x

Ilustrasi alat film. Pixabay.com

Iklan

atmojo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 28 Maret 2022 11:13 WIB

BPI, Politik Perfilman, dan Masa Depannya

Saat ini sedang berlangsung Kongres Badan perfilman Indonesia (BPI) yang ketiga di Jakarta. Ini dua catatan ringan sehubungan dengan kelembagaan BPI dan politik perfilman Indonesia dari masa ke masa, dan bagaimana sebaiknya perfilman kita ke depan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kongres Badan Perfilman Indonesia (BPI) yasng ketiga berlangsung pada 25 hingga 29 Maret 2022 di Jakarta. Kali ini saya ingin membuat catatan ringan sehubungan dengan BPI dan perfilman Indonesia. Pertama tentang status kelembagaan Badan Perfilman BPI. Kedua, tentang Politik Perfilman Indonesia, khususnya dalam konteks peraturan perundang-undangan, yang mana BPI termasuk menjadi salah satu bagiannya. Jika yang pertama bertujuan agar kita menghentikan “debat kusir” yang nadanya kurang optimis terhadap kemajuan BPI, maka yang kedua bertujuan untuk menunjukkan bahwa perfilman Indonesia sebenarnya tidak pernah berjalan otopilot. Pemerintah selalu “turut campur” atau berperan sejak zaman awal kemerdekaan hingga kini. Lalu di bagian akhir saya akan mengemukakan pandangan saya tentang situasi mutakhir yang dihubungan dengan perkembangan perfilman Indonesia.

Pertama, tentang kelembagaan BPI. Seperti kita ketahui bersama, pendirian BPI adalah amanat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Menurut Pasal 67, BPI merupakan perwujudkan dari Peran Serta Masyarakat. Peran serta masyarakat tersebut dapat dilakukan dalam bentuk:[1] Apresiasi dan promosi film; Penyelenggaraan pendidikan dan / atau pelatihan perfilman; Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi perfilman; Pengarsipan film; Kine klub; Museum perfilman; Memberikan penghargaan; Penelitian dan pengembangan; Memberikan masukan perfilman; dan/atau Mempromosikan Indonesia Indonesia sebagai lokasi pembuatan film luar negeri.

Untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam perfilman itulah dibentuk Badan Perfilman Indonesia (BPI). Pembentukan BPI ini dilakukan oleh masyarakat dan dapat difasilitasi oleh Pemerintah.[2]  Adapun tugas BPI, menurut Pasal 69 undang-undang adalah:[3] Menyelenggarakan festival film di dalam negeri; Mengikuti festival film di luar negeri; Menyelenggarakan pekan film di luar negeri; Mempromosikan Indonesia sebagai lokasi pembuatan film asing; Memberikan masukan untuk kemajuan perfilman; Melakukan penelitian dan pengembangan perfilman; Memberikan penghargaan; dan Memfasilitasi pendanaan pembuatan film tertentu yang bermutu tinggi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Nah, salah satu masalah yang kerap menjadi perdebatan adalah mengenai status BPI. Dikatakan dalam pasal 68 ayat (3) bahwa BPI merupakan “lembaga swasta dan bersifat mandiri”. Penyebutan sebagai “lembaga swasta dan bersifat mandiri” ini, menurut saya, sering disalahpahami baik oleh sebagian pejabat pemerintah atau oleh sebagian oleh insan perfilman sendiri.

Akibat dari kesalapaham tersebut berdampak langsung terhadap pembiayaan BPI, setidaknya pada periode pertama (2014-2017) badan ini. Pihak kementerian terkait seperti ketakutan untuk mengalokasikan dana kepada BPI, sedangkan sebagian insan film menggunakan status “swasta” tersebut sebagai alat untuk “menyerang” BPI agar tidak meminta dukungan kepada pemerintah. Menurut saya, benar bahwa BPI bukan termasuk Lembaga Pemerintah Non-kementerian dan juga bukan Lembaga Negara. Tetapi hal itu tidak berarti pemerintah “dilarang” memberikan bantuan kepada BPI atau BPI “dilarang” untuk meminta bantuan kepada pemerintah.

Kita ketahui bersama, kelembagaan BPI ini selain disebut dalam undang-undang, juga dikukuhkan oleh Presiden (Pasal 68 ayat 5). Dan melalui Pasal 70 Ayat (2) dikatakan bahwa sumber pendanaan BPI antara lain adalah “Bantuan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah yang bersifat hibah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan”. Namun, dalam kenyataan, hibah itu, setidaknya pada periode pertama BPI, tidak pernah datang.

Lalu,   dalam Keppres Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pengukuhan Badan Perfilman Indonesia dikatakan bahwa: “Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mendukung Badan Perfilman Indonesia dalam rangka pengembangan perfilman (Pasal 2). Sedangkan dalam Pasal 3 (tiga) dikatakan: “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat memberikan bantuan dana kepada Badan Perfilman Indonesia yang bersumber dari anggaran pendapatan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan belanja daerah yang bersifat hibah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

 Bahkan dalam Penjelasan undang-undang perfilman sendiri, alenia 8, ditulis secara tegas:  “Mengingat peran strategis perfilman, pembiayaan pengembangan perfilman, lembaga sensor film, dan badan perfilman Indonesia dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah.”  Anda tentu bisa dengan mudah menginterpretasikan sendiri kata “dialokasikan” dalam kalimat tersebut.

 Jadi kurang apa lagi? Mulai dari undang-undang hingga keputusan presiden sudah “memerintahkan” agar BPI dialoksikan dana, dibantu atau diberikan hibah.  Dengan demikian, sudah sepatutnya ke depan pemerintah tidak ragu-ragu lagi memberikan dukungan finansial kepada BPI. Dan kepada sebagian insan perfilman yang masih saja menggap bahwa BPI tidak layak diberikan bantuan, segera menghentikan wacana yang tidak ada ujung-pangkalnya itu.

 Sebagai tambahan informasi, bahwa sebuah badan berstatus  “swasta dan bersifat mandiri” ini juga ada dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.[4] Dalam Bab X Undang-undang Kepariwisataan terdapat lembaga yang bernama Badan Promosi Pariwisata Indonesia (BPPI). Dalam Pasal 36 dikatakan bahwa pemerintah memfasilitasi pembentukan BPPI (Ayat 1) dan disebutkan bahwa BPPI merupakan “lembaga swasta yang bersifat mandiri”. Badan ini juga disebutkan ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Jadi sangat mirip --bahkan persis-- dengan Badan Perfilman Indonesia (BPI) dalam undang-undang perfilman.

 Sebagai akhir dari bagian pertama ini, apabila benar undang-undang perfilman akan diganti atau direvisi, saya usulkan status BPI ini “diubah” atau “dipertegas” agar tidak menjadi kontroversi di masyarakat. Bisa saja BPI dimasukkan sebagai sebagai Lembaga Pemerintah Non-kementerian (LPNK), seperti  Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Badan Pusat Statistik (BPS), Perpustakaan Nasional, atau Badan SAR Nasional (Basarnas).[5]  Syukur-syukur langsung disebut atau diakui sebagai “Lembaga Negara” yang dibentuk berdasarkann undang-undang seperti halnya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pengawas Persiangan Usaha (KPPU), atau Komisi Nasional Hak Asasi manusia (Komnas HAM). Dengan demikian statusnya menjadi lebih jelas dan peranannya sudah pasti juga akan semakin kuat.

                                                                          *****

Sekarang, bagian kedua, tentang politik perfilman Indonesia.  Ada banyak teori atau sudut pandang dalam melihat perkembangan perfilman Indonesia. Misalnya dari sudut estetika, kebudayaan, sejarah, atau yang lainnya. Kali ini saya akan melihatnya dari sisi politik hukum, khusunya peraturan perundang-undangan. Hal-hal lain di luar masalah hukum bisa menjadi catatan tersendiri.

Sejak zaman Hindia Belanda, sebenarnya perfilman kita tak pernah lepas dari campur tangan penguasa. Kita tahu, di zaman penjajahan itu peraturan tentang sensor film sudah ada. Dan ketika Indonesia merdeka, lembaga sensor ini tetap diteruskan hingga kini yang bernama Lembaga Sensor Film (LSF). Dasar hukum pertama yang digunakan dalam meneruskan eksistensi lembaga ini adalah Aturan Peralihan Pasal II dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Bunyi lengkapnga: “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.” Lalu muncul Peraturan Pemerintah (PP) No. 2 Tahun 1945 yang intinya mengatakan bahwa “badan-badan dan pemeraturan pemerintah yang ada masih dianggap berlaku sampai belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar.” PP ini ditandatangani Presiden Soekarno pada 10 Oktober 1945. Secara lebih tegas, Pasal 1 (satu) PP itu mengatakan: “Segala Badan-Badan Negara dan Peraturan-Peraturan yang ada sampai berdirinya Negara Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar, masih berlaku asal saja tidak bertentangan dengan Undang-Undang tersebut.” Dengan demikian institusi yang berurusan dengan sensor film pun tetap berlaku.

Hal itu boleh diangap sebagai contoh pertama bahwa pemerintah tidak membiarkan atau “lepas tangan” atas film. Dan itu artinya sejak Indonesia merdeka, pemerintah telah membuat keputusan politik bahwa perfilman tidak dilepaskan sebagai bidang kebudayaan yang perkembangannya diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat, tetapi tetap harus dikontrol oleh pemerintah.

Dalam ada yang mengartikan politik sebagai “Kegiatan yang menyangkut cara bagaimana kelompok-kelompok mencapai keputusan-keputusan yang bersifat kolektif dan mengikat melalui usaha untuk mendamaikan perbedaan di antara anggotanya.”  Ada juga yang langsung menyederhanakan bahwa yang dimaksud dengan “dimensi politis manusia” adalah dimensi masyarakat sebagai keseluruhan. Ciri pendekatan “politis” adalah bahwa pendekatan itu ada dalam kerangka acuan yang berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan. Dan keputusan politis adalah keputusan yang diambil dengan memperhatikan kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan.  Suatu tindakan disebut politis apabila tindakan tersebut menyangkut masyarakat sebagai keseluruhan. Intinya, di dalam kata “politik” terdapat unsur Negara; Kekuasaan; Pengambilan keputusan;   Kebijakan;  Pembagian atau alokasi yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan.

Sedangkan Pengertian Politik Hukum diartikan, pertama, sebagai garis kebijakan resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara. Kedua, sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk. Ketiga, sebagai pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang akan dibangun.

Kalau begitu, apa itu politik perfilman? Dalam kesempatan ini  saya  mengartikannya sebagai aneka tindakan, putusan, peraturan, kebijakan, undang-undang, yang dilakukan oleh pemerintah atau lembaga perfilman sehubungan dengan perfilman nasional.

Kita kembali ke Orde Lama. Di masa Orde Lama itu muncul Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Semesta Republik Indonesia (TAP MPRS RI) No. II Tahun 1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama.[6] Pasal 2 Ayat (1) mengatakan: “Melaksanakan Manifesto Politik di lapangan pembinaan Mental/Agama/Kerohanian dan Kebudayaan dengan menjamin syarat-syarat spiritual dan materiil agar setiap warga negara dapat mengembangkan kepribadiannya dan kebudayaan Nasional Indonesia serta menolak pengaruh-pengaruh buruk kebudayaan asing.” Kemudian Ayat (6) mengatakan: “Mengusahakan agar segala bentuk dan perwujudan kesenian menjadi milik seluruh rakyat dan menyinarkan sifat-sifat nasional.” Serta Ayat (7) menyebutkan: “Memperkuat usaha penerangan sebagai media penggerak rakyat dan massa revolusioner.” Dalam ketiga ayat di atas, masalah kebudayaan dan kesenian sudah disebut.

Lalu pada Lampiran A, angka I, bidang Mental/Agama/Kerohanian/Penelitian/Sub 16/ dikatakan, antara lain, bahwa “Film bukan semata-mata barang dagangan, melainkan alat pendidikan dan penerangan”. Dalam Sub 20 dikatakan: “Segala alat komunikasi massa seperti pers, radio, film dan lain-lain sebagainya harus digerakkan sebagai ‘one coordinate unit’ dan secara bergelombang yang terpimpin, terencana dan terus menerus di dalam penanaman kesadaran sosialisme Indonesia dan Pancasila.”

Jadi film tidak dipandang sekadar sebagai salah satu dari cabang kesenian seperti seni lukis, patung, teater atau yang lain, tetapi disejajarkan dengan media massa seperti radio dan pers. Karena itu ia harus diatur dan diarahkan sesuai dengan tujuan penguasan dan ideologi negara.

Masih di Orde Lama, pada 1964 muncul Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1964 tentang Peminaan Perfilman yang isinya mengatur fungsi, tugas, dan kewajiban perfilman Indonesia. Dengan penetapan ini, maka “campur tangan” Pemerintah (Departemen Penerangan) dalam pembinaan perfilman naional semakin tegas dan dalam. Dasar pertimbangan penerbitan Penetapan Presiden tersebut dikatakan bahwa perfilman  merupakan alat publikasi massa yang sangat penting untuk "Nation Building" dan "Character Building" dalam rangka mencapai tujuan Revolusi. Lalu pembinaan perfilman Indonesia dianggap masih diperlukan untuk mencapai tujuan revolusi guna membentuk masyarakat sosialis Indonesia.[7]  Penpres ini terdiri dari 6 (enam) Bab dan 16 Pasal yang lumayan rinci isinya tentang bagaimana perfilman Indonesia akan dibina dan siapa pembinanya. Lalu ada Instruksi Presiden Nomor 012 tahun 1964 tentang Penyerahan tugas dan tanggung jawab Perfilman yang tadinya dilakukan oleh  beberapa Departemen kepada Menteri Penerangan.

Perfilman Indonesia juga tidak lepas dari pergolakan politik di masyarakat.  Menjelang peristiwan G 30 S/PKI, muncul sebuah gerakan atau kelompok di bawah Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) yang menamakan diri Panitia Pusat Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS). Menurut Soemardjono Demang Wiryokusumo, munculnya Papfias ini menghancurkan kubu-kubu film Amerika untuk digantikan dengan dominasi film dari Blok Timur. Sedangkan kita, kata Soemardjono, menganut politik luar negeri bebas aktif.  Akibat  peristiwa itu, struktur perbioskopan Indonesia ambruk dan hampir runtuh sama sekali.[8]  Siapa yang rugi, tanya Soemardjono. Jawabnya: Tentunya masyarakat luas yang memerlukan film sebagai kebutuhan sosial dan kultural.

Pada masa Orde Baru (mulai 1968), aneka kebijakan juga dikeluarkan oleh pemerintah. Misalnya, ketika menteri penerangan dijabat oleh BM Diah (mulai 25 Juli sampai 6 Juni 1968), diterbitkan Surat Keputusan (SK) Menteri Penerangan Nomor 34/SK/M/1968 tentang Dewan Produksi Film Nasional. SK ini untuk melaksanakan SK No. 71/SK/M/1967 tentang Pemanfaatan Film Impor untuk Kepentingan Produksi & Rehabilitasi Perfilman Nasional. SK 71 inilah yang menjadi dasar legitimasi “penarikan uang” dari importir film. Lalu mulai pada awal 1968, importir yang mendatangkan film harus menyetor dana “saham” sebesar Rp. 250.000,- per judul film kepada Dewan Produksi Film Nasional. Dari dana ini lahir film anta lain “Apa yang Kau Cari Palupi” karya Asrul Sani.

Kemudian di zaman Menteri Penerangan: Boediardjo (1968), Dewan Produksi Film Nasional (DPFN) dibubarkan. Beliau Membentuk Dewan Film Nasional (DFN) sebagai gantinya dengan SK No. 59/KEP/MENPEN/1969 pada 29 Juli 1969. DFN adalah lembaga dalam lingkungan Departemen Penerangan dan bertugas sebagai penasehat menteri. Pada 1975 terbit SK Menpen Nomor 55B/KEP/MENPEN/1975 tentang Tugas, Fungsi, dan Susunan Dirjen RTV. Di sini dirinci beberapa fungsi dari RTV yang antara lain adalah merusmuskan kebijaksanaan teknis operasionil tugas-tugas penerangan melalui sarana radio, televisi, dan film. Selain itu, ia bertugas untuk memberikan bimbingan dan pembinaan serta pemberian perizinan sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan Menteri dan undang-undang.

Ketika menteri penerangan dijabat oleh Mashuri, spesialisasi organisasi profesi mulai ditata. Hal ini dilakukan dengan menerbitkan SK Menteri Nomor 144A/Kep/Men/1976 tentang Spesialisasi Profesi Organisasi-Organisasi Perfilman di Indonesia. Organisasi-organisasi terebut adalah  PPFI;  PARFI;  KFT; GPBSI; GASFI; dan GASI. Kemudian ini dikukuhkan melalui SK Nomor 114B/KEP/MENPEN/1976.

Di masa menteri penerangan dipimpin oleh Mashuri Saleh (Maret 1973-Oktober 1977), terbit SK Menpen No. 31/KEPMENPEN/1977 dalam rangka pembentukan Lembaga Pengembangan Perfilman Nasional (Lepfinas) pada 10 Februari 1977. Lembaga ini dimaksudkan sebagai pemikir, perumus pola pengembangan perfilman. Pada masa inilah Asrul Sani dan kawan-kawan menyusun Pola Dasar Pembinaan dan Pengembangan Perfilman Nasional.  Lalu dana “Sertifikat Impor” diubah menjadi “Wajib Produksi” berdasarkan kuota impor. Bagi importir yang mengimpor 3 (tiga) judul film, harus memprofuksi 1 (satu) film atau membeli 3 (tiga) sertifikat impor untuk 1 (satu) judul film yang diimpor. Harga per sertifikat sebesar Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah).  Selain itu, jika film yang diproduksi importir menang atau mendapat Piala Citra, maka importir mendapat bonus 1 (satu) judul film lagi untuk diimpor, dan 1 (satu) judul lagi jika yang diproduksi adalah film anak-anak, sejarah atau epos.

Mashuri Saleh kemudian digantikan oleh Ali Moertopo (Maret 1978-Maret 1983). LEPFINAS dibubarkan, dan dibentuk Dewan Film Nasional (DFN) gaya baru dengan  SK Menteri Nomor 115/KEP/MENPEN/1979 tanggal 17 Juli 1979. Salah satu kebijakannya adalah menghapus “Wajib Produksi”, tapi “Sertifikat Produksi” dihidupkan kembali. Sebagian dana yang berasal dari importir inilah yang dipakai untuk membantu membangun Gedung Film di Jalan MT Haryono Kav.47-48. DFN baru ini merupakan pendamping menteri penerangan dalam membina pertumbuhan dan pengembangan perfilman nasional.

Waktu terus bergulir. Lahirlah Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri yang melahirkan PT Peredaran Film Nasional (PERFIN). Juga muncul SK Menpen Nomor 31/LEP/MENPEN.1977 yang membentuk Badan Pelaksana Perfilman Daerah (Bafida), keudian Inpres Nomor 6 Tahun 1971 yang melahirkan Badan Koordinasi Pelaksana (Bakorlak) untuk mendiskusikan masalah pengaruh buruk film dan sensor. Pada masa iniu pula perusahaan impor film diatur dalam bentuk konsorsium. Hingga akhirnya pada 1992 lahir Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman, dan pada 1994 -- melalui PP Nomor 8 Tahun 1994-- resmi berdirinya Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N).

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman (disahkan pada 30 maet 1992 oleh Presiden Soeharto), film dipahami  sebagai media komunikasi massa pandang dengar yang mempunyai peranan penting bagi pengembangan budaya bangsa sebagai salah satu aspek peningkatan ketahanan nasional dalam pembangunan nasional. Karena itu perfilman memerlukan sarana hukum dan upaya yang lebih memadai bagi pembinaan dan pengembangan perfilman Indonesia. Apalagi Filmordonnantie 1940 (Staatsblad 1940 No. 507) dan Undang-Undang Nomor 1 Pnps Tahun 1964 tentang Pembinaan Perfilman (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2622) dianggap sudah tidak lagi memenuhi tuntutan perkembangan keadaan dan kebutuhan bagi pembinaan dan pengembangan perfilman Indonesia.

Singkat cerita, datanglah Era Reformasi 1998. Di era ini lahir UU Nomor 33 Tahun 2008 tentang Perfilman yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 8 Oktober 2009. Undang-undang ini menggantikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman. Pertanyaannya, kenapa diganti? Inilah salah satu wujud konkret lain –selain sederet yang sudah saya sebutkan di atas-- dari politik perfilman kita. Undang-undang baru ini dimaksudkan untuk menentukan paradigma baru, yakni menggeser film yang sebelumnya kental dengan unsur politik, ke arah rumpum kebudayaan. Film sebagai karya seni budaya yang terwujud berdasarkan kaidah sinematografi harus dianggap sebagai fenomena kebudayaan. Film juga dapat berfungsi ekonomi yang mampu memperhatikan prinsip persaingan usaha yang sehat. Film menyentuh berbagai segi kehidupan manusia dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Singkatnya, undang-undang lama (UU Nomor 8 Tahun 1992) dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan perfilman dan semangat zamannya.

Atas amanat undang-undang, pada 2014 Badan Perfilman Indonesia (BPI) lahir dan memilih pengurusnya untuk pertama kali. Presiden Indonesia pun berganti dari SBY kepada Presdien Joko Widodo (Jokowi) yang dilantik pada pada 20 Oktober 2014. Muncul Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian. Film berpindah dari Parekraf ke Kemendikbud. Pada 17 April 2015, Anies Baswedan menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Lalu muncul Permendikbud Nomor 11 Tahun 2015, yang mana pada pasal 833 Permendikbud tersebut menjadi dasar lahirnya Pusat Pengembangan Perfilman (Pusat Pengembangan Film) di Kemendikbud. Untuk pertama kalinya Pusbang Film ini dipimpin oleh Maman Wijaya. Di masa adanya Pusbang ini lahir beberapa Permendikbud. Periode kedua Joko Widodo, Menteri Pendidikan diganti oleh Nadiem Makarim dan muncul Direktorat Pengembangan Perfilman, Musik, dan Media baru yang kini dipimpim oleh Ahmad Mahendra.

Sebelum saya akhiri bagian kedua ini, ada peristiwa atau keputusan penting yang terjadi pada tahun 2016. Mungkin kita semua masih ingat, atas permintaan insan perfilman sendiri, pada Mei 2016 terbit Peraturan Presiden (Perpres) No. 44 Tahun 2016 tentang Daftar Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratann di Bidang Penanaman Modal. Ketentuan ini oleh masyarakat umum sering disebut sebagai Daftar Negatif Investasi (DNI). Dalam ketentuan tersebut, terdapat daftar bidang usaha apa saja yang terbuka untuk investasi asing dan apa saja yang tertutup (negatif) bagi penanaman modal asing.

Dalam Perpres sebelumnya, yakni Perpres Nomor 39 Tahun 2014 tentang hal yang sama,  beberapa jenis usaha perfilman diharuskan 100 (seratus) persen modal dalam negeri. Misalnya, bidang usaha pembuatan film, pertunjukan film, pengedaran film,  sarana penyuntingan film, dan sarana pemberian teks film. Sedangkan untuk studio pengambilan gambar film, laboratorium film, sarana pengisian suara (dubbing), dan sarana penggandaan film, dapat dimiliki oleh asing maksimal 49% (empat puluh sembilan persen).

Namun, dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 44 Tahun 2016 yang ditanda tangani oleh Presiden Joko Widodo, masalah pembatasan investasi di bidang perfilman sebagian besar “hilang” dari daftar. Artinya, sebagian besar bidang usaha dan jenis usaha perfilman itu kini terbuka seratus persen bagi modal asing. Jadi, apakah masih relevan kalimat “memiliki peran strategis dalam peningkatan ketahanan budaya bangsa” dan  “memperkuat ketahanan nasional” yang masih ada di undang-undang perfiman? Apakah masih relevan slogan bahwa perfilman harus “menjadi tuan rumah di negeri sendiri”? Anda yang bertugas menjawabnya.

Lalu kini datanglah apa yang sering kita sebut sebagai layanan over the top (OTT). Kita tahu, perkembangan teknologi telah melahirkan banyak sarana atau platform baru berbasis internet yang kita kenal sebagai Over the Top (OTT). Secara sederhana, OTT dapat dipahami sebagai layanan dengan konten berupa data, informasi atau multimedia yang beroperasi di atas jaringan internet milik sebuah operator telekomunikasi. OTT ini setidaknya dapat dibagi menjadi 3 (tiga) kategori. Pertama, aplikasi seperti WhatsApp, Line, Telegram, Skype, Facebook, Twitter, Instagram, dan lain sebagainya. Kedua,  konten/video on demand / streaming seperti Youtube, HOOQ, Iflix, Viu, dan lain sebagainya; dan ketiga adalah jasa seperti Go-Jek, Grab, Uber, dan lain sebagainya. Tidak semua layanan OTT ini gratis. Sebut misalnya Netflix, iTunes, dan beberapa lainnya. Dalam konteks perfilman, maraknya OTT ini tidak saja berkaitan dengan bisnis, tetapi juga dengan sensor.

                                                                          ****

Situasi yang boleh disebut semakin demokratis dan adanya kemajuan teknologi saat ini membuka ruang selebar-lebarnya kepada insan perfilnman untruk berkreasi. Bagi mereka yang mendambahkan situasi kebebasan, inilah saatnya bagi mereka untuk mengeksplorasi berbagai masalah kehidupan ke dalam film. Lembaga Sensor Film (LSF) sudah semakin lunak dan mengedepankan dialog dalam menjalan tugas-tugasnya.  Teknologi juga memungkinkan bagi siapa saja untuk mendistribusikan hasil karyanya. Namun, situasi ini bisa jadi menggelisahkan bagi sebagian orang yang mendambakan adanya pengaturan yang lebih jelas, ketat, dan agar perfilman mempunyai tujuan tertentu. Ini semua berpulang kepada insan perfilman Indonesia sendiri. Apakah akan mendorong era yang sudah terbuka ini menjadi lebih terbuka dan tidak membutuhkan aneka peraturan yang bisa membatsi;  atau malah ingin agar kita mempunyai aneka peraturan perundangan yang bisa digunakan untuk mengatur perfilman kita agar mencapai tujuan tertentu.

Saya percaya, bahwa kebudayaan, peradaban, dan aktor-aktor di dalamnya mempunyai logikanya sendiri, caranya sendiri, untuk menyelesaikan problem pada zamannya. Selama demokrasi yang deliberatif bisa dilaksanakan, saya yakin  kondisi perfilman kita akan semakin baik dan berkualitas.

                                                                                                         * K. Atmojo, pencinta film.

           

                                                                                 ####

 

[1] Lihat Pasal 67 UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman.

[2] Lihat Pasal 68 Ayat 1 dan 2 UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman

[3] Lihhat Pasal 69 UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman

[4]  Sebagian isinya diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

[5] Regulasi LPNK ini tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 145 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedelapan atas Keputusan Presiden Nomor 104 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewengangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja LPNK.

[6] Dicabut dengan Ketetapan MPRS No. XXXVIII/1968

[7][7] Lihat konsideran “Menimbang” dalam Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1964 tentang pembinaan Perfilman.

[8] Soemardjono Demang Wiryokusumo, Tinjauan Sekilas Aspek Sosial Budaya Dalam Perkembangan Perfilman Indonesia,  Festival Film Indonesia 1984,  hlmn. 130.

Ikuti tulisan menarik atmojo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler