x

Saat pulang sekolah, aku selalu mendapati ayahku sedang duduk-duduk saja di teras rumah. Di meja selalu tersedia minuman hangat, berupa kopi atau teh. Lalu, sambil duduk-duduk itu ayah menghisap rokoknya. Kadang-kadang, rokoknya itu berbeda dari hari satu ke hari lain. Kata ayahku, \x201citu gimana mood\x201d. Padahal, gimana keuangan saja.

Iklan

Aprizal Rama Hendrayanto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 2 Desember 2021

Sabtu, 4 Desember 2021 20:34 WIB

Lampu Kuning

Saat pulang sekolah, aku selalu mendapati ayahku sedang duduk-duduk saja di teras rumah. Di meja selalu tersedia minuman hangat, berupa kopi atau teh. Lalu, sambil duduk-duduk itu ayah menghisap rokoknya. Kadang-kadang, rokoknya itu berbeda dari hari satu ke hari lain. Kata ayahku, “itu gimana mood”. Padahal, gimana keuangan saja.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kisah yang hendak kuceritakan adalah sebuah gambaran dari manifestasi kesedihan akan kehilangan. Juga adalah sebuah cerita mengenai “hantu”. Sebab, di dalamnya memuat kejadian mistis yang bahkan siapapun yang mengetahuinya akan mengernyitkan dahi mengenai pengalaman supranatural yang ada di dalam kisah ini.

Perlu dicatat, bahwa ini adalah pengalaman pribadiku langsung! Maka dari itu, percaya atau tidak itu terserah kalian. Toh, aku ini’kan yang mengalaminya?

Kejadian itu terjadi pada sepuluh tahun yang lalu, ketika aku mengenyam pendidikan di sekolah dasar. Tepat saat itu, ada suatu kebiasaan baru yang dilakukan oleh ayah. Tapi, aku tidak yakin kebiasaan ini membawa manfaat yang signifikan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kebiasaan baru ayahku ini adalah melamun. Ya, melamun! Rutinitas tersebut dapat aku temui ketika aku telah sampai di rumah, usai belajar di sekolah pada pukul 12.30. Beginilah kira-kira kondisinya; ayah duduk sambil melamun di teras rumah, matanya kosong tapi sepertinya menyimpan suatu perasaan, jemarinya mantap menjepit rokok yang masih menyala, dan sesekali ia menghisapnya. Rokoknya tidak sendiri, di meja tersedia kopi atau teh hangat untuk selanjutnya dinikmati dalam prosesi kebiasaan baru ayah.

Tentu saja, sebagai bocah yang kira-kira umurnya baru 11 tahun, aku tidak membiarkan ini terjadi. Maksudku, rasa penasaran ini terus meluap dan aku memiliki banyak kesempatan untuk bertanya kepada ayahku mengenai rutinitas barunya yang tidak membawa manfaat yang signifikan. Rasa penasaran itu timbul tepat di hari kelima aku mendapati ayahku melamun di waktu dan tempat yang sama – kecuali kalau ayah masih ada di tempat kerja atau sedang pergi entah ke mana, membayangkan ayah membawa kebiasaan barunya ini ke luar rumah membuatku cemas juga.

Saat itu, pukul 12.30. Saat aku bertanya untuk pertama kalinya kepada ayah. Ayah, kenapa terus melamun? Tapi, ayah tidak melontarkan jawaban. Ayah seolah-olah tidak sedang dalam raganya. Okay-lah raganya di sana, aku melihat duduk dan wajah melamunnya ayah. Tapi pikirannya? Mungkin sedang ada di tempat yang lain.

Aku guncang sedikit dengan menanyakan pertanyaan yang serupa. Hening, tidak ada sahut dari raga yang ditinggalkan jiwa entah ke mana. Hari itu, aku menyerah. Tapi besok, aku akan berhasil.

Hari ketiga, kelima, kesembilan, berhari-hari sudah aku bertanya hal yang sama, ayah tetap dalam kondisi saat pertama aku bertanya. Kalau saja ada kesempatan di pagi hari aku bertemu ayah, aku akan menodongnya dengan pertanyaan ini. Tapi, ayah berangkat lebih pagi dari bangun tidurku. Di malam hari pun, ayah tidak banyak bicara – seolah-olah raganya terciprat sedikit air jiwanya. Jalan sedikit lunglai ke kamar, meja makan, dan melakukan gerakan apapun.

Aku menyerah.

Lebih baik aku simpan saja pertanyaan ini. Biarkanlah rasa penasaran ini terkubur. Aku lebih baik menunjukkan sikap ketidaksukaanku terhadap ayah atas perlakuannya yang satu ini. Biar ayah menyadarinya!

Barulah pada suatu malam, apa yang terjadi bukan seperti apa yang aku perkirakan. Alih-alih mendapat jawaban, aku malah mendapat pengalaman mengerikan. Inilah momen pertama aku melihat hantu. Itu tidak disengaja, sebab malam ini aku terbangun akibat rasa ingin buang hajatku yang besar dan kerongkongan yang terasa gersang. Aku segera turun ke lantai bawah – meskipun ada kamar mandi di lantai atas, tapi sekalian saja aku juga mengambil air untuk diminum.

Setelah usai memenuhi hajat dan menyirami kerongkongan yang gersang, aku dengan sigap bergegas menuju kamarku. Kalian mungkin perlu detail ini: dapurku bentuknya melebar dan luas, ia tersambung langsung ke arah ruang tengah yang tidak kalah luasnya, kemudian ruang tengah tersambung ke ruang tamu. Jika kemampuan mata kalian masih baik, bersyukurlah kalian, maka kalian dapat menjangkau pandangan hingga tembok ruang tamu yang menjadi batas ruangan di rumah ini. Dan, di sinilah aku. Dari ruang dapur, sekejap aku melihat sesuatu yang tidak seharusnya di ruang tamu.

Pintu rumahku, terbuka sedikit.

Sebagai bocah 11 tahun, memilih pergi ke kamar orang tua untuk membangunkan mereka, dan memberitahu mengenai pintu rumah di ruang tamu yang terbuka sedikit adalah sesuatu yang benar untuk dilakukan – dan tidak ada yang akan memarahi. Tapi, entah mengapa aku tidak memilih pilihan populer bocah 11 tahun itu. Aku lebih tertarik untuk menciptakan pilihan lain – sebab yang kulakukan ini tidak terdaftar dalam pilihan apapun dalam pikiran bocah 11 tahun – yaitu, dengan nekat pergi ke sana untuk menutup pintu.

Tuh’kan, salah.

Langkah menuju ruang tamu ini, rasanya berat sekali. Karena, aku tidak menyangka akan sengeri ini. Dari pintu itu, aku dapat merasakan angin halus menusuk kulit-kulit. Sensasinya, seperti aku tengah dicakar oleh tangan tak terlihat. Belum lagi, senyap yang seolah-olah memelukku. Bulu kudukku berdiri!

Aku tidak menyerah, lanjutkan saja bocah! Kamu yang memilih pilihan ini.

Aku harap, ada suatu penghargaan yang disematkan kepadaku. Bocah berumur 11 tahun yang mampu melawan rasa takut, meskipun dengan menahan kencing. Ya, tentu saja untuk semua bocah berumur 11 tahun lainnya.

Sesampainya di daun pintu, angin halus itu semakin mencengkram tubuhku. Aku semakin merasa ngeri. Hal itu menyebabkanku memproyeksikan imajinasi, hal yang sering dilakukan bocah 11 tahun sepertiku.

“Jangan-jangan, di balik pintu ini ada pemburu yang mengintaiku dan segera menculikku!”

Aku memegang gagang pintu, siap untuk menutup pintu itu secara perlahan. Sampai, sebelum aku menutup mataku dalam-dalam, sekejap aku menangkap rambatan cahaya di luar.

Namun, bukan itu saja yang membuatku menghentikan gerak menutup pintu, melainkan kejanggalan di balik pintu rumah ini. Aku buka mataku lebar-lebar, aku perhatikan.

Pintu keluar rumah, tersambung ke suatu ruangan.

Apa aku sedang bermimpi? Jelas-jelas pemandangan yang seharusnya ada di sana adalah; teras rumah, halaman depan rumah, pagar rumah, dan rumah-rumah tetangga. Tapi, ada apa dengan itu semua? Belum lagi bergulat dengan kebingungan itu, aku dihinggapi kengerian lainnya ketika ruangan itu menghasilkan suara tawa. Suara tawa yang tidak kukenal.

Rasa ngeri itu hinggap bersamaan dengan rasa penasaran. Karena, hey, aku bocah 11 tahun! Lalu, aku coba condongkan tubuhku ke dalamnya. Ruangan itu melebar ke kiri dan suara itu jelas dari arah kiri ruangan. Detail di dalamnya aku tidak ingat pasti; yang jelas ruangan ini hanya dilengkapi oleh meja panjang dan dua kursi yang masing-masing diduduki oleh dua sosok misterius, dengan pencahayaan lampu berwarna kuning, dan kapnya melindungi lampu tersebut secara menggantung.

Suara tawa itu timbul lagi. Kali ini, suaranya familiar. Itu, tawa ayahku.

Aku mencondongkan tubuh ke sebelah kiri, lebih ke dalam lagi dengan berpegangan kepada daun pintu. Aku mendapati orang asing yang tengah berbincang dengan ayahku saat ini. Tapi, siapa? Mengapa harus tengah malam? Biar aku jelaskan posisi keduanya; orang asing itu menghadap ke arah pintu, tempat aku sedang menyelidiki mereka, dan bisa dipastikan orang yang membelakangiku adalah ayah. Maka demikian, kehadiranku itu tanpa disadari olehku, telah disadari oleh orang asing tersebut.

Brak...

Aku menangkap wajah orang asing itu, tapi hal itu malah membuatku melepas genggaman tanganku di daun pintu. Aku jatuh.

Samar-samar orang asing itu berkata, “Sepertiny ada yang masuk”. Celaka! Ayah menoleh ke arahku – di sinilah aku dilanda kebingungan, antara merasa aman atau merasa takut – dan segera menyadari siapa yang berusaha mencaritahu soal pertemuan mereka.

“Afi?”

“I..iya, ayah...”

“Hahaha... itu kamu, nak. Ya, tidak masalah. Jadi, sampai mana tadi? Oh, soal rencana berhenti merokok, itu...”

Ayah melanjutkan dialognya yang sempat terputus karena menyadari keberadaanku. Ketika ayah sibuk berceloteh, orang asing itu menatap terus ke arahku. Aku dibuat ketakutan setengah mati karenanya, terlebih aku masih dalam posisi tengkurap. Pandangan kami saling bertemu.

Hal ini menjadi kesempatan bagiku untuk mengetahui siapa orang asing tersebut. Aku perhatikan, tapi sepertinya ada yang aneh. Seperti...ada yang familiar.

Kali ini aku begitu khusyuk mengamati orang asing ini; aku perhatikan wajahnya, warna kulitnya, rambutnya, dan pakaian yang dipakainya. Apa ya?

Ah.

Setelah diperhatikan terlalu lama, orang asing itu mengarahkanku ke dalam suatu ingatan tertentu. Ya, jelas saja aku langsung bangun dan lari secepat yang aku bisa. Aku pernah melihatnya di suatu tempat, ah bukan. Aku pernah melihat orang asing itu, dalam album besar keluarga. Aku melihat “hantu”!

Begitu mengerikan, aku lari sambil gemetaran, disentuh sedikit mungkin akan jatuh. Rasa kencingku juga semakin kuat, tapi aku tidak mau berhenti untuk ke kamar mandi. Aku tidak mau tertangkap oleh “hantu” di tempat seperti itu. Keringatku bercucuran, seperti banjir yang melahap kota-kota besar. Kini, ku mulai menaiki tangga satu persatu. Astaga, ini adalah bagian yang tersulit. Bagaimana kalau langkah “hantu” itu lebih besar sehingga ia dapat menangkapku di tangga? Tapi, tertangkap di tangga menuju kamarmu itu konyol. Biarlah aku tertangkap di kamarku sendiri, karena setidaknya itu adalah kamarku.

Aku yang memacu langkah-langkah dengan rasa ketakutan, berhasil membuka pintu kamar, memasukinya, dan membanting diri ke kasur serta cepat-cepat menutup tubuh dengan selimut. Aku menutup mataku dalam-dalam, sambil merapalkan doa yang aku ingat, berharap aku bisa cepat tidur. Tapi, malam itu rasanya sulit sekali untuk tidur meskipun pada akhirnya aku dapat melakukannya.

Semenjak tragedi itu, perawakan orang asing tersebut kerap menjadi mimpi burukku. Tiada malam tanpa kehadirannya. Hal itu, membuatku sering terbangun di tengah malam. Ingin rasanya, aku tanyakan kejadian itu kepada ayah atau bunda. Tapi, entah mengapa aku belum ada keberanian, terlebih menceritakannya hanya akan mengingatkanku pada mimpi buruk semalam.

Hingga usiaku sudah sedemikian dewasa, aku memberanikan diri untuk melakukan investigasi. Semenjak usiaku 17 tahun, mimpi buruk mengenai orang asing itu sudah tidak mengunjungiku di tiap malam. Kemudian, mengenai investigasi itu. Ya, aku melakukan pengecekan ingatan, yang setahuku, orang asing yang kutemui itu – alias “hantu” – pernahku temui dalam album besar keluarga. Hasilnya begitu mengejutkan diriku, sebab ciri-ciri keduanya sama. Setelah investigasi itu dilakukan, aku mulai beranikan diriku untuk menanyakan sesuatu yang sudah lama menghantui dan menghinggapi hatiku kepada bunda.

Inti dari jawaban bunda adalah; begitu kita mendapati seseorang yang memiliki kesedihan mendalam, jangan coba-coba untuk usil atau mengganggunya. Apalagi, kesedihan mendalam akibat ditinggalkan oleh orang terkasih. Terkadang, kesedihan mereka itu mampu menciptakan satu ruangan, dengan meja dan dua kursi, serta penerangan lampu kuning di atasnya – bunda memberikan perumpamaan sesuai dengan apa yang kualami, namun ruangan yang dimaksud bisa berbentuk apa saja. Ruangan itu adalah manifestasi dari rasa kehilangan dan kerinduan, yang bahkan dapat dirasakan dan dimasuki oleh orang yang sama sekali tidak memiliki keterkaitan apapun.

Cerita ini ditutup dengan pemahamanku sendiri, akan apa yang telah kualami saat berumur 11 tahun. Ruangan yang kutemui, adalah bentuk ekspresi dari rasa kesedihan mendalam ayah karena ditinggalkan orang terkasih. Ayah begitu merindu, sebabnya ruangan itu muncul. Terlepas dari bagaimana ruangan itu bekerja, tapi ada suatu kegelisahan dalam benak mengenai ruangan itu. Ruangan pertemuan antara orang yang ditinggalkan dengan orang yang meninggalkan. Ruangan yang mempertemukan manusia dan “hantu”, alias orang yang hidup dan orang yang mati. Sekarang, aku ingin kalian juga sama-sama merenungkan dan coba temukan jawabannya; suatu pertemuan menggebu-gebu ini, sudah barang pasti keinginan untuk selalu bersama dengan orang yang telah tiada. Dengan kata lain, bukankah orang yang ditinggalkan mengharapkan sesuatu yang lebih? Ia ingin bersama dengan orang yang meninggalkannya, bukankah hal itu sama saja dengan menyusulnya ke dunia yang berbeda dengan kita, sebagai orang yang hidup?

Ikuti tulisan menarik Aprizal Rama Hendrayanto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB