Antara Janji dan Ilusi: Nasib Lulusan Pendidikan Profesi Guru bagi Calon Guru

3 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Pendidikan
Iklan

Artikel ini mengkritisi kebijakan PPG yang sarat ketidakpastian bagi lulusan, serta menawarkan solusi agar guru profesional mendapat kepastian.

***

Salah satu tujuan nasional bangsa Indonesia yang termaktub dalam Alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam konteks ini, guru memegang posisi sentral sebagai ujung tombak pendidikan nasional. Hal ini diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) yang secara tegas menyebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagai konsekuensi dari pengakuan profesi guru, lahirlah kebijakan Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang dimaksudkan untuk menghasilkan tenaga pendidik profesional bersertifikat. Namun, implementasi kebijakan ini masih jauh dari ideal, terutama pada aspek kepastian nasib lulusan PPG bagi Calon Guru. Realitas yang dihadapi calon guru pasca kelulusan menunjukkan adanya ketidakharmonisan antara norma hukum, tujuan program, dan praktik di lapangan.

 

Guru sebagai Profesi dan Landasan Yuridis

UUGD menegaskan bahwa profesionalisme guru dibuktikan dengan sertifikat pendidik (Pasal 2 ayat (2)) dan mewajibkan setiap guru memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, serta sehat jasmani dan rohani (Pasal 8). Lebih lanjut, Pasal 12 menjamin bahwa setiap orang yang telah memperoleh sertifikat pendidik berhak untuk diangkat sebagai guru.

Di sisi lain, Pasal 16 ayat (1) menyebutkan bahwa pemerintah wajib memberikan tunjangan profesi bagi guru yang telah memiliki sertifikat pendidik dan diangkat oleh penyelenggara pendidikan. Dengan demikian, keberadaan PPG bukan sekadar instrumen akademik, melainkan juga mandat hukum dalam rangka profesionalisasi guru.

Namun, sejak diberlakukannya moratorium pengangkatan PNS guru, pemerintah daerah dan sekolah kerap melakukan perekrutan guru tidak bersertifikat. Praktik ini menimbulkan kontradiksi serius, mengingat PPG sejatinya dirancang untuk melahirkan tenaga pendidik bersertifikat.

 

PPG Calon Guru: Tujuan Ideal dan Realitas yang Timpang

Permendikbudristek Nomor 19 Tahun 2024 mendefinisikan PPG sebagai program pascasarjana bagi calon guru untuk memperoleh sertifikat pendidik. Tujuan utamanya adalah pemenuhan kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional guru (Pasal 2). Program ini bahkan diproyeksikan sebagai entry point karier guru ASN mulai tahun 2025, di mana seleksi PPG akan sekaligus berfungsi sebagai seleksi PPPK. Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Jenderal Guru, Tenaga Kependidikan, dan Profesi Guru Prof. Dr. Nunuk Suryani, M.Pd. "(Mulai 2025) Semua PNS itu berangkat dari PPPK, jadi kayak jalur karir, dia bisa jadi PNS setelah PPPK, Untuk yang akan datang itu tes PPG itulah tes PPPK" jelas Nunuk dilansir dari klikpendidikan.id dari YouTube Poros Lain pada Minggu, 8 September 2024.

Namun, di balik idealisme tersebut, terdapat realitas pahit. Seleksi masuk PPG Calon Guru sangat ketat, dengan syarat IPK minimal 3,00, usia maksimal 32 tahun, dan serangkaian tes administrasi, substantif, serta wawancara. Peserta harus menandatangani pakta integritas yang di antaranya berisi kesediaan untuk ditugaskan mengajar sesuai penempatan Kemendikbudristek.

Ironisnya, setelah lulus dan memperoleh sertifikat pendidik, banyak lulusan menghadapi ketidakjelasan penugasan. Bahkan, formasi PPPK yang tersedia sangat terbatas dan tidak sebanding dengan jumlah lulusan. Pemerintah daerah pun enggan mengakomodasi lulusan PPG baru akibat kebijakan pusat yang membatasi rekrutmen. Hal ini menciptakan jurang antara janji kebijakan dan kenyataan di lapangan.

 

Kontradiksi Hukum dan Kebijakan

Secara normatif, UUGD telah menjamin hak lulusan PPG untuk memperoleh kesempatan yang sama diangkat sebagai guru, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 12. Kenyataannya, banyak lulusan PPG justru mengalami kebuntuan. Akibatnya, meskipun mereka telah memenuhi syarat hukum sebagai guru profesional melalui sertifikat pendidik, status mereka tidak diakui secara administratif. Situasi ini menunjukkan adanya inkonsistensi yang serius antara norma hukum dan implementasi kebijakan di lapangan.

Selain itu, kondisi tersebut juga menimbulkan pengabaian terhadap asas kepastian hukum. Pemerintah mewajibkan calon guru menempuh PPG dengan segala syarat ketat, biaya, dan pengorbanan, namun tidak memberikan jaminan penugasan pasca kelulusan. Hal ini berpotensi melahirkan diskriminasi terselubung terhadap lulusan PPG Calon Guru, sebab mereka terjebak dalam posisi “sudah memenuhi syarat, tetapi tidak diberi kesempatan”. Lebih jauh lagi, ketidakjelasan nasib lulusan PPG Calon Guru dapat dipandang bertentangan dengan hak konstitusional warga negara untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak, sebagaimana dijamin oleh Pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian, terdapat kontradiksi antara semangat regulasi yang mengakui guru sebagai profesi terhormat dan realitas kebijakan yang justru mengabaikan hak-hak para lulusan PPG Calon Guru.

 

Kritik terhadap Kebijakan

Melihat ketimpangan ini, kritik yang muncul terhadap kebijakan PPG cukup fundamental. Pertama, terdapat ketidakselarasan regulasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah pusat menekankan bahwa lulusan PPG Calon Guru adalah produsen utama tenaga guru masa depan, namun tidak menyediakan mekanisme penempatan yang jelas. Di sisi lain, pemerintah daerah menghadapi keterbatasan formasi dan anggaran, sehingga tidak mampu menyerap lulusan PPG meskipun kebutuhan guru di lapangan nyata adanya.

Kedua, janji bahwa lulusan PPG akan langsung diarahkan ke jalur Aparatur Sipil Negara (ASN) masih sebatas retorika, karena tidak diikuti dengan regulasi turunan yang bersifat operasional. Hal ini menimbulkan ketidakjelasan mekanisme karier, sehingga PPG yang seharusnya menjadi jalan utama untuk menjadi guru profesional justru berubah menjadi jalan buntu. Ketiga, kebijakan yang berlaku juga memperlihatkan minimnya keberpihakan pada lulusan. Peserta PPG Calon Guru diwajibkan menandatangani pakta integritas yang mengikat mereka dengan tanggung jawab besar, termasuk kesediaan ditugaskan di mana saja, tetapi negara tidak menjalankan kewajibannya untuk menempatkan mereka setelah memperoleh sertifikat pendidik. Kontradiksi ini membuat PPG tampak sebagai kebijakan sepihak yang lebih menekankan kewajiban calon guru ketimbang menjamin hak-hak mereka.

 

Rekomendasi Kebijakan

Untuk mengatasi persoalan tersebut, diperlukan langkah perbaikan yang komprehensif. Pertama-tama, pemerintah pusat bersama Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, serta Kementerian PAN-RB harus melakukan harmonisasi kebijakan dengan pemerintah daerah. Harmonisasi ini penting agar lulusan PPG Calon Guru tidak lagi terjebak dalam tarik-menarik kewenangan antara pusat dan daerah, melainkan memiliki jalur penempatan yang pasti dan proporsional. Selanjutnya, pemerintah perlu memastikan bahwa jumlah formasi yang disediakan sebanding dengan jumlah lulusan PPG Calon Guru. Tanpa kuota yang memadai, lulusan PPG akan terus mengalami ketidakpastian dan frustrasi kolektif.

Selain itu, negara juga harus memfasilitasi integrasi otomatis lulusan PPG Calon Guru ke dalam Dapodik agar status mereka diakui secara administratif. Tanpa pengakuan administratif ini, lulusan PPG Calon Guru tetap akan diperlakukan sebagai outsider meskipun mereka sudah memiliki sertifikat pendidik. Lebih jauh lagi, pakta integritas yang ditandatangani calon mahasiswa PPG Calon Guru perlu direvisi agar lebih realistis. Poin-poin yang menjanjikan penugasan pasca kelulusan harus disesuaikan dengan kapasitas riil pemerintah, sehingga tidak menciptakan ilusi janji yang kemudian menimbulkan kekecewaan. Dengan langkah-langkah perbaikan tersebut, PPG dapat kembali menjadi instrumen strategis untuk mencetak guru profesional yang tidak hanya memiliki legitimasi hukum, tetapi juga kepastian karier yang jelas.

 

Penutup

PPG Calon Guru sejatinya merupakan terobosan strategis yang diharapkan mampu melahirkan guru profesional, sejalan dengan mandat Undang-Undang Guru dan Dosen serta cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa. Akan tetapi, idealisme tersebut belum menemukan bentuk nyata di lapangan. Alih-alih memberikan jaminan kepastian karier, kebijakan ini justru menjerumuskan lulusan PPG ke dalam ruang ketidakpastian. Mereka telah berjuang melalui proses seleksi ketat, menuntaskan perkuliahan dengan penuh pengorbanan biaya, waktu, dan tenaga, hingga akhirnya meraih sertifikat pendidik. Namun, pada titik yang seharusnya menjadi awal pengabdian, mereka dihadapkan pada kebuntuan: formasi yang terbatas, sistem yang menutup pintu, serta pemerintah daerah yang enggan menyerap tenaga baru karena alasan regulasi.

Kondisi ini tidak hanya melukai hati para lulusan PPG, tetapi juga melemahkan kepercayaan publik terhadap konsistensi pemerintah dalam membangun pendidikan nasional. Apa artinya berbicara tentang guru profesional bila negara sendiri tidak mampu menyediakan ruang kerja yang layak bagi mereka? Apa gunanya program berbiaya besar bila akhirnya melahirkan “guru siap pakai” yang dibiarkan menunggu tanpa kepastian? Inilah yang menjadikan PPG sebagai sebuah paradoks: program yang dimaksudkan untuk menjadi solusi justru berpotensi menciptakan masalah baru.

Pemerintah tidak boleh terus membiarkan kontradiksi ini berlarut-larut. Kepastian penugasan yang telah diteken dalam pakta integritas, serta penyediaan formasi yang sebanding dengan jumlah lulusan PPG adalah wujud keberpihakan negara yang mutlak diperlukan. Tanpa langkah konkret, frustrasi kolektif para lulusan akan terus membesar, dan pada gilirannya dapat menggerus semangat generasi muda untuk berprofesi sebagai guru. Jika hal ini terjadi, maka proyek besar mencetak guru profesional hanya akan berakhir sebagai kegagalan kebijakan.

Pada akhirnya, nasib PPG adalah ujian bagi keseriusan pemerintah dalam menegakkan amanat konstitusi. Apakah negara sungguh-sungguh menjadikan guru sebagai profesi terhormat yang dijanjikan undang-undang, atau sekadar melahirkan sertifikat tanpa makna? Bila pemerintah tidak segera bertindak, PPG akan tercatat dalam sejarah bukan sebagai tonggak kemajuan pendidikan, melainkan sebagai ironi: program yang mencetak guru profesional, tetapi membiarkan mereka menganggur di tanah airnya sendiri.

 

Referensi :

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2024 Tentang Pendidikan Profesi Guru

 

Artikel dan Jurnal

Cecep Darmawan, “Implementasi Kebijakan Profesi Guru Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen Dalam Perspektif Hukum Pendidikan”. Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum, Bandung, 2020

Reni Nuraeni Rostiani, “Masa Depan Cerah Lulusan Ppg Prajabatan, Calon Guru Dapat Jalan Tol Menuju Karir Pns Tanpa Seleksi”, klikpendidikan.id, Minggu, 8 September 2024

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler