x

Menteri BUMN Erick Thohir (kedua kiri) ketika kunjungan kerja ke PT Krakatau Steel (Persero) Tbk di Cilegon, Banten, hari Selasa (13/7/2021). Foto : ANTARA

Iklan

djohan chan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 28 November 2019

Rabu, 5 Januari 2022 06:46 WIB

Mentri BUMN Terpaksa Terapkan Restrukturisasi Terhadap 6 Perusahaan

Kebiasaan berhutang, untuk biaya operasional Kerja. Tanpa memperhatikan Keseimbangan, antara pengeluaran dengan pemasukan. 6 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terlilit hutang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Komisi VI DPR RI telah empat kali memanggil Kementerian BUMN, untuk mengetahui kejelasan, sejauh mana perkembangan pembayaran uang ratusan triliun, dari hutang 6 perusahaan milik negara yang telah dibayarkan pada puluhan Perbankan di Indonesia, dan kepada para pemegang saham yang telah menginfestasikan uangnya dalam perusahaan BUMN tersebut.   

Komisi VI DPR RI sengaja mencecar masalah ini, terkait banyaknya pengaduan, bahwa 6 perusahaan BUMN, diantaranya (1) anak perusahaan PT Krakatau Steel (Persero) Tbk, sejak tahun 2008 telah menggunakan dana sebesar USD 200 juta atau sekitar Rp 2,9 triliun, hingga telah jatuh tempo, belum lagi bisa menyelesaikan sangkutan utangnya.

Menurut PT Krakatau Steel (Persero) Tbk, macetnya pembayaran uang pinjaman itu karena sejumlah proyek yang dikelolah oleh anak perusahaannya mengalami berbagai masalah. Dari mangkraknya usaha Infrastruktur tersebut, menurut Menteri BUMN Erick Thohir, anak perusahaan Krakatau Steel itu terancam bangkrut.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Terkait dengan persoalan tersebut, menurut Menteri BUMN Erick Thohir, Saat Rapat Kerja dengan Komisi VI DPR RI pada 2 Desember 2021, pihaknya sedang mengupayakan untuk dilakukan restrukturisasi (Perbaikan), dengan cara menjual saham anak usahanya yakni PT Krakatau Steel Infrastruktur (KSI), untuk menyelesaikan pembayaran sangkutan utangnya.  

Selain itu, masalah yang ke 2. Peristiwa serupa tapi tidak sama, juga terjadi pada keuangan PT Garuda Indonesia Tbk (GIA), sedang dilakukan upaya restrukturisasi, agar PT GIA ini dapat menyelesaikan sangkutan utangnya. Hal ini diungkapkan oleh Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo, dalam menjawab pertanyaan Komisi VI DPR RI, pada rapat dengar pendapat di Senayan Jakarta, pada hari Selasa, 9 Nopember 2021.  

“Perusahaan BUMN ini (GIA) masih memiliki sangkutan utang, mencapai USD 9,78 miliar, atau setara dengan Rp 138,87 triliun (kurs dolar Rp 14.200), juga belum dapat diselesaikannya. Kalau dilihat secara teknis, keadaan PT Garuda Indonesia Tbk itu sudah bangkrut. Namun demikian masih dilakukan upaya restrukturisasi masif,” kata Kartika Wirjoatmodjo.

Upaya restrukturisasi (perbaikan) itu dilakukan, dengan cara menambah permodalan baru dari para pemegang saham, atau investor. Untuk itu Garuda harus melakukan sejumlah langkah, diantaranya melakukan pembatalan nilai utang dan tunggakan secara material. Dengan maksud dan tujuan, untuk menyehatkan keuangannya, agar utang Garuda dapat diturun, dari USD 9,78 miliar. Menjadi USD 3,69 miliar. Jelas kata Kartika Wirjoatmodjo.

Untuk Perusahan BUMN yang bermasalah pada urutan ke 3 yakni. PT Perkebunan Nusantara (Persero) atau PTPN grup, memiliki sisa sangkutan utang sebesar Rp 41 triliun. Menurut Menteri BUMN Erick Thohir, dalam Rapat Kerja dengan Komisi VI DPR RI pada hari Rabu, 22 September 2021 mengatakan bahwa, PT Perkebunan Nusantara (Persero) atau PTPN grup itu sudah berjanji untuk menyelesaikan sangkutan utangnya hingga tahun 2028 mendatang.

Pernyataan untuk restrukturisasi penyelesaian sangkutan hutang yang dibuat oleh pihak PTPN pada bulan April 2021 yang lalu itu telah mendapatkan persetujuan dari 18 perbankan, baik dari dalam, dan luar negri. Menurut Menteri BUMN Erick Thohir, meski PTPN sudah berhasil restrukturisasi, mereka (PTPN) harus punya komitmen, untuk membenahi sistem keuangan perusahaan. Karena perjanjian untuk pelunasan hutang itu sudah dibuat.   

Urutan ke 4, dari BUMN yang bermasalah dalam keuangan, yakni PT Angkasa Pura I (Persero) atau AP- I. Menurut Direktur Utama AP- I, Faik Fahmi, dalam konferensi pers secara virtual di Jakarta, pada 8 Desember 2021 mengatakan bahwa pihaknya (AP- I) masih mengalami kerugian Rp 3,24 triliun, dalam tahun 2021, dengan cakupan 15 lokasi bandara. Hal ini terjadi karena disebabkan banyak bandara baru yang masih sepi penumpang, selain adanya pandemi COVID-19. 

“Tahun 2021 ini, AP- I diprediksikan masih mengalami pendapatan minus, karena besarnya biaya operasional yang tidak seimbang dengan pemasukan. Hal ini berimbas pada pendapatan perseroan. Namun demikian, AP- I tidak memiliki utang dari kreditur dan investor. Untuk itu Perusahaan AP- I melakukan berbagai upaya, diantaranya melalui restrukturisasi. Dengan demikian diharapkan, dapat meningkatkan pendapatan lebih dari Rp 4,86 triliun pada tahun 2022 mendatang.  

Untuk urutan yang ke 5, PT Waskita Karya (WSKT) Tbk, merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).  “Keadaan kondisi Waskita saat ini mengalami beban berat, terkait dengan investasi untuk jalan tol hingga refocusing (Strategi Penganggaran) bisnis,” katar Direktur Utama Waskita, Destiawan Soewardjono, dalam Public Expose Waskita, yang digelar secara virtual. Pada tanggal 8 Oktober 2021 di Jakarta.

Menurut Destiawan Soewardjono, berdasarkan laporan keuangan pada tahun 2021, PT Waskita Karya Tbk memiliki total utang sebesar Rp 89,73 triliun. Dari itu Waskita Karya selalu penuh kehati hatian, dan strategi dalam pengelolaan keuangan. Guna mempertanggungjawabkan beban utang yang besar itu, Waskita Karya punya 8 opsi, dalam strategi membangun jalan tol. Opsi Pertama, ada 2 Stategi pilihan, mengurangi beban utang dengan melakukan divestasi atau yang kedua, membangun jalan tol, melalui kerjasama dengan perseroan.  

Opsi ke 2, stategi Waskita Karya menerapkan program rights issue sebagai bentuk penerimaan dari Penyertaan Modal Negara (PMN) 2021, yang telah cair senilai Rp 7,9 triliun. Opsi ke 3, Waskita juga menerima dukungan pemerintah untuk penjaminan obligasi dan modal. Obsi ke 4, Perseroan melaksanakan Master Restructuring Agreement, melibatkan 21 bank, dengan nilai Rp 29,24 triliun.

Untuk Opsi ke 5, Waskita berusaha melakukan restrukturisasi utang dengan anak usahanya. Opsi ke 6, Waskita akan melakukan refocusing lini bisnis. Opsi ke 7, Perseroan harus memperbaiki tata kelola dan manajemen risiko, agar kinerja dapat lebih baik, efisien, dan terbuka. Sementara itu. Untuk urutan ke 6, Badan Usaha Milik Negara yang memiliki utang mencapai Rp 100 triliun, adalah PT PLN (Persero).  

Menurut Menteri BUMN Erick Thohir, dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR RI pada 3 Juni 2021 lalu mengungkapkan bahwa, utang PT PLN (Persero) sejak lima tahun yang lalu (2016) kini sudah mencapai Rp 100 triliun. Membengkaknya utang untuk biaya operasional yang digunakan untuk membiayai proyek kelistrikan 35 ribu Megawatt (MW) itu terjadi, karena tidak diikuti dengan ansuran pembayaran, diduga karena pemasukan PLN yang tidak seimbang.   

Terkait dengan sangkutan utang Rp 100 triliun itu, Erick Thohir meminta PT PLN (Persero) untuk berupaya menyehatkan perusahaan listrik negara tersebut. Dengan cara melakukan negosiasi ulang, baik dalam pembelian listrik dengan nilai Rp 60 triliun. “ Namun, berdasarkan laporan terakhir yang saya terima, PLN berhasil melakukan negosiasi hingga Rp 25 triliun,” kata Erick Thohir. 

Upaya untuk menyehatkan kondisi keuangan dimaksud, PLN telah diberi saran oleh Mentri BUMN, agar PLN melakukan negosiasi dengan yang memberi pinjaman, agar bunga pinjaman uang tersebut dapat lebih murah. Selain melakukan penekanan 50 persen dari belanja modal atau capital expenditure (capex), kata Erick dalam pemaparannya bersama Komisi VI DPR RI. 

Selain itu, Bada urusan logistik (Bulog) juga punya utang mencapai Rp 13 triliun, pada tahun 2021. Menurut Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso. Dalam konferensi pers di Kantor Pusat Bulog, Selasa (28/12) mengatakan bahwa, utang Bulog tersebut digunakan untuk belanja penyediaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) sebanyak 1 juta ton. 

Menurut Budi Waseso yang akrab dipanggil Buwas, masalah hutang Bulog dengan bank, perlu segra dibayarkan, kalau terjadi penunggakan, maka semakin banyak bunga bank yang menjadi tanggungan Bulog. Selain itu Buwas juga mengatakan bahwa, pihak Depsos juga memiliki utang sebesar Rp 4,5 triliun pada Bulog, atas penyaluran bantuan beras PPKM dan Rastra.  

Buwas juga mengungkapkan, terkait dengan utang beras Depsos, semula akan dibayarkan oleh pihak Kementerian Keuangan (Kemenkeu), namun terkendala dengan adanya peraturan yang ada pada Kemensos. Tetapi Buwas tidak menjelaskan, kendala peraturan semacam apa yang ada pada Kemensos itu, sehingga Kemetrian Keuangan tidak bisa membayarkan utang Kemensos itu secara langsung pada Bulog (Djohan Chaniago).

Ikuti tulisan menarik djohan chan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler