x

Kredit foto: SDN 167 Samaenre

Iklan

Muhammad Ihsan

Siswa SMPN 7 Kota Magelang
Bergabung Sejak: 1 Desember 2021

Kamis, 2 Desember 2021 18:01 WIB

Pemimpin Upacara

Tentang seorang pelajar yang merindukan tugas sebagai pemimpin upacara bendera.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"KEPADA, Sang Merah Putih, hormaaaaat, grak!"

Kata teman-teman, suaraku amatlah lantang ketika mengucapkan kalimat itu dalam upacara bendera. Padahal, letak sekolah kami berada di pinggir jalan raya, yang setiap hari dilewati truk tronton dan bis antar-provinsi. Deru mesin kendaraan-kendaraan besar itu takluk oleh suaraku saat menjadi pemimpin upacara.

Rafathar, teman sekelasku, yang setiap upacara selalu berdiri di barisan paling belakang, mengaku pernah kaget saat aku berteriak, "Siaaaaap, grak!" Dia ikut upacara sambil terkantuk-kantuk, karena malamnya begadang sampai jam dua.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Main Mobile Legends", katanya, menyebut nama sebuah permainan online atau daring. (Dalam sehari, ia bisa menghabiskan waktu sekitar delapan jam untuk bermain Mobile Legends. Setiap hari.)

Karena suaraku yang lantang saat menjadi pemimpin upacara itulah, Rafathar sampai-sampai menjuluki aku "PUBG", alias Pemimpin Upacara Bendera Garis-keras! (PUBG sebenarnya singkatan dari PlayerUnknown's Battlegrounds, permainan daring paling populer di dunia.)

Kiano, teman sekelasku yang juga pecandu permainan daring, ikut-ikutan menyebutku "PUBG", namun dengan singkatan berbeda: Petugas Upacaranya Bu Guru.

“Dari kelas empat sampai kelas enam, kamu terus yang disuruh guru jadi pemimpin upacara. Berarti kamu PUBG”, ujarnya, suatu pagi, memberi alasan.

Kiano benar. Selalu saja aku yang ditunjuk menjadi pemimpin upacara bendera di sekolah. Senin pagi, aku. Upacara Hardiknas, aku. 17 Agustus, aku lagi. Peringatan Hari Pahlawan, aku juga. Seolah-olah, tak ada murid lain yang bisa menempati posisi itu.

Di saat awal-awal menjadi pemimpin upacara, aku memang menjalankannya dengan agak terpaksa. Setengah hati. Barangkali karena masih canggung. Namun entah mengapa, lama-lama aku justru sangat menikmati tugas itu.

Pak Baim, guru tertua di sekolah kami yang pendengarannya terganggu, pernah berkata, "Suaramu mantap! Nanti jadi tentara saja ya".

"Iya, Pak", jawabku.

"Biar seperti Bre Redana", sambungnya, sambil mengepalkan tangan, menyebut nama seorang jenderal yang kebetulan berasal dari daerah kami.

Tapi itu cerita lama, di saat aku masih SD. Sekarang aku sudah SMP, kelas delapan.

 

"KEPADA, Pembina Upacara, hormaaaaat, grak!"

"Tegaaaaak, grak!"

"Istirahat di tempaaaaat, grak!"

Aku jadi kangen dengan kata-kata itu. Satu setengah tahun lamanya aku tidak meneriakkannya, juga kalimat-kalimat lain yang harus selalu diucapkan ketika menjadi pemimpin upacara.

Sejak masuk SMP sampai sekarang kelas delapan, belum sekalipun sekolahku mengadakan upacara bendera. (Penyebabnya, apa lagi kalau bukan pandemi Covid-19.)

Padahal aku sudah membayangkan, betapa hebat menjadi pemimpin upacara di depan ratusan siswa-siswi SMP, di hadapan kepala sekolah dan bapak-ibu guru.

Kalau di SD dulu, murid kelas satu sampai kelas enam jumlahnya hanya 180 orang. Gurunya, jika semua ikut upacara, hanya 12 orang, ditambah satu pegawai tata usaha dan seorang penjaga sekolah.

Tapi di SMPku sekarang ini, siswa-siswinya saja 450 orang. Jumlah guru, termasuk kepala sekolah berikut staf lainnya, hampir 40 orang. Belum lagi jika Mbok Dar, pemilik kantin sekolah, beserta anak, menantu dan cucu-cucunya juga ikut.

Betapa menyenangkan menjadi pemimpin upacara ditengah-tengah orang sebanyak itu.

Mengapa harus pemimpin upacara? Mengapa bukan, misalnya, petugas pengibar bendera, atau pembawa teks Pancasila, atau pembaca Pembukaan UUD 1945? Bukankah tugas-tugas itu juga tidak kalah hebat dibanding pemimpin upacara?

Ya, aku tidak mengatakan bahwa petugas selain pemimpin upacara itu tidak hebat atau tidak keren.

Tapi ingat, yang jadi "bos" dalam sebuah upacara bendera hanya ada dua orang: inspektur atau pembina upacara, dan pemimpin atau komandan upacara. 

Posisi pembina upacara, sudah pasti hanya akan ditempati oleh kepala sekolah. Atau bila sedang berhalangan, seorang guru yang bertugas menggantikan posisi beliau. 

Pembina upacara, hanya punya satu kali kesempatan memberikan perintah. Yaitu, saat ia menjawab laporan pemimpin upacara: "Lapor, upacara bendera, siap dilaksanakan! Laporan selesai!"

Maka setelah itu, pembina upacara akan berkata: "Laksanakan!"

Sudah, sekali itu saja. Tidak ada perintah yang lain.

Sedangkan pemimpin upacara, akan berkali-kali memberikan perintah kepada seluruh peserta upacara. Kepada siapapun: kepala sekolah, guru, bahkan siswa paling nakal dan ditakuti sekalipun, wajib tunduk pada perintah pemimpin upacara.

Nah, kapan lagi aku bisa mendapatkan kesempatan yang "superpower" itu, kalau bukan pada saat upacara bendera?

 

"SEKOLAH dan perkantoran di Indonesia punya ritual khusus setiap Senin pagi. Flag raising ceremony", seorang YouTuber bule berbicara dalam sebuah videonya.

YouTuber itu sepertinya mahasiswa, entah dari Amerika atau Eropa. Ia bercerita tentang pengalaman tinggal di Indonesia, beberapa tahun sebelum video itu dibuat.

"Ayahku bekerja di kedutaan besar di sana, dan otomatis aku ikut dia dan bersekolah di sana. Kalian tahu tidak, setiap Senin pagi sebelum pelajaran dimulai, pasti ada upacara pengibaran bendera. Itu adalah sebuah keharusan", terangnya, bersemangat.

Tentu saja, ia berbicara menggunakan bahasa Inggris. Sebab tak terlalu pandai dengan bahasa itu, aku mengaktifkan fasilitas subtitle dan teks di YouTube.

Mulanya aku merasa senang, bahkan sangat senang, karena bisa menemukan unggahan video oleh orang asing yang membahas upacara bendera — rutinitas yang aku cintai sejak SD.

(Unggahan ini termasuk jarang. Tidak seperti bidang kuliner atau traveling, yang sudah banyak dibahas oleh YouTuber Amerika dan Eropa melalui kanal-kanal mereka.)

Tapi selanjutnya, aku mulai merasa tidak nyaman. Video itu lama-lama membuatku kesal. Kata-kata yang diucapkan bule itu mulai "merendahkan" nilai atau manfaat dari upacara bendera.

"Mereka lakukan itu supaya jiwa nasionalisme dan patriotisme tetap tinggi. Mereka berharap dapat lebih mencintai bangsa dan negara mereka."

"Tapi kalian lihat saja, di sana juga terkenal dengan korupsi yang dilakukan banyak pejabat. Sampai sekarang! Di sana, hukum seringkali bisa ditukar dengan sejumlah uang. Di sana, banyak orang buang sampah di sungai. Di sana, hutan-hutan banyak yang dirusak."

Nadanya terdengar meninggi ketika mengucapkan kalimat-kalimat itu. Raut wajahnya sinis.

Setelah beberapa menit berbicara, YouTuber itu — dengan suara lirih dan ekspresi muka yang berlagak memperlihatkan kesedihan — mengakhiri videonya dengan sebuah pertanyaan menjengkelkan: "Dimana esensi dari upacara bendera yang mereka lakukan setiap Senin pagi itu?"

Sebagai "PUBG" alias Pemimpin Upacara Bendera Garis-keras (julukan yang diberikan kepadaku oleh teman SD dulu), terang saja aku tersinggung. Aku sangat ingin berkomentar di video itu. Sebisa mungkin, komentarku nantinya akan mempermalukan bule itu, yang sudah bikin gaduh dengan merendahkan sakralnya upacara pengibaran bendera setiap Senin pagi.

Aku ingin katakan, tidak ada pejabat yang korupsi di negaraku. Kalau dia bilang bahwa hukum di sini bisa ditukar dengan uang, itu adalah fitnah yang kejam.

Aku akan menjelaskan kepada dia dan ribuan subscribers-nya, "Kami di Indonesia selalu membuang sampah pada tempatnya, bukan di sungai. Kami di sini selalu menjaga kelestarian hutan, tidak merusaknya."

Komentar yang aku tulis di unggahan video itu, akan aku tutup dengan kalimat begini, "Upacara bendera yang rutin kami laksanakan setiap hari Senin dan saat hari-hari besar nasional, telah membuat kami menjadi bangsa yang beradab, teratur dan disiplin. Bukan seperti penilaianmu dalam video yang jelek dan penuh kebohongan itu!"

Sayangnya, ya itu tadi, bahasa Inggrisku masih jauh dibawah level advanced, bahkan intermediate sekalipun. Sehingga, tidak mungkin aku bisa merangkai kata untuk menyanggah video itu lewat kolom komentar.

Kalau pakai Google Translate, tentu bakal ditertawakan oleh warganet asing yang membacanya, sebab hasil terjemahannya tidak natural. Aku tidak mau ikut memperburuk citra negeri yang kucintai ini di mata orang asing: sok berani adu argumen tapi pakai Google Translate.

Demikianlah, kendati harus menahan amarah — termasuk menyalahkan diri sendiri yang tak cakap berbahasa Inggris — aku urungkan niat untuk berkomentar di video itu.

(Aku sendiri sebenarnya juga tidak yakin dengan komentarku yang masih dalam angan-angan itu. Yang diucapakan YouTuber bule itu, bisa jadi memang benar adanya. Aku sering melihat judul berita tentang kasus-kasus korupsi berseliweran di layar smartphone-ku. Berita tentang hukum yang ditegakkan secara tidak adil, foto-foto sungai penuh sampah dan hutan-hutan yang rusak, semua pernah kulihat.

Akan tetapi, aku merasa harus tetap membela nama baik bangsa dan negara ini, apapun alasannya, dan bagaimanapun caranya. Nama baik NKRI, adalah harga mati! Itulah prinsip atau doktrin yang aku terima sejak SD dulu, sebagai seorang pemimpin upacara dan juga “PUBG”. No debate!)***

Ikuti tulisan menarik Muhammad Ihsan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB