x

Hutan Mangrove di Pantai. Sumber foto: bulelengkab.go.id

Iklan

Muhamad Satria Putra

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 Januari 2022

Selasa, 8 Maret 2022 19:11 WIB

Menjaga Hutan Mangrove untuk Mencegah Dampak Perubahan Iklim

Artikel ini hanya menjabarkan secara singkat tentang perubahan iklim dan penyebabnya serta hubungannya dengan deforestasi. Diakhir tulisan yang ringkas ini penulis menjelaskan bahwa dampak perubahan iklim dapat dibatasi dengan penurunan emisi melalui ekosistem hutan mangrove. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dari artikel ini sehingga tidak menutup saran dan kritik dimasa mendatang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kehidupan manusia sedang mengalami ancaman serius yaitu perubahan iklim. Perubahan iklim adalah terjadinya perubahan pola dan intensitas unsur iklim pada periode waktu yang dapat dibandingkan (biasanya terhadap rata – rata 30 tahun). Perubahan iklim merupakan perubahan pada komponen iklim, yaitu suhu, curah hujan, kelembaban, evaporasi, arah dan kecepatan angin serta awan.

Dampak perubahan iklim ini dapat dirasakan baik secara langsung (fisik) maupun tak langsung (nonfisik). Dampak secara fisik yaitu dampak yang menyebabkan terjadinya anomali dan iklim sehingga menyebabkan bencana alam seperti banjir, puting beliung dan kebakaran hutan. Sedangkan dampak secara nonfisik terjadi akibat hubungan tidak langsung yang pada akhirnya mengganggu aktivitas manusia. Sebagai contoh dampak nonfisik yaitu terganggunya hasil pertanian, berkurangnya ketersediaan air dan mengganggu aktivitas transportasi.

Salah satu faktor terjadinya perubahan iklim disebabkan oleh pemanasan global. Pemanasan global adalah proses peningkatan suhu rata-rata atmosfir, laut dan daratan bumi. Suhu rata-rataa global pada permukaan bumi telah meningkat 0.74 ±0.18° C selama seratus tahun terakhir. Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa sebagian besar peningkatan temperatur rata-rata global sejak pertengahan abad ke 20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Gas rumah kaca (GRK) ini terdiri dari unsur–unsur antara lain uap air (H2O), karbon dioksida (CO2) dan metana (CH₄). Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan bumi sehingga panas tersebut akan tersimpan pada permukaan bumi. Seperti diketahui bahwa kendaraan bermotor, kapal laut, pesawat terbang, pabrik, perkantoran, dan industrialisasi membutuhkan bahan bakar fosil seperti minyak bumi, gas alam, batu bara, bitumen, pasir tar dan lain sebagainya. Sisa dari pembakaran bahan bakar fosil tersebut menyemburkan karbon dioksida (CO2) ke atmosfer yang berakibat bertambahnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK) sehingga menyebabkan terjadinya efek gas rumah kaca.

Perubahan iklim tentu sangat berpengaruh terhadap Indonesia dimana merupakan negara kepulauan dan beriklim tropis sehingga menjadikannya sangat rentan terhadap perubahan iklim. Apalagi Indonesia saat ini tercatat masuk kedalam 10 (sepuluh) negara penyumbang emisi gas rumah kaca atau emmiter terbesar di dunia. Dampak perubahan iklim ini tentu saja akan mempengaruhi kehidupan rakyat Indonesia tidak terbatas pada bidang kesehatan, ekonomi, sosial dan budaya.

Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk menangani perubahan iklim adalah dengan menjaga hutan karena hutan mampu untuk menyerap karbon dioksida (CO2) dalam jumlah besar. Oleh karena itu, menebang pohon dapat berdampak besar pada perubahan iklim. Padahal berdasarkan laporan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2015, total luas hutan di Indonesia sebanyak 128 juta hektare.

Akan tetapi kenyataannya Indonesia menduduki peringkat keempat dari 10 negara dengan kehilangan lahan hutan primer terbesar di dunia atau kerapkali disebut deforestasi. Deforestasi merupakan perubahan kondisi penutupan lahan dari kelas penutupan lahan kategori Hutan (berhutan) menjadi kelas penutupan lahan kategori Non Hutan (tidak berhutan).

Kemudian Pemerintah melalui rencana strategis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2020 - 2024menetapkan kawasan hutan seluas 125,2 juta hektare. Dari luas itu ada yang memiliki tutupan hutan dan ada pula yang tak memilikinya. Yang dimaksud dengan tutupan hutan (forest coverage) adalah penutupan lahan oleh vegetasi dengan komposisi dan kerapatan tertentu, sehingga tercipta fungsi hutan antara lain iklim mikro, tata air, dan tempat hidup satwa sebagai satu ekosistem hutan.

Upaya untuk menahan laju deforestasi telah dilakukan oleh pemerintah dengan menetapkan ambang batas mempertahankan rasio luas kawasan hutan dan tutupan hutan (forest coverage) minimal 30% untuk setiap daerah aliran sungai (DAS) dan/atau pulau dengan sebaran proporsional. Namun upaya ini sia – sia dikarenakan tidak ada peraturan yang spesifik mengaturnya serta adanya penghapusan Pasal 18 ayat (2) Undang – Undang Kehutanan oleh Undang – Undang Cipta Kerja.

Penyebab utama yang mendasari terjadinya deforestasi adalah kebijakan pemerintah dan perkembangan ekonomi. Adapun penyebab lain yang didasarkan pada pelaku deforestasi yaitu industri perkayuan, illegal logging, konversi lahan untuk infrastuktur, perkebunan, pertanian, pertambangan dan permukiman, kemudian petani rakyat yang meliputi kegiatan sistem ladang berpindah, transmigran spontan dan umum.

Faktor lain yang menyebabkan deforestasi adalah mudahnya pemerintah mengeluarkan izin pengelolaan kawasan hutan, tumpang tindih hak atas pengelolaan kawasan hutan dan rendahnya pengawasan operasional terhadap pemegang izin.

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh State of the World's Forests 2007 yang dikeluarkan The UN Food & Agriculture Organization (FAO), angka deforestasi Indonesia pada periode tahun  2000 sampai dengan tahun 2005 adalah 1,8 juta hektar/tahun. Bahkan Menurut data yang dikeluarkan Departemen Kehutanan, angka deforestasi di Kalimantan pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2005 mencapai sekitar 1,23 juta hektare.

Mufti Fathul Barri dari Forest Watch Indonesia menyatakan bahwa sejak tahun 2013 – 2016 di Indonesia kehilangan hutan setara dengan 42 kali luas lapangan sepakbola setiap jamnya. Cangkupan deforestasi hutan ini tidak hanya sebatas kepada hutan hujan tropis namun juga menjangkau hutan rawa, hutan bakau, hutan sabana dan hutan musim.

Menghadapi perubahan iklim, manusia selalu akan melakukan upaya terhadap lingkungannya. Pada konteks perubahan iklim dikenal dua istilah yaitu adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Salah satu cara menahan laju perubahan iklim dapat dilakukan dengan memanfaatkan ekosistem hutan mangrove yang merupakan bagian dari hutan bakau.

Memanfaatkan hutan mangrove sebagai langkah mitigasi perubahan iklim merupakan langkah yang tepat. Hal ini didasari faktor – faktor pendukung sebagai berikut, pertama mangrove mampu menyerap karbon dengan perbandingan 1.000 ton karbon per 1 hektare hutan mangrove. Ekosistem hutan mangrove memiliki peranan penting dalam menyimpan karbon (C), diantaranya pada sedimen, biomassa di atas tanah seperti daun, batang, ranting, dan di bawah tanah seperti akar, dan juga diantara bagian tumbuhan yang telah mati seperti kayu mati dan seresah (Mcleod et al., 2011).

Kedua hutan mangrove dapat menjadi pelindung dari kenaikan permukaan air laut dan menjaga pantai dari abrasi yang disebabkan oleh ombak besar. Ketiga, hutan mangrove mampu menjaga kualitas air karena vegetasinya sekitarnya mampu menyaring polutan yang ada. Selain itu, mangrove mampu mencegah terjadinya subsiden, banjir, kebakaran hutan dan lahan.

Ikuti tulisan menarik Muhamad Satria Putra lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler