x

Iklan

Astria Sastra Dewi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 10 November 2021

Rabu, 8 Desember 2021 10:20 WIB

Pak Satpam

Hanya salah satu hari dari hari-hari seorang penjaga gedung.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hari itu hujan saat kota metropolitan yang selalu ramai itu memasuki tengah hari. Bulir-bulir air yang terjun bergantian itu membuat gerak manusia yang biasanya lepas menjadi terhambat. Mereka bergerak terburu-buru, sebisa mungkin menghindari kontak langsung dengan air, berjejal mencari tempat penghalang antara dirinya dengan langit. Hal yang sama terjadi di salah satu pos penjaga gedung, namun tak terlalu banyak orang di sana, hanya ada pria setengah baya dengan gerobak dorong di depannya dan pria jangkung berseragam satpam yang sepertinya beberapa tahun lebih muda. Mereka sesekali berbincang, tentang asal tempat tinggal, tentang keseharian, tentang hidup. Tak ada yang istimewa tentang itu, mereka berdua tahu itu hanya percakapan pengisi kesunyian untuk menghargai keberadaan satu sama lain, yang tak lama kemudian akan terlupakan.

Hujan belum berhenti saat seseorang yang lain masuk dalam suasana itu. Dia rupanya karyawan yang bekerja di gedung besar di dekat mereka, dan dia tampaknya sangat suka berbicara. Dua orang yang tadi bertukar kisah kini kebanyakan hanya diam memperhatikan, membiarkan si orang dengan penampilan yang lebih berkilau itu menghidupi suasana. Namun semakin lama, kedua orang yang lebih dulu di sana menyadari bahwa orang itu terlalu banyak bicara. Ia bicara tentang bosnya, tentang pekerjaan yang selalu menumpuk, tentang wanitanya yang selalu minta ini itu, tentang gaji yang tak pernah cukup, tentang orang tua yang rewel minta tinggal bersama. Ia sama sekali tak berpikir bahwa bagi kedua orang yang mendengarnya, hal-hal yang ia keluhkan itu, adalah hal-hal yang tak bisa mereka miliki. Si pria setengah baya kemudian pamit pergi saat hujan mereda. Sebelum berlalu mendorong gerobaknya, ia berkata, “Banyak-banyak bersyukur Mas, setidaknya Mas-mas ini masih muda dan tidak harus kerja keliling-keliling kota ... mari.”

Tak lama si karyawan muda itu bersungut-sungut, “Huh, tahu apa tukang cilok soal pusingnya kerja di kantor!”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Awalnya si satpam itu tak berniat memberi tanggapan, namun mulutnya gatal ingin bicara.

“Maaf sebelumnya, tapi ... Anda baru saja mengeluh, di hadapan tukang cilok. Anda sadar soal itu?”

“Hah? Memangnya kenapa?”

“Tidak kenapa-kenapa sih, tapi apa Anda pernah mendengar sesuatu bernama ‘menghargai orang lain'?”

Lalu dahi si karyawan semakin berkerut, mulutnya mengeluarkan banyak kalimat yang intinya, “Itu urusanku, jangan sok menggurui!”

Adegan itu berakhir saat si karyawan pergi menghampiri teman-temannya yang lewat bergerombol. Si karyawan terlihat kembali bersungut-sungut, lalu beberapa dari mereka melirik ke arah si satpam dan tertawa. Satpam itu pun kembali sendiri di pos jaganya. Saat tak ada yang harus dilakukan, dia akan menatap gedung tinggi itu dan berpikir betapa beruntungnya orang-orang yang kerja di sana. Ia juga ingin seperti itu. Bekerja di balik komputer, bekerja sama dengan rekan kerja yang cerdas-cerdas, mendapat pujian dari atasan. Tetapi ia tak bisa. Ia tak memenuhi syarat untuk itu. Baginya hanya orang-orang hebat yang bisa melakukan itu. Ah, tapi mungkin ia bisa bekerja di dalam sana sebagai office boy, lalu dia mengurungkan niat itu karena ia lebih suka seragam satpamnya. Baginya seragam itu mirip polisi, yang mana merupakan cita-citanya sejak kecil. Dia pun masuk ke ruangannya, menatap layar cctv, lalu tersenyum. Dia punya komputernya sendiri.

 

Ikuti tulisan menarik Astria Sastra Dewi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB