x

Kredit foto: Dreamstime

Iklan

Muhammad Ihsan

Siswa SMPN 7 Kota Magelang
Bergabung Sejak: 1 Desember 2021

Senin, 6 Desember 2021 19:02 WIB

Durhaka Fesyen

Tentang seorang remaja yang merasa telah berperilaku "durhaka" pada bapaknya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

TINGGI badanku sekarang sudah sedikit melampaui tinggi badan Bapak. Padahal aku masih SMP, lho

Nanti saat SMA, apalagi kalau sudah jadi taruna Akpol (cita-citaku jadi komandan Brimob) tentu ubun-ubun Bapak akan sejajar dengan tepi bawah kupingku.

Bermula dari perkara tinggi badan inilah yang kemudian membuatku merasa telah "durhaka" pada beliau. Tetapi kedurhakaan yang ini, mungkin, dosanya tidak terlalu besar. Bukan durhaka yang jenisnya berani atau melawan orangtua.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ini genre durhaka kekinian, durhaka a la ABG jaman now: durhaka outfit, durhaka fashion atau fesyen, alias durhaka busana. 

Sepanjang pengetahuanku, durhaka macam ini belum pernah disebut dalam kitab suci. (Setidaknya, Ustadz Abdul Somad, Gus Miftah, atau Guru Udin, ulama kharismatik dari Samarinda, belum pernah membahas soal itu.)

Begini penjelasannya: 

Baju, t-shirt dan celana yang dulu pernah aku pakai, sekarang dilungsur atau dilanjut-pakai oleh Bapak. Alasannya, karena sebagian memang sudah kekecilan. Tapi ada juga, bahkan lebih banyak, pakaian yang kuberikan pada dia karena aku sudah bosan.

Karena bosan, ya aku minta Bapak belikan lagi yang baru. 

Itulah yang dimaksud dengan durhaka fesyen: pakaian lamaku biar Bapak yang pakai, sementara dia harus beli lagi untukku. Yang baru, yang sesuai dengan keinginanku.

Waktu masih kelas lima SD, misalnya, aku paling suka memakai jersey klub-klub sepakbola Tanah Air. Mulai dari Persib Bandung, Barito Putera Banjarmasin, PSIS Semarang, serta Bali United.

Pertengahan kelas enam, seleraku berubah. Aku lebih suka memakai t-shirt berwarna hitam bikinan distro-distro lokal.

Sekarang, aku baru akan merasa keren kalau pakai kemeja kotak-kotak berbahan flannel, atau hoodie hitam bergambar silhouette penyanyi Ariana Grande.

Nah, kaus-kaus klub sepakbola itu, yang tidak lagi kupakai karena bosan, sekarang dilungsur oleh Bapak.

"Eman-eman, masih bagus", begitu kata dia.

Bukan hanya jersey bola; baju dan celana lebaranku pun dilungsurnya, untuk kemudian ia pakai pada lebaran berikutnya. 

Jadi selama lima lebaran terakhir, pakaian "baru" yang ia kenakan, sebenarnya sudah lebih dulu kupakai pada lebaran tahun sebelumnya.

"Kelihatan muda lagi kalau pakai baju kamu, Nak", kata Bapak, seolah berusaha memperlihatkan kegembiraan karena bisa melungsur pakaian bekasku. Tapi sorot matanya terlihat memelas.

Apakah Bapak benar-benar tidak pernah punya pakaian baru?

Sebenarnya tidak juga. Hanya saja, pakaian baru miliknya, memang tidak diperoleh dengan cara membeli, melainkan gratisan, pemberian dari parpol.

(Bapak, selain bertani, juga aktif menjadi pengurus ranting sebuah parpol. Alasan dia bersedia ditunjuk menjadi pengurus parpol, tentulah bukan karena tertarik pada dunia politik. Ia bahkan pernah tiba-tiba migrain atau sakit kepala sebelah, akibat berlama-lama mendengarkan pembicaraan mengenai politik.)

Bapak mau menjadi pengurus parpol, lantaran selalu mendapat uang bensin ketika menghadiri rapat. Jumlahnya lumayan, cukup untuk membeli beras, sayur berikut lauk untuk dua hari.

"Uang anget, Nak", kata Bapak, tiap kali memperlihatkan uang dari parpol itu kepadaku. Entah apa yang ia maksud dengan "uang anget" itu. (Barangkali karena terlalu lama ia selipkan di saku belakang celananya.)

Nah, selain uang bensin, kadang Bapak juga mendapat pembagian kaus bahkan baju kemeja dari situ.

Sebelum dia pakai, kaus atau kemeja dari parpol itu biasanya akan lebih dulu ia tawarkan padaku. 

"Lambang partainya kecil, kok. Tidak kelihatan kalau dari jauh. Kamu mau pakai?" tanya Bapak kepadaku.

LOL! Terang saja aku ogah! Walau bahannya halus dan lembut bagai sutra sekalipun, kalau itu kaus atau kemeja parpol, tetap saja tidak gaul. Kecuali, parpol itu berlambang Ariana Grande, barulah aku mau.

Selain pakaian, kedurhakaan fesyen ini juga berlaku untuk sepatu.

Aku punya tujuh pasang sepatu, semuanya masih bagus, tidak ada yang robek sedikitpun. 

Tapi diantara ketujuh pasang sepatu itu, hanya dua yang paling kerap kupakai. Baik untuk sekolah, maupun ketika jogging. (Calon komandan Brimob harus rajin berolahraga, dong!)

Dua pasang sepatu yang sering kupakai itu, adalah yang paling mutakhir dibelikan oleh Bapak. Kira-kira satu bulan yang lalu.

Harga tiap pasang sepatu itu, setara dengan harga dua sampai tiga kuintal terong. (Bapak adalah petani kacang panjang dan terong, sehingga aku tahu betul harga perkilogram terong yang dijual Bapak kepada tengkulak.)

Artinya, Bapak harus terlebih dulu memanen dua ratus sampai tiga ratus kilogram terong, supaya bisa membelikan aku sepasang sepatu.

Ada sepatu bekasku yang sesekali dipakai Bapak. Warnanya hitam, bermerek lokal tapi terkenal, dan seringkali di-endorse oleh para selebgram, Tiktokers serta beberapa influencer lain. 

Sepatu lamaku yang lain, yang sudah tidak kupakai karena bosan, dicuci oleh Bapak kemudian dibungkus plastik, agar tak kotor oleh debu.

Dalam hal makanan, yang dilakukan Bapak (lebih tepatnya, kelakuanku) tidaklah berbeda dengan urusan pakaian dan sepatu tadi.

Aku punya kebiasaan, yang sebenarnya tidak terpuji: makan, tapi tak pernah habis. Sisa nasi, sayur dan lauk yang tidak habis kumakan, biasanya Bapaklah yang akan menghabiskannya. 

Di rumah, Bapak membuat peraturan begini: aku tidak diijinkan mencuci piring, apabila nasi, sayur atau lauk yang kuambil tidak habis kumakan. Aku hanya diperbolehkan mencuci piring, jika yang aku makan benar-benar habis.

Wah, menurutku, itu adalah aturan yang sangat menyenangkan! Itulah alasan kenapa aku tak pernah menghabiskan makanku.

Suatu saat, aku penasaran juga mengapa Bapak membuat aturan aneh itu. Maka secara diam-diam, aku pun melakukan semacam penyelidikan. (Calon komandan Brimob gitu loh!)

Dari hasil penyelidikan sementara, kuketahui jika selama ini ternyata Bapak menyimpan "rahasia", berupa sebuah kebiasaan. Dan sepertinya, ia tidak ingin aku mengetahui kebiasaan itu.

Sebelum piring bekas makanku ia cuci, Bapak akan lebih dulu mengabiskan sisa makanku: nasinya, sayurnya, juga lauknya. Sampai benar-benar bersih piringnya. Bahkan ikan pindang yang kusisakan kepalanya, ia lahap pula sampai tuntas. 

Kalau kebetulan laukku paha ayam, maka kedua ujung tulangnya akan ia santap, sehingga hanya tersisa bagian tengahnya yang keras. 

Apakah hanya Bapak yang memiliki kebiasaan menghabiskan sisa makan anaknya? 

Tentu saja tidak. Di luar sana, pasti banyak orangtua, yang ekonominya pas-pasan, yang melakukan hal serupa.

Sedangkan bagi keluarga mampu — YouTuber sukses, pejabat, bupati, kapolres — yang kerap makan di luar, tentu tidak senelangsa itu.

Aku jadi bertanya-tanya, apakah kelak, ketika aku menjadi seorang bapak, juga akan sama seperti Bapak sekarang? Apakah nanti aku bakal melungsur pakaian dan sepatu bekas anak-anakku? Apakah kelak aku yang akan menghabiskan sisa makan anak-anakku?

Sepertinya tidak. 

Bukankah nanti aku bakal menjadi seorang komandan Brimob? Pakaian dan sepatu bekas anakku, tentu akan kusumbangkan pada anak pembantu atau tukang kebun di rumah dinasku. (Kalau perlu, akan kutambah dengan pakaian dan sepatu baru.)

Lauk sisa anakku, selezat apapun itu, tentu tidak bakal kumakan. Biarlah dibersihkan oleh pelayan restoran...

***

"HEH! Katanya mau ke toko sepatu? Kesorean nanti."

Byarrr... Suara Bapak mengagetkanku, memorak-porandakan lamunanku.

"Bapak petik kacang panjang dulu. Ada pesanan 20 kilo", sambungnya.

Aku terhenyak. Mak jleb, kata orang sini. Mendadak aku merasa kasihan padanya.

Begitu Bapak bertolak ke kebun, aku langsung masuk kamarnya. Aku buka-buka lemarinya, kucari kaus parpol yang dulu pernah ia tawarkan padaku.

Aku akan memakainya untuk ke kebun sore ini, membantu Bapak memetik kacang panjang.

Aku sudah putuskan batal membeli sepatu baru. Akan kupakai lagi sepatu-sepatu yang sempat tidak lagi kupakai karena bosan.

Pada saat makan malam, akan kuhabiskan nasi, sayur dan lauk yang aku ambil. Bukankah di Akpol nanti, setiap taruna wajib menghabiskan (hingga tak tersisa sebutir nasi pun) porsi makannya?***

Ikuti tulisan menarik Muhammad Ihsan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler