x

Iklan

Putri Paays

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 November 2021

Selasa, 30 November 2021 13:41 WIB

Persimpangan Jalan

Seorang perempuan mencoba untuk menemukan jati dirinya yang selama ini tertutupi melalui pergejolakan batin untuk membebaskan dirinya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Setelah sekian lama tertidur, ia pun membuka matanya. Rayu melihat kesekeliling ruangan yang nampak asing. Ini bukan ruangan tempat ia biasa terbangun dari tidur lelapnya. Rayu berguling ke salah satu sisi ranjang besi yang berdenyit beriringan dengan pergerakannya. Denyitan tersebut semakin menjadi di saat beban tubuh Rayu dipusatkan pada satu titik. Ia duduk memandang kesekeliling. Menarik nafas panjang. Entah apa yang ia rasakan, sesuatu mengganjal di dadanya, memenuhi seisi dadanya, membuatnya sesak.

Rayu pun memutuskan untuk berdiri dan melihat sekeliling. Empat tembok di ruangan bercat putih dengan noda usang sudah mulai terlihat di pelbagai sudut tembok. Selain itu, terdapat tiga ventilasi yang hanya berjarak beberapa jengkal saja dari plafon ruangan. Tidak ada jendela pikir Rayu. Rayu masih terus melihat sekeliling, ruangan ini hanya berisikan sebuah sofa berwarna putih gading dan sebuah kasur yang dibalut dengan seprai berwarna putih. Rayu mulai berjalan mengelilingi ruangan tersebut dengan menyeret tangannya yang sibuk meraba-raba.

“Sudah aku duga.” Rayu menarik nafas panjang lalu membuka pintu dihadapannya yang bercatkan putih selaras dengan dinding di ruangan ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Seketika langit biru terang tanpa awan menyambutnya. Tidak kuat dengan begitu silaunya langit di siang hari, Rayu menutup kedua matanya. Lengannya digunakan untuk menggosok-gosok matanya mencoba untuk menghilangkan efek dari pencahayaan yang menyengat matanya. Rayu kini telah berada di luar ruangan. Namun, ingatan Rayu atas tempat ia berdiri tidak pernah di dapatkan, bersebrangan dengan rasa yang ia rasakan di dada. Rayu berlarian kesana kemari mencari sesuatu yang akan membawanya kembali ke tempat asalnya. Kakinya yang tidak beralaskan apa pun dipaksanya untuk menyisiri jalan berbatu dan beraspal panas. Semakin jauh ia berlari… ingatan akan tempat yang pernah ia kenal semakin memudar, menjauh berubah menjadi sebuah titik. Kakinya yang telah melepuh dan mengeluarkan darah segar tidak mampu lagi untuk kembali ataupun meneruskan perjalanan, terhempaslah sudah tubuhnya di atas aspal panas.

“Kenapa tidak melanjutkan perjalanan?” terdengar sebuah suara dari kejauhan. Rayu mendongakkan kepalanya. Sesosok bayang-bayang berjalan kearahnya, semakin dekat semakin jelas bahwa bayang-bayang tersebut adalah seorang perempuan. Ia pun datang dengan wajah datar, tidak ada senyuman terlebih yang membingungkan bagi Rayu adalah penggunakan jaket hitam dengan kaos putih di dalamnya, serta celana jeans hitam dan sepasang sepatu Converse butut di tengah terik mentari.

Rayu hanya menggelengkan kepala, terlebih… kedua bibirnya seperti menciut di bawah terik mentari. Perempuan tersebut pun lalu berkata, “sakitnya hanya sementara, terus lah berjalan. Aku akan membantumu.” Perempuan tersebut menjulurkan tangannya, “namaku, Dolores.” Rayu yang kelelahan dan kebingungan mau tidak mau mengikuti perkataan Dolores.

Perih dari luka di kedua telapak kakinya memanjat dengan cepat pusat saraf. Badannya gemetar dan menolak untuk melanjutkan perjalanan. Namun, Dolores masih dengan sabar menunggu Rayu untuk berdiri. “Tidak apa, pelan-pelan saja. Akan aku tunggu.” Jawabnya.

Rayu perlahan membuka kedua bibirnya yang telah kering. Ia sudah tidak tahan dengan rasa jengkel yang menyerang batinnya selama berlari-lari mencari jawaban atas pertanyaannya, “di…” Rayu mengambil nafas panjang dan mencoba untuk membasahi bibir keringnya dengan air liur yang tersisa, “tempat apa ini?”.

Dolores mengerutkan alisnya, “tak ingatkah kau tempat ini? Ia berjongkok, mendekatkan dirinya kepada Rayu yang menggelengkan kepala. “Kau akan tau nanti.” Lanjutnya, “yang terpenting kau harus terus berjalan ke depan. Jangan terlalu pedulikan rasa sakit itu. Kau membutuhkannya lebih dari yang kau pikirkan.”

“Entahlah.” Rayu mencoba menjawab dengan tenggorokannya yang semakin kering. “Bagaimana aku tahu tempat ini? Maksudku, aku sama sekali tidak memiliki ingatan akan tempat ini. Tetapi… ada rasa yang menggelitik sedari tadi.”

Belum sempat Dolores membuka mulutnya, angin kering bertiup dengan kencang bersamaan dengan itu, sebuah mobil berwarna putih. Tak lama berselang, seorang perempuan keluar dari dalam mobil. Perempuan tersebut mengenakan gaun berwarna putih dengan garis berwarna biru serta sebuah kalung yang bermatakan permata hijau. Perempuan tersebut tidak lebih tinggi dari pada Dolores dan juga Rayu. Perempuan tersebut berjalan semakin dekat, menggenggap sebuah tas dan sebuah payung untuk menghindari teriknya matahari. Perempuan tersebut berhenti tepat di depan Rayu.

“Kau pasti haus, ini minumlah.” Perempuan tersebut merogoh sebuah botol dari dalam tas tenteng tersebut. Ia sama sekali tidak memperhatikan Dolores yang mulai merasa dongkol dengan kehadirannya. “Namaku Ria.” Ria menjulurkan tangan. Rayu masih ragu untuk menerima air tersebut. “Minumlah, tidak ada racunnya. Aku bisa jamin. Lihat!” perempuan bernama Ria tersebut membuka botol berisikan air dan mulai meminumnya. “Lihatkan! Sekarang minumlah, aku tidak tega melihatmu kehausan seperti itu.”

“Hipokrit.” Celetus Dolores. “Minumlah, lalu kita pergi dari sini.” Rayu yang tidak memahami permasalahan yang terjadi mengiyakan perkataan Dolores. Dengan cepat, ia habiskan air pemberian dari Ria sampai tidak ada bulir-bulir air yang tersisa.  

“Oh, kalian sudah ada janji? Hmm… akan pergi kemana kalian?” Tidak ada satu pun dari mereka yang menjawab. Rayu hanya melongok, memperhatikan kedua orang asing dihadapannya.

“Bukan urusanmu, yang jelas di depan sana ada tempat rindang yang jauh lebih indah dari pada tempat mu berasal.”

Ria tertawa kecil, “benarkah? Jika memang hal tersebut nyata, mengapa belum sampai juga …” kata-katanya terpotong. Ria melirik ke arah Rayu yang duduk di antara mereka berdua. “… Padahalkan, bukannya dari dulu sudah merencanakan untuk mengambil jalan yang berlainan? Lihatlah dirinya, malang sekali.” Ria mengusap-usap rambut Rayu. “Ikutlah denganku, kita akan kembali dimana segalanya sangat bersahabat, nyaman dan familier. Kau tidak perlu bersusah payah mengikuti jalan yang tak tentu, tidak kah kau ingin seperti mereka?”

Dolores tertawa sinis. Ia mendorong Ria menjauhi Rayu hingga hampir terjungkal. “Dengar, sudah sekian lama kau ingin terbebas. Kau sudah bekerja disana-sini untuk tidak kembali ketempat itu. Haruskah pengorbananmu bertahun-tahun harus lenyap dengan rasa nyaman yang orang itu…” Dolores menunjuk Ria tepat dihadapannya, “menarikmu kembali ketempat yang selama ini membelenggumu?” Dolores menjatuhkan dirinya tepat dihadapan Rayu, ia mengangkat kepalanya yang sedari tadi disembunyikan. “Aku mengerti. Jalan untuk menjadimu bukanlah jalan yang mudah tapi lihatlah…. Bukankah indah diujung sana?”

Rayu hanya diam, menangis, entah ia tidak tahu berbuat apa. Ia dekap erat-erat tubuhnya sambil menggerakkannya ke kanan dan ke kiri. Rayu tidak memikirkan apa pun, tidak mampu berpikir lebih tepatnya. Kepalanya sudah terlalu penuh dan diobok-obok, tidak ada satu pun dari isi kepalanya yang menyangkut dan memberikan petunjuk. Namun, petunjuk untuk apa? Ia pun tak tahu. Tekanan di kepalanya semakin kencang diperburuk dengan detak jantungnya yang berlomba dengan cepatnya argument yang dikeluarkan oleh orang-orang asing ini.

“Buat apalah cari yang tidak pasti? Yakin di depan sana ada yang lebih baik?” Dolores hanya diam dan menahan amarahnya terhadap Ria. “Tuhkan, mukamu saja sudah tidak yakin seperti itu. Sudah akan aku bawa saja dia. Percuma berdebat denganmu!”

Dolores menyerobot tangan Rayu. “Kau buta? Atau pura-pura buta? Tidak lihat orang-orang yang pergi bersamamu hidup dengan kebosanan yang mandarah daging? Tidak akan aku biarkan kau membawanya.”

“DASAR BODOH! Idealistik tidak akan membawamu kemana-mana! Jadi lepaskan!”

“Percuma berdebat dengan orang BUTA sepertimu! Hidup dengan kenyamanan yang itu-itu saja? HAHAHAHA sedih sekali hidupmu! Jadi lebih baik kau menyingkir!”

Tarik menarik pun terjadi di antara keduanya. Dolores menarik Rayu ke arahnya, sama halnya dengan Ria yang menarik Rayu ke dalam dekapannya. Rayu tidak berkutik. Wajahnya telah berubah pucat pasi. Rayu sudah terjebak jauh di dalam kepalanya. Tarikan demi tarikan yang semakin kuat pada akhirnya harus mengembalikan Rayu pada dirinya. Ia terbangun. Matanya kosong bagaikan mayat yang tidak memiliki hidup. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri. Kepalanya sudah terlalu nyeri tidak lagi ditambah bahunya yang rasanya sudah siap untuk putus kapan pun tekanan yang kuat akan datang. Dengan sekali tarikan nafas panjang, Rayu menarik kembali kedua tangannya hingga ketiganya tersungkur ke tanah. Tenaganya telah habis. Ia lelah. Ia ingin menghentikan segalanya.

***

Aku pun terbangun. Derasnya hujan dan angin yang berembus dengan kencang menarikku kembali pada kenyataan. Aku sudah cukup muak dengan rasa getir yang selalu menggelitik dan keruhnya pemikiranku yang dicampurkan dengan berbagai kenyataan. Kenyataan… kenyataan siapakah yang aku lihat? Yang mereka tanamkan? Siapa itu yang mereka panggil Rayu? Dia yang selalu mendekap cacian dan mengembuskan rasa amarah jauh sebelum sampai pada ujung lidah, digantikan dengan tutur kata yang halus dan lembut atau dengan sebuah senyuman. Itulah yang selama ini aku terima dan harus aku implementasikan. Ya Rayu, nama tersebut selalu muncul dan bagai sebuah lantunan musik berdengung dan terus berputar di dalam kepalaku. Rayu. Mereka menggunakan nama itu disetiap saat pertemuan denganku. Tapi aku bukan Rayu. Aku tidak pernah merasa sebagai Rayu, dan aku tekankan sekali lagi, aku bukan Rayu. Namun, mereka memaksa.

Setiap kali kaki ku melangkah, selalu Rayu yang diagung-agungkan. Aku yang bersembunyi hanyalah kegagalan, bahkan sebelum aku mencoba untuk membuka diri. Rayu yang selalu menari di atas hijaunya rumput rindang, ditemani dengan bunga warna-warni dan pepohonan yang rindang, ia tersenyum manis ke arahku. Aku. Ya aku, yang menari dengan kaki yang melepuh di atas jalan yang panjang dan dibawah teriknya mentari tak ada satu pun pepohonan yang mampu untuk bertahan bahkan kaktus pun menyerah. Kami saling menatap di persimpangan jalan. Hanya aku dan Rayu. Senyum itu! Aku sudah muak melihatnya! Lihatlah betapa beruntungnya ia dapat diterima dan aku hanya bayang-bayang. Tidak. Cukup sampai disini. Aku lelah dengan segala yang kau dapatkan dan tidak untukku. Lepuh di kaki tidak lagi mampu menghentikan lepuhnya diri yang selama ini kau sembunyikan di balik layar. Ku seret kaki ku, melewati batasan persimpangan semakin lama semakin kakiku meminta untuk berhenti namun aku terlalu lelah untuk berhenti. Aku harus berhadapan dengannya secara langsung! Aku harus… aku harus menghentikan semua ini. Ya tidak lama lagi. Maafkan aku, selama ini aku harus terus memintamu untuk mengalah. Aku akan mengakhiri segalanya…

“HEY! AKU SUDAH MENELPON MU BERPULUH-PULUH KALI!” teriak seseorang dari balik pintu. “JANGAN BILANG KAU SEDANG MENCOBA MELAKUKAN HAL ITU LAGI? AYOLAH! AKU BUTUH BANTUANMU! CEPAT BUKA PINTUNYA!”

Aku menarik kembali kakiku. “Mungkin bukan sekarang.” Aku berjalan meninggalkan kebebasan yang sudah di depan mata. Ku bukakan pintu, temanku, dengan nafas yang terengap-engap dengan cepat masuk ke dalam apartmenku dan memelukku.

“Bodoh! Untunglah aku datang tepat waktu! Aku harus mengambil tangga untuk naik ke lantai sepuluh! Kalau saja itu lift tidak dalam perbaikkan! Sudah berapa persen kamu melakukannya?”

Aku hanya terdiam. Entah, siapa yang ia ajak bicara aku atau Rayu. “Aku hampir menciumnya.” Matanya terbelalak tidak percaya.

“Sepertinya aku harus mencari kamar di apartemen ini.”  Kami berdua pun berjalan menuju sofa putih gading tepat berhadapan dengan televisi yang sedang menyala. “Kalau-kalau saja kau semakin nekat. Sudahlah, aku lapar yuk pesan bakso pas kan dingin-dingin begini.”  

Aku mengangguk saja. Dengan hati yang masih sakit dan dada yang masih berat aku berjalan menuju dapur kecil di studio apartmenku dan membuka kulkas kecil tepat disebelah dispenser yang berisikan air gallon. “Mau dari botolnya langsung atau butuh gelas?”

Temanku bangkit dari tempat duduknya, mengambil sebuah pembuka botol dan menerima botol yang aku sodorkan kepadanya, “aku lebih suka dengan es batu.” Ia mengambil sebuah gelas dan mengisinya dengan es batu serta menuangkan minuman ke dalam gelas. “Aku kira kamu hanya suka kopi pahit, lain kali ayo kita minum di bar!”

Mataku terbelalak pada sebuah cermin yang berdiri tepat di samping televisi yang sedang menyala. “Aku… Rayu” gumamku. Mataku dengan gatal perlahan menelusuri setiap inci dari tubuhku.

“Memang kamu Rayu.”

“Bukan.”

 

 

Ikuti tulisan menarik Putri Paays lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB