x

Jembatan

Iklan

Dityas

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 1 Desember 2021

Rabu, 1 Desember 2021 11:48 WIB

Perempuan di Jembatan

Dia selalu menemukan perempuan itu di jembatan. Tatapannya seakan kosong menatap sungai di bawah jembatan. Berdiri diam di sana tanpa sekalipun bergerak di belakang pagar jembatan. Dia tidak tahu siapa perempuan itu, namun saat dia pulang melewati jembatan itu, perempuan itu selalu hadir di sana.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Warna kuning kejinggaan menampak diri pada panorama di langit Ibukota. Mengikuti padat kendaraan merayap di jalan aspal hitam, berbunyi bising menghasilkan asap dari pipa pembuangan yang semakin terus menambah buruk polusi udara.

Saat ini Rian berjalan di trotoar, melangkahkan diri di samping jalan besar yang penuh oleh kendaraan lalu lalang. Beberapa kali kakinya turun dari trotoar menuju bahu jalan ketika para pedagang kaki lima menutup akses trotoar dengan lapak mereka. Sesekali pengendara motor yang terlalu pinggir ke bahu jalan hampir menyerempetnya. Sehingga setiap kali dia turun ke bahu jalan, Rian melihat ke belakang untuk memastikan tidak ada motor yang menuju arahnya.

Peluh memenuhi sisi wajah pria berusia di pertengahan 20 ini. Beberapa kali lengannya mengusap kening, menyeka bulir-bulir keringat yang mengganggu, hingga meninggalkan noda coklat pada lengan kemeja putihnya. Bagian lain kemeja yang dikenakan olehnya juga basah karena menyerap cairan tubuh dari kelenjar keringatnya. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Gerahnya ...." katanya mengeluh.

Mungkin masih ada beberapa kilometer lagi untuk sampai ke kontrakan tempatnya tinggal. Uang sakunya sebenarnya cukup untuk menaiki angkutan umum. Tapi dia juga harus berhemat pada sisa uangnya yang sudah semakin sedikit.

Meski sudah sore, sengatan mentari masih sangat membuatnya tidak nyaman. Ah tidak juga; mungkin lebih tepatnya karena dia terus berjalan tanpa istirahat selama satu jam yang lalu, sehingga dia tidak mengambil rehat sejenak untuk mendinginkan tubuhnya yang mulai dehidrasi kehilangan banyak cairan.

Tapi tidak apa-apa.

Dia hanya mengeluhkan rasa gerah yang melanda. Staminanya masih cukup untuk berjalan sampai rumah.

Karena terus berkeringat, dia melirik jarinya yang mengapit sebuah map coklat di tangan kanan.

"Ya ampun. Kalau basah nanti malah ribet lagi nge-foto copy."

Karena tidak ingin map coklat yang ada digenggamnya ikut basah, Rian menarik tas ransel yang berada di punggung ke depan. Resleting paling besar di tarik hingga terbuka. Kemudian jarinya menaruh map di dalam dan menutupnya kembali. Belum terlambat menyelamatkan map coklatnya.

Bermenit-menit telah berlalu. Mentari semakin tenggelam di arah barat. Pijakannya sekarang tidak lagi ada di trotoar beralaskan bumi, melainkan pada semen keras yang menutupi rangka-rangka besi baja. Rian menyadari bahwa saat ini dia singgah pada jembatan penghubung antar kota, dia mengetahuinya setelah menengok kearah sungai yang ada di bawah jembatan.

Jembatannya cukup besar, mengikuti jalan utama yang lebar sebelum jembatan. Saat melihat ke arah angkasa, ada rangka-rangka baja lainnya yang menyatu saling bersilangan pada dua sisi jembatan. Sehingga bayangan rangka-rangka baja terpantul oleh cahaya mentari pada badan aspal di jembatan.

Jembatan ini begitu tinggi. Karena ketika melihat sungai di bawah, rasanya seakan jauh sekali melihat permukaan sungai. Arusnya deras dan warnanya coklat pekat, beberapa sampah juga bertumpuk di sudut bagian sungai. Jika dilihat secara singkat, sungai ini sama sekali tidak begitu sedap di pandang oleh mata karena berbagai masalah yang ada di sungai ini.

Puas melihat sungai, Rian memandang ke depan. Sesaat dia nampak cuek, tapi kemudian Rian menemukan seorang perempuan yang juga memandang ke arah sungai. Jarak mereka hanya beberapa langkah, hingga dia mendekati perempuan itu sambil menyapa.

"Kau selalu disini ya," sapa Rian.

Perempuan itu tidak menoleh sama sekali. Dia hanya berdiri sangat dekat dengan pagar penghalang di pinggir jembatan. Tidak pasti apa yang ada di benaknya, namun Rian memastikan bahwa pandangan perempuan itu terkesan kosong.

Secara tidak sengaja dia mengikuti perempuan itu berdiri di belakang pagar. Untuk menghindari ketidaknyamanan yang mungkin dirasakan perempuan itu, Rian memberi jarak di antara mereka. Tetapi dalam jarak yang berjauhan ini dia masih bisa berkomunikasi dengannya.

"Sudah berapa kali kita bertemu? Apa mungkin sudah lima kali?" tanya Rian.

Kembali, perempuan itu tidak menjawab.

Ini bukanlah pertemuan perdana mereka. Rian sudah memperkirakan bahwa mereka sudah saling temu selama beberapa hari sebelumnya. Mungkin ada sekitar hampir seminggu.

Dia tidak tahu siapa perempuan itu. Setiap kali dia melewati jembatan ini, Rian selalu melihatnya berdiri di posisi yang sama pada jembatan. Dengan pandangan yang seakan tidak ada cahaya di sana; berikut juga sapaannya yang tidak pernah dibalas.

Mungkin dia adalah warga yang tinggal di sekitar jembatan. Karena Rian sendiri adalah pendatang dari luar kota, dia belum mengetahui benar-benar seluk beluk Ibu kota. Dia datang ke Ibu kota untuk mengadu nasib untuk mencari pekerjaan, hanya itu tujuannya.

"Aku masih belum menemukan pekerjaan."

Rian menyenderkan tangannya pada besi jembatan. Terpaan angin yang datang membuat kemeja basahnya menjadi agak lebih sejuk ketika menyentuh kulit. Mungkin kata yang tepat untuk saat ini adalah; Rian sedang meng-ademkan diri.

"Rumah makan, toko kelontong, ruko-ruko, dan berbagai tempat lainnya ... belum ada yang tertarik untuk memperkerjakanku." Rian menundukan kepalanya.

"Aku seketika teringat perkataan Ibu...."

"Sudah beberapa kali beliau mencegahku untuk pergi ke Ibu kota. Tapi karena terus melihatku yang gigih untuk pergi merantau, beliau mengizinkannya. Dia berpesan, jangan sampai lupa keluarga yang di kampung kalau sudah sukses di sana. Karena aku adalah anak laki-laki paling sulung di keluarga, Ibu berharap banyak padaku."

"Apalagi Bapak masih memiliki hutang sebelum meninggal dua tahun yang lalu. Sejak saat itu aku kerja apa saja di kampung demi menabung dari pekerjaan serabutanku dan melunasi hutang-hutangnya. Karena penghasilannya tidak menentu, keinginanku untuk merantau semakin tinggi. Aku harus merubah hidup keluargaku dan demi Bapak yang sudah meninggal."

"Sepertinya aku terlalu percaya diri ..."

"... Jika mencari pekerjaan di Ibu kota, maka akan mudah kudapatkan pekerjaan yang beragam. Upahnya kuyakin juga besar, dan aku bisa mengirim uang ke kampung setiap bulannya. Tentu saja uang itu untuk biaya kehidupan keluargaku, untuk Ibu, untuk melunasi hutang Bapak dan biaya sekolah adikku yang masih duduk di bangku SMP."

Rian memeluk ranselnya sendiri dengan erat.

"Apakah aku juga mulai meragukan pilihanku untuk merantau? Angan-anganku sebelumnya terkesan hanya mimpi belaka. Aku meragukan nasibku yang mulai luntang lantung tak karuan."

"Aku mulai capek dan lelah karena tidak kunjung mendapat pekerjaan."

"Uang saku yang kubawa dari rumah sebelum pergi merantau sebenarnya sudah habis. Tersisa hanya uang dari tabungan yang kupecahkan kemarin."

"Aku mulai khawatir apa aku bisa membayar kontrakan bulan depan nanti. Biayanya cukup menguras uang saku dan sepertinya pemilik kontrakan itu juga tegas. Mungkin dia akan mengusirku jika aku telat membayarnya."

Rian menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Segera dihembuskannya kembali karbondioksida dari paru-paru. Bercerita panjang lebar seperti tadi membuat nafasnya habis.

Ngomong-ngomong. Tentang ceritanya barusan;

"A-ah maaf. Aku kayaknya kembali curhat lagi ya?"

Rian terkekeh, "Entah kenapa ... aku mulai rindu pada Dodi."

Badannya berbalik dari jembatan. Kini dia menyenderkan belakang punggungnya pada pagar besi. Kepalanya terangkat, mendongakkan wajah menuju atas, melihat langit yang mulai berwarna jingga gelap samar-samar.

"Kalau hatiku risau, dia mau mendengarkan curhatku. Begitu pula dengan dia, aku akan mendengarkan masalahnya sampai merasa baikan."

"Tapi aku sudah dewasa, umurku sudah 25 tahun. Apa iya aku harus terus bergantung padanya?"

Rian memegang keningnya. Perlahan bergeser ke arah rambutnya. Kemudian dia mengacak-acak helaiannya sampai cukup berantakan. Kepalanya bergeleng-geleng kanan kiri.

"Sepertinya aku kecapean."

Rian berbenah sedikit. Ranselnya kembali dikenakan pada belakang punggung. Dia mendekat kearah perempuan itu.

"Aku pulang dulu ... Kau juga pulang lho ya, soalnya udah sore nih."

Rian terdiam memikirkan kata-katanya.

"... apa sih, astaga. Sudah benar-benar seperti orang gila aku."

Dia meninggalkan sang perempuan. Kembali ke tujuan awalnya untuk pulang kw kontrakan. Rian sepertinya butuh istirahat yang cukup. Badan dan mentalnya harus siap untuk besok kembali mencari pekerjaan.

Rian masih tidak mengetahui siapa perempuan itu. Akan tetapi, yang dapat diketahuinya adalah perempuan itu seperti hadir di sana ketika dia sedang dilanda banyak pikiran.

Dia menoleh ke belakang, tanpa menghentikan langkah kakinya. Apakah perempuan itu bereaksi ketika dia pergi?

Wajahnya menunjukan ketegangan, begitu mendadak, hingga kerutan di usia mudanya terlihat pada beberapa lipatan wajahnya. Matanya terbuka sangat lebar. Jiwanya terasa kaget bersama kengerian yang muncul seketika dalam hati.

"Aaaaaaaaaaaaaaaaaaa!" Rian berteriak.

Situasi berubah 180 derajat.

Dia menghentakkan kuat kakinya, menekukkan sendi pada lututnya, hingga momentum itu dimanfaatkan olehnya dengan melompat sambil berpegangan pada pagar. Waktu seakan melambat ketika sisi matanya melihat ada yang figur yang seakan jatuh dari jembatan.

Dengan langkah penuh emosi, refleks tubuhnya mengikuti seseorang yang terjun dari jembatan. Tidak salah lagi, yang dia lihat adalah perempuan pendiam itu benar-benar melompat tanpa ragu dari jembatan.

Sampai akhirnya, tak satu pun bisa mencegahnya, begitu pula untuk mencegahnya ikut melompat. Atau bisa dikatakan; hanya dia yang melompat dari jembatan.

Rian meraskan bahwa jantungnya seakan berhenti untuk berdetak. Wajahnya semakin menunjukan ketegangan—dan sedikit kepanikan. Bibirnya mengatup rapat, wajahnya tetap menegang. Dia tidak berpikir jernih saat memutuskan untuk melompati pagar jembatan.

Tapi dia menyadari.

Bahwa tidak ada perempuan yang melompat terjun.

Berangsur-angsur wajahnya melunak, bibirnya sedikit melengkung senyum, matanya yang menyorot tajam kebawah kini memejam, dan tubuhnya melemas dengan pasrah.

"Maaf, Ibu ...."

Di atas jembatan, beberapa orang yang sebelumnya tidak ada mulai berkumpul di belakang pagar, berbondong-bondong mendekat ke sisi samping jembatan. Mereka menyaksikan dengan jelas ada seseorang yang melompat dari jembatan, tapi mereka tidak bisa berbuat banyak untuk sekedar menolong.

"Aku lelah, Tuhan."

Karena sejak awal, memang tidak pernah ada perempuan di sana.

-----------------------------

Ikuti tulisan menarik Dityas lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB