahnya dirampas. Ia tak bisa melihat hubungan antara tanah dan pangan. Ia tak tahu hal itu sebab ia tak pernah berpikir soal stok makanan di dapur. Ia juga tak pernah berpikir soal anak-anak yang berbisik dikala lapar." "Tapi tidak semua laki-laki begitu." "Benar! Tidak semua! Tapi sebagian besar laki-laki seperti itu. Apa lagi laki-laki yang hidup di kota. Ia seringkali hanya sibuk bicara soal sopan-santun, moral, dan merasa sok tahu. Dia juga..." "Tapi kan kasus kemarin itu, ada juga perempuan yang mencibir mama dan teman-teman yang bertelanjang dada saat melakukan protes?" "Saya tahu, pak. Tapi saya tak bisa menyalahkan mereka. Perempuan-perempuan seperti itu sebetulnya karna ia sudah terbiasa berpikir dari sudut pandang laki-laki. Pokoknya, persis seperti perempuan yang suka berkelahi dengan sesama perempuan di saat suami atau kekasihnya selingkuh. Ia bisa marah karna ia melihat dari sudut pandang laki-laki. Ia tak sadar bahwa kami sesama perempuan adalah korban dari tipu daya laki-laki." Saya melihat ia sungguh-sungguh mendengarkan penjelasan saya. "Perempuan yang melihat dari sudut pandang laki-laki juga seperti itu. Awalnya cuma kebiasaan, lama-lama jadi hobi." "Hah, hobi?" "Iya. Hobi menyalahkan sesama perempuan." "Ah, masa?" "Sungguh ! Coba pak lihat saja kalau ada kasus perselingkuhan. Alasan yang sering disampaikan bahwa hal itu terjadi karna perempuan tak bisa memberikan kepuasan kepada suaminya, atau tak bisa menjaga diri. Padahal, laki-laki itu yang tak bisa mengatur hasratnya. Ia tiba-tiba menarik napas lalu menghembuskan. Saya melanjutkan, " Kasus pemerkosaan, kasus KDRT, kasus perampasan lahan, kasus perselingkuhan dan kasus yang lain juga seperti itu. Perempuan juga yang pada akhirnya disalahkan." "Kasus pemerkosaan juga seperti itu?" “Ya,” jawab saya. Ia diam, mungkin menunggu kelanjutan. “Saat masih muda. Saya juga pernah diperkosa." “Hah? Mama pernah diperkosa?” “Pernah,” kata saya. "Saat itu mama melapor ke polisi?" "Tidak!" Ia mengerutkan keningnya menandakan ketidakmengertian. “Ceritanya bagaimana sampai mama bisa diperkosa?" "Saya hanya diam." "Mama, kenapa?" "Saya hanya terdiam. Air mata tiba-tiba membasahi pipi saya." "Mama, bisa ceritakan untuk saya?" “Bisa,” kata saya. “Tapi kita harus kembali dulu ke materi pemeriksaan.” Saya berbicara sambil mengusap air mata dengan baju." “Maksudnya?” “Seperti yang pak mau. Pak kan tadi mau mengorek keterangan kunci dari saya soal siapa dalang dan kenapa kami memprotes pemerintah dengan bertelanjang dada. Nah, supaya pak tidak bertanya-tanya diluar kasus itu. Sebaiknya langsung saja saya utarakan.” “Silakan!” katanya. Saya lihat ia sungguh-sungguh mendengarkan. “Begini,” kata saya, “saya tahu dalangnya siapa. Dalangnya adalah pemerintah." "Dalangnya pemerintah?" “Ya.” “Alasannya?” “Karna itu adalah tanah leluhur kami. Orang tua kami dulu ditipu oleh pemerintah. Mereka berjanji bahwa kalau kami memberikan tanah kami untuk di sewa oleh pemerintah, maka hidup kami akan berubah." Ia menatap saya dengan serius. "Tapi apa yang kami dapat? Sampai habis masa sewa hak pakai atas tanah, hidup kami tak kunjung berubah." Ia tiba-tiba menunduk. "Sudah begitu, pemerintah malah mau merampas tanah kami. Padahal, jika jangka waktu sewa sudah habis, seharusnya tanah itu dikembalikan kepada kami. Ia mengangkat kepala sambil menatap saya. "Ini seperti kita menyewa sebuah mobil. Kalau masa sewanya sudah selesai, mobil harus dikembalikan kepada pemiliknya. Bukan justru sebaliknya." "Tapi kan pemerintah hanya mau melanjukan kontrak atau sewa itu?" "Betul, pak. Tapi kalau mau melanjutkan sewa pun juga harus ada kesepakan dengan kami sebagai pemilik tanah. Bukan membuat kesepakatan sepihak seperti itu. Saya memang tidak sekolah, tapi saya mengerti hal seperti itu." Ia mengangguk. "Lalu kenapa mama dan teman-teman melakukan protes dengan bertelanjang dada?" Ia bertanya. "Pak, belum mengerti kenapa kami melakukan protes dengan bertelanjang dada? Itu perjuangan simbolik. Hanya, itu satu-satunya cara menarik urusan privat ke urusan publik. Tapi pemerintah tak pernah melihat dari sudut pandang kami. Pemerintah dan sebagian orang suci diluar sana selalu melihat dari sudut pandang laki-laki. Persis seperti kasus-kasus yang lain. Ia tiba-tiba menunduk. Saya sebetulnya ingin melanjutkan ucapan itu. Tapi belum sempat saya lanjutkan, tiba-tiba saya lihat matanya mulai berbinar, dan ia kembali berkata, “Perempuan bodoh! Sekarang saya mengerti."

Oleh: honing

Rabu, 6 Mei 2020 15:52 WIB

Cerpen: Nona Mince

Dibaca : 1.425 kali


"Minceee?" suara ayahnya memanggil dari ruang tamu. "Iya?" Mince menjawab dari dalam kamar. Ia kemudia berjalan menuju ruang tamu yang sudah penuh dengan keluarga besarnya. "Coba telpon Melky dulu. Kesepakatan untuk kesini jam 3, tapi sudah jam begini keluarga Melky belum juga datang," Ayahnya mulai kesal. Sebetulnya mereka berniat melamarmu ataukah tidak?" lanjut ayahnya dengan wajah cemberut. Beberapa orang keluarganya pun tampak mulai gelisah. Mince kemudian menelepon Melky. Tapi nomernya tak aktif. Ia terus menelpon berulang kali. Tapi hasiknya tetap sama. Tak ada jawaban. Sesekali ia melihat kearah dinding diruang tamu itu. Jarum jam sudah menunjukan pukul 4 sore. Ia pun mulai gelisah. Perasaanya tak enak. Detak jantungnya terasa berdegup lebih cepat ...cepat sekali. Ia merasakan ada sesuatu yang berbeda dari biasanya. Sore itu ia kenakan kain sarung peninggalan ibunya, serta baju merah tua yang baru ia beli pada hari sabtu kemarin. Ia keliahatan lebih manis dari biasanya. Tapi..tapi detak jantungnya semakin keras, sampai telapak tangannya pun ikut berkeringat. Sesekali ia usapkan tangannya ke kain sarung yang sudah beberapa jam membalut tubuhnya. Ia tak tahu kenapa detaknya semakin keras. Kenapa semua terasa begitu sepi? Kenapa? Ia bertanya dalam hati. Ia tetap duduk menanti. Apakah semua janji yang pernah diucapkan Melky akan tertunai hari ini? Entahlah. Ia hanya menunduk sambil sesekali memainkan ujung sarungnya. Matanya sayu. Telinganya dipenuhi detak memaksa. Suara perbincangan keluarga besarnya diruang tamu tak lagi ia hiraukan, detak itu saja yang tak henti menemani. Tiba-tiba,..... tiba-tiba kerumunan orang mendekati rumahnya. Mendekati dari arah jalan setapak itu. Ia hanya menoleh dan bertanya dalam hati. Apa yang terjadi? Kenapa wajah orang-orang itu seperti ketakutan? Kenapa ada orang menangis? Detak jantungnya semakin keras terdengar. Entah berapa kali ia usapkan tangannya yang basah. Ujung sarung itu pun lusu dan basah. Baju merah tua yang ia kenakan itu pun semakin kusut. Apa yang didengarnya, apa yang disaksikannya membuat semuanya terasa gelap. Gelap gulita. Tanpa cahaya. Ia tergolek lemah dipangkuan ayahnya. Melky, kekasihnya yang paling ia cintai...yang sore ini akan datang melamarnya, akhirnya pergi untuk selamanya! *** Rumah biru, Mey 2020.