x

Iklan

I Putu Sudibawa Karangasem

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 November 2021

Kamis, 9 Desember 2021 15:49 WIB

Refleksi dalam Pembelajaran

Dalam proses [embelajaran perlu dilakukan refleksi agar kita tahu apa yang sudah diajarkan dan dipelajari daat diterima oleh anak atau belum.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Belajar tanpa refleksi sia-sia, refleksi tanda belajar bahaya. Inilah kata-kata motivasi pendidikan yang saya dapatkan ketika menjadi pendamping dalam kegiatan Lokakarya guru penggerak. Motivasi ini membuat saya menjadi malu dan merasa berdosa karena selama ini saya melakukan proses pembelajaran sesuai dengan apa yang sudah saya rencanakan. Sangat sedikit saya bertanya kepada siswa, apakah proses pembelajaran yang dilalui bermakna atau bermanfaat buat siswa. J. Drost, SJ., secara tegas mengingatkan bahwa proses pembelajaran adalah membantu siswa untuk dapat mengembangkan potensi intelektual secara optimal. Dalam konteks ini sering diterjemahkan menjadi tindakan memberikan materi sebanyak-banyaknya kepada siswa. Deskripsi tajamnya pembelajaran menjadi semacam proses menimbun infromasi dan pengetahuan tanpa mengenal batas. Padahal Sheldon Shaeffer, salah seorang pakar UNICEF, secara tajam menyebutkan bahwa guru bukanlah keranjang sampah yang dapat dijejali beragam muatan ilmu yang kemudian secara sederhana dan mudah dimuntahkan kepada setiap siswa.

Analogi yang diungkapkan ini, akan sejalan dengan menganggap siswa ibarat sekadar botol yang dapat diisi dan dijejali pengetahuan apapun sampai tumpah ruah. Meskipun rumusan di atas sudah dipahami secara saksama oleh setiap penggiat pendidikan, praksis pendidikan di lapangan masih saja memposisikan siswa sebagai obyek dari program, aturan, instruksi, dan mekanisme pembelajaran. Nampaknya masih sangat kental ada doktrin yang masih tetap membelenggu keberadaan model relasi kependidikan antara guru dan siswa yang dikembangkan lebih mengarah kepada relasi subyek-obyek, bukan pengembangan relasi subyek-subyek. Jika relasi subyek-obyek di atas terus dipertahankan dalam proses pembelajaran, akan menimbulkan tekanan yang berlebihan pada hasil tanpa bisa menikmati prosesnya. Proses pembelajaran dijalani oleh seorang siswa untuk sekadar mendapatkan tanda lulus/tamat untuk mendapatkan sebuah pekerjaan. Sedangkan proses pembelajaran yang dijalani tidak dinikmati karena dianggap tidak penting. Muara dari mentalitas pembelajaran semacam ini, maka hasil proses pembelajaran akan melahirkan generasi terdidik yang bersifat materialistik, individualistik, dan komsumtif, serta memiliki mentalitas “jalan pintas”. Yakni semangat dan kemauan untuk mendapatkan sesuatu secepat mungkin dengan cara yang ringan, seperti dengan kekerasan, pemaksaan, dan lain sebagainya.

Dengan tanpa mengesampingkan kurikulum yang telah digariskan atau menambah beban bagi guru, mengedepankan proses refleksi dalam proses pembelajaran merupakan celah pendidikan yang perlu ditelusuri. Proses refleksi ini secara integral menyertai penyampaian bahan pembelajaran yang digariskan oleh kurikulum yang nampak overload. Mengedepankan proses refleksi dalam pembelajaran, berarti mensejajarkan posisi siswa dengan guru sebagai posisi yang sama-sama berinisiatif. Refleksi adalah proses yang mengajak siswa untuk memikirkan arti manusiawi tentang apa yang dipelajari dan pentingnya bagi sesama. Lebih lanjut diharapkan dapat mengantarkan siswa semakin menghargai hidup orang lain lewat nilai-nilai keutamaan dalam kehidupan bersama. Banyak nilai-nilai yang berkembang di masyarakat, maka dibutuhkan cara-cara yang dapat membantu siswa membentuk kebiasaan berefleksi menguji nilai-nilai dan kaitannya dengan kehidupan nyata.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mengedepankan proses refleksi dalam pembelajaran tidak sekadar menuntut siswa memiliki kemampuan untuk berkomonikasi, melainkan dalam setiap diri siswa perlu dikembangkan kualitas pribadi tertentu yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Mengutip pendapat yang diungkapkan oleh Paul Suparno, SJ, dkk., ada 3(tiga) hal yang perlu mendapat perhatian dalam proses refleksi, yaitu: 1) jiwa eksploratif, suka mencari, bertanya, menyelidiki, merumuskan pertanyaan, mencari jawaban, peka menangkap gejala alam sebagai bahan untuk mengembangkan diri; 2) kreatif, suka menciptakan hal-hal baru dan berguna, tidak mudah putus asa ketika menghadapi kesulitan, mampu melihat alternatif ketika semua jalan buntu; dan 3) integral, kemampuan melihat dan menghadapi beragam kehidupan dalam keterpaduan yang realistis, utuh, dan mengembangkan diri secara utuh. Proses pembelajaran dengan penyampaian pemahaman secara kognitif mendahului langkah refleksi. Langkah refleksi ini menyangkut proses menangkap arti dan nilai hakiki dari apa yang sedang dipelajari, pun menemukan hubungannya dengan segi lain dari pengetahuan dan kegiatan manusiawi. Dalam kaitan ini, proses pembelajaran dan pendidikan adalah proses yang berlangsung sejak manusia lahir sampai manusia mati. Analogi ini dapat diterjemahkan menjadi bahwa proses pembelajaran adalah proses kehidupan itu sendiri, dan sebaliknya proses kehidupan itu sendiri adalah proses pembelajaran. Dalam usaha optimalisasi piranti siswa, maka proses refleksi dalam pembelajaran menjadikan proses pembelajaran merupakan dunia riil siswa itu sendiri, bukan untuk mempersiapkan siswa untuk kehidupan mendatang. Hal ini sesuai dengan pendapat John Dewey “school is not preparation for life but life it self”. Mengedepankan proses refleksi dalam pembelajaran, akan sejalan dengan mensejajarkan kemampuan intelektual (IQ) dengan kemampuan perasaan (EQ). Meminjam terminologi Daniel Goleman, refleksi dalam proses pembelajaran IQ tidak perlu dinafikan, atau ingin mengedepankan EQ, melainkan keduanya perlu dikembangkan secara beriringan. Mengedepankan proses refleksi dalam pembelajaran menjadi sangat penting, karena didalamnya terungkap suatu fungsi yang mampu mengendalikan perasaan agar dapat menangani situasi yang lebih selektif, analitis, dan sesuai dengan potensi diri yang dimiliki. Dan nampaknya cukup beralasan, perlunya secara sinergi mengembangkan kecerdasan berdimensi tiga, IQ, EQ, dan SQ dalam setiap proses pembelajaran. Mengedepankan proses refleksi dalam proses pembelajaran tidak semudah membalikkan telapak tangan atau instant. Menemukan pribadi yang egocentris tidak serta-merta dapat dirubah menjadi pribadi yang altruis. Pribadi yang terbiasa duduk dimenara gading, tidak akan tiba-tiba dapat berimajinasi dengan kumuhnya kolong jembatan. Mengedepankan proses refleksi dalam pembelajaran yang panjang dapat dimulai dari lingkup yang terkecil dan dalam setiap kesempatan. Pun, akhirnya apa yang dikhawatirkan oleh Ida Wayan Oka Granoka, seorang seniman Bali, perlunya mengkristalkan kembali nilainilai puncak adhi luhung yang sangat universal yang telah terpuruk pada ambang penistaan dan pengingkaran sebagai akibat penyempitan kantong-kantong konstelasi formal. Nilai-nilai universal itu sekarang seolah-olah mengeras mengenaskan menjadi “kotak-kotak abadi” yang kosong tanpa isi jiwa dan budi (prana, buddhi, citta). Sehingga dengan demikian, proses refleksi dalam pembelajaran diharapkan dapat menghadirkan siswa yang berpengetahuan tertantang yang dapat membentangkan semangat estetika-eksploratik-religius dalam wadah yang holistik vertikal: satyam-siwan-sundaram (kebenaran-kesucian-keindahan). Semuanya ini diharapkan dapat menjelma dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pembentukkan Profil Pelajar Pancasila.

 

Penulis, Kepala SMAN 1 Rendang

Ikuti tulisan menarik I Putu Sudibawa Karangasem lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu