Riwayat “Indonesiana”; Dari yang Unik hingga Urusan Dua Menteri

Senin, 4 April 2022 08:02 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Dana Indonesiana
Iklan

Dari mana nama atau istilah Indonesiana yang digunakan oleh Blog Jurnalisme Publik ini? Lalu kenapa pula sebutan itu digunakan pula sebagai nama dana abadi untuk kebudayaan: Dana Indonesiana? Dan, eh, jangan lupa, tentu masih banyak yang ingat pula bahwa nama Indonesiana dulu merupakan salah satu rubrik di Majalah Tempo. Apakah arti sebuah nama?

Oleh: Bambang Bujono, Penulis, mantan jurnalis

Ternyata “Indonesiana” sudah hampir lansia. Memang, Blog Jurnalisme Publik “Indonesiana” yang Anda baca ini diluncurkan pada 1 April 2014, delapan tahun lalu. Namun, kata atau istilah “Indonesiana” itu sendiri ketika itu sudah berusia sekitar 40 tahun.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Indonesiana” lahir sebagai nama rubrik di Majalah Tempo pada 1970-an, untuk mewadahi peristiwa-peristiwa unik, mungkin absurd, tak masuk akal, dan sulit dimasukkan ke rubrik yang sudah ada, misalnya rubrik “Nasional”, “Olahraga”, “Ekonomi-Bisnis”, “Pokok-Tokoh”, ataupun rubrik lainnya. Padahal, peristiwa tersebut benar terjadi, dan mungkin khas Indonesia, memenuhi kriteria layak Tempo. Kriteria itu antara lain, peristiwa mengandung unsur dramatis, baru pertama kali terjadi, menghibur, unik.

Tapi ada kriteria yang tak dipenuhi dalam peristiwa tersebut, yakni melibatkan tokoh dan atau selebritas. Dalam peristiwa itu yang terlibat hanyalah orang-orang yang bukan siapa-siapa. Maka, dibuatlah rubrik baru dan diberi nama “Indonesiana” –kira-kira maksudnya, peristiwa-peristiwa unik di Indonesia.  Mungkin sebab itu, tanpa tokoh, sampai-sampai ada yang bertanya, apakah peristiwa dalam Rubrik Indonesiana benar terjadi, atau karangan wartawan Tempo. Kalau tak salah ingat, pertanyaan itu ada di surat pembaca.

Sudah barang tentu “Indonesiana” ikut hilang dari publik begitu Tempo dibredel, Juni 1994. Dan, entah mengapa, rubrik ini tak ikut hidup kembali begitu Tempo terbit lagi, Oktober 1998. Mungkinkah karena rubrik-rubrik di majalah tersebut sudah dianggap mewakili “Indonesiana”? Peristiwa atau berita yang tak masuk akal namun benar-benar terjadi? Baru lebih dari 15 tahun kemudian, “Indonesiana” muncul lagi dalam bentuk baru: sebagai blog khusus menampung jurnalisme publik di situs tempo.co – jauh berbeda dengan “Indonesiana” di majalah Tempo dulu.

Mati satu tumbuh seribu kata pepatah. Menjelang masa lansia “Indonesiana” tak hanya di tempo.co, tapi memang belum seribu, bahkan seratus masih jauh. Namun “Indonesiana” yang satu ini mendapat liputan nasional, diumumkan kehadirannya oleh tak kurang dari dua menteri pada 23 Maret lalu. Itulah “Dana Indonesiana” -- yang sama sekali bukan dana untuk atau milik Blog Indonesiana. Dana Indonesiana, menurut dua menteri tersebut, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, dan Menteri Keuangan,  adalah dana abadi  untuk membiayai kegiatan kebudayaan. Disebut “abadi” karena yang bisa digunakan membiaya kegiatan hanyalah bunganya.

Dasar hukum pengadaan dana ini pun tak main-main: amanat dalam Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan. Dengan demikian kritik yang sebelumnya sering terdengar, pemerintah tidak hadir atau setengah hadir dalam berbagai kegiatan budaya, dijawab sudah dengan meyakinkan: disediakan dana total lima triliun –diangsur, memang, baru ada tiga, dua triliun dijanjikan tahun depan.

Dana tersebut datang dari sumber yang jelas: APBN. Yang tak dijelaskan, disinggung pun tidak, juga tak seorang wartawan yang hadir menanyakannya, apa makna “Indonesiana” itu. Apakah dua menteri sepakat meminjam istilah tersebut dari grup Tempo–-dari majalah dan blog di tempo.co? Tapi, lalu apa maknanya? Bahwa dana tersebut dianggap aneh, absurd, tak masuk akal? Atau, dana dianggap milik publik, publik kebudayaan tentunya? Atau itu sekadar nama sebagaimana kata Juliet dalam drama Shakespeare, “Apalah arti nama? Sebutkanlah mawar dengan nama lain, bunga itu tetaplah harum.” Apa pun namanya, dana tersebut memang untuk kegiatan kebudayaan Indonesia.

Agaknya dua menteri itu hanya mengumumkan. Ada sumber yang lebih afdal soal nama. Kata Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid lewat Whatsapp,  Direktorat Jenderal Kebudayaan sudah menggunakan istilah ini pada program yang diluncurkan di akhir 2018. Itulah program yang dinamakan Platform Indonesiana, program kerja sama pemerintah pusat dan daerah, dan swasta. Jadi, “Indonesiana” menjadi label atau merek berbagai kegiatan budaya yang diselenggarakan oleh Ditjen Kebudayaan –yang idenya bisa dari siapa saja, dan penyelenggaraannya bisa bersama pihak mana saja. Misalnya, Indonesia TV, saluran televisi mewadahi berbagai karya sineas muda Indonesia, tentang bebagai hal berkaitan dengan kebudayaan Indonesia. Ada film cerita, dokumenter, berita, pengumuman, antara lain. Jadi, “Indonesiana” pada nama Dana Indonesiana agaknya merupakan “kelanjutan” yang sudah ada di Ditjen Kebudayaan: berbagai kegiatan berlabel “Indonesiana”.

Namun, satu hal belum jelas. Dari mana asal-usul “na” pada “Indonesia+na” yang di Ditjen Kebudayaan ini? Kata Dirjen Kebudayaan, itu diambilnya dari Bahasa Latin yang memiliki akhiran “ana” atau “iana”.

Menurut beberapa sumber, termasuk Wikipedia, dalam tata bahasa Latin fungsi akhiran ini untuk mengubah kata benda menjadi kata benda jamak. Pada pertengahan 1700, Bahasa Inggris mengambil-alihnya dan memberikan fungsi berbeda: untuk menunjukkan kumpulan segala sesuatu yang khas yang mengacu kata dasar. Pada umumnya kata dasar tersebut adalah nama orang, tempat, atau nama zaman. “Shakespeareana” menunjuk pada kumpulan karya Shakespeare. “Sherlockiana” untuk menyebutkan kumpulan cerita detektif Sherlock Holmes. “Chopiniana” sebutan untuk karya-karya musik Chopin. “Victoriana” menunjuk pada hal-hal yang khas di zaman Ratu Victoria memerintah Inggris.

Akhiran “ana” yang kadang ditulis “iana” menjadi hanya “na” bila huruf terakhir kata dasar berupa huruf vokal. Maka, “Indonesiana”, bukan Indonesiaana, atau lebih ribet lagi Indonesiaiana.

Alhasil, begitukah bahwa Dana Indonesiana bukan dana yang tak masuk akal atau absurd. Rasanya frasa itu lebih dekat dengan dana untuk Indonesia. Mengacu pada Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan, yang dimaksud Indonesia adalah para budayawan dan seniman Indonesia. Pun seperti juga Blog Jurnalisme Publik Indonesiana yang tak lalu menayangkan semua tulisan yang masuk, penerima dana dari Dana Indonesiana diseleksi. Ini hal yang serius, tentu. Meski “Indonesiana” bisa saja lahir dari gurauan santai. Konon, menurut yang diingat oleh Putu Setia, wartawan Tempo yang kini adalah Mpu Pandita Jaya Prema Ananda, “Rubrik Indonesiana” lahir dari diskusi tentang peristiwa unik yang seharusnya diliput. “Naaa, itu kan peristiwa khas Indonesia yang layak tulis,” interupsi salah seorang peserta pertemuan. Lahirlah Indonesia+naaaa ....

 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Bambang Bujono

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler