x

Iklan

Shabrina DM

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 6 Desember 2021

Selasa, 7 Desember 2021 14:10 WIB

Sajak di Bawah Hujan

Di Bawah hujan ini, saya menunggu kamu

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Rintik gerimis turun semakin banyak. Butiran-butiran air itu jatuh dari langit dengan derasnya. Menerpa atap, daun dan dahan. Membasahi setiap jengkal dari bumi. Angin dinginnya merasuk kedalam kulit, menelisik helai demi helai rambut saya yang tergerai. Percikan airnya memantul mengenai kaki saya dan membasahi ujung-ujung gaun selutut yang saya kenakan.

Kepulan asap dari knalpot truk menyatu dengan udara. Mengikuti kemana angin akan membawanya. Di bawah payung hitam, saya menunggu. Menunggu seseorang yang pernah berkata akan mendampingi saya menghadapi dunia. Menunggu di markas Angkatan Darat, membaur bersama banyak orang dengan keperluan yang hampir sama. Menunggu kepulangan orang terkasih.

Suara decitan terdengar akibat truk-truk yang mengerem. Kendaraan yang membawa para pejuang bangsa tersebut telah benar-benar terhenti. Mereka turun dari truk dengan begitu gagah dan teratur. Berderap membentuk barisan sebelum akhirnya menghampiri kami. Tapi tidak ada. Tidak ada wajah yang saya cari diantara banyaknya pejuang yang ada disana.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya menghambuskan napas, kecewa, sedih, cemas telah bercampur menjadi satu. Katanya negara ini sudah menang, sudah terpenuhi apa yang diinginkan. Dengan menahan butiran air mata, saya berbalik badan. Berjalan bersama dengan rintik hujan hari ini seperti beberapa kesempatan sebelumnya.

“Nona!” Seorang prajurit menghentikan langkah saya. “Saya membawakan surat dari kekasih anda. Selama disana tak sedetikpun dia tak memikirkan anda. Dia selalu membicarakan anda. Dan ternyata benar, anda memang sangat cantik. Sungguh pria yang beruntung.” Prajurit di depan saya ini terkekeh.

“Jika begitu dimana dia? Kenapa tidak ikut kembali dan malah menitipkan surat?” Sergah saya dan pria ini langsung menghentikan tawanya. “Dia masih tetap disana karena kami kekurangan tenaga medis, beberapa tentara yang terluka tidak bisa pulang menggunakan truk. Kami sudah mengirim kendaraan lain untuk itu dan dia katanya akan pulang saat itu. Jadi, dia berpesan jangan khawatir. Saya yakin itu juga tertulis dalam suratnya, Nona. Saya permisi.” Saya mendekap dalam-dalam surat darinya dan air mata saya sudah meluncur saja.

Dulu sebelum berangkat dengan pasukan pejuang ke medan perang, untuk mengobarkan semangatnya, dia pernah saya minta berjanji bahwa dapatkan kemenangan untuk negara ini dan pastikan dia akan kembali. Sekarang saya hanya bisa berharap janji itu tidak membebaninya. Saya harap dia segera kembali.

Ditengah suara guntur dan hujan, sirine peringatan berbuyi nyaring seraya tak ingin kalah. Sirine masa perang yang seharusnya tidak berbunyi lagi kini mengaung. Rakyat yang berada terlalu dekat dengan perbatasan musuh segera di evakuasi. Musuh tak terima dengan kekalahan meminta bantuan sekutunya menyerang balik negara kami. Jantung saya serasa tertembak peluru ketika mendengar kamp perang tempat kekasih saya berada sudah tak bersisa, tak satupun pejuang yang selamat.

Rintik hujan turun semakin deras. Butiran-butiran air itu jatuh dari langit dengan derasnya. Menerpa atap, daun dan dahan. Membasahi setiap jengkal dari bumi. Langsung mengguyur tubuh saya yang tak ternaungi. Angin dinginnya menusuk hingga ke tulang. Namun, dinginnya sudah tidak berarti lagi saya. Langit menemani saya menangis hari ini, menyamarkan air mata saya dengan airnya.

Bukankah dia sudah berjanji untuk kembali, tapi kenapa? Apakah dia sudah lupa? Sesak. Dada saya serasa dihimpit batu besar yang membuat saya kesulitan bernapas. Kepala saya pening, dunia seakan sudah jungkir balik. Mata saya berat sekali, sangat ingin terpejam seperti sudah semalaman berjaga. Hingga akhirnya saya kalah juga, kesadaran saya terenggut, dunia menjadi hitam.

Silau. Itulah yang saya rasakan ketika kesadaran saya mulai terkumpul. Sinar matahari yang menerobos di sela-sela dedaunan jatuh menimpa mata saya, membuat saya mengernyit. Langit begitu biru dengan hiasan awan berarak. Udara yang hangat dan angin sejuk yang memainkan anak rambut menciptakan perasaan damai.

Dari kejauhan tampak seorang pria berjalan menyibak ilalang. Kemeja putihnya memantulkan cahaya matahari sehingga tak bisa saya ketahui siapakah gerangan yang mendekat. Tak begitu jauh dari tempat saya berada, dia memetik sebuah bunga dan menyelipkannya dirambut saya.

“Lihatlah Nona, saya kembali bukan. Saya menepati janji saya.” Ujarnya sambil tersenyum. “Kamu sudah terlalu lama menunggu untuk menjemputku, sekarang biarkan saya yang menjemputmu.” Dia mengulurkan tangannya. Entah karena memang menginginkannya ataukah memang saya sudah lelah menunggu, saya menerima ulurannya. Dalam dekapannya saya tak sanggup membendung tangis bahagia. Saya pergi dengannya tanpa penyesalan.

Ikuti tulisan menarik Shabrina DM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB