Seperti yang telah kita ketahui, sejak dahulu hingga sekarang puisi selalu menjadi suatu hal yang digemari oleh seluruh lapisan masyarakat, utamanya di Indonesia. Puisi adalah suatu yang mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama, serta merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang diubah dalam wujud yang paling berkesan. (Pradopo, 2012: 7)
Kemudian dalam perkembangannya, puisi mengalami banyak perubahan corak, sifat, dan bentuk seiring kemajuan masyarakat itu sendiri. Selain itu perubahan selera, konsep estetika dan kemajuan intelektual juga memberikan efek bagi perkembangan puisi di Indonesia.
Selain itu, sebuah puisi tentu memiliki sifat, struktur, dan konvensi-konvensi tersendiri yang khusus dan berbeda-beda pula. Karenanya puisi bisa juga menjadi sebuah teka-teki yang melahirkan sebuah misteri tentang bagaimana kita mampu mengungkap makna yang terkandung dalam puisi tersebut.
Puisi merupakan sebuah struktur yang kompleks, maka untuk memahaminya perlu dianalisis sehingga dapat diketahui bagian-bagian serta jalinannya secara nyata. (Wellek dan Warren, 1968:140). Analisis ini dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan, salah satunya yaitu pendekatan stilistika yang merupakan cabang ilmu linguistik yang memfokuskan diri pada analisis gaya bahasa sebuah karya sastra.
Maka sebagai contoh, penulis akan melakukan tinjauan kata dari salah satu puisi karya sastrawan besar di Indonesia yaitu pak Sapardi Djoko Damono yang berjudul “Pada Suatu Hari Nanti” melalui pendekatan stilistika. Sapardi Djoko Damono lahir pada 20 Maret 1940 di Solo, Jawa Tengah dan merupakan salah satu penyair terkenal dikalangan para sastrawan maupun kalangan umum. Ia merupakan penyair yang terkenal akan karya-karya puisinya yang mengangkat kisah kehidupan yang sederhana hingga penuh makna.
Puisi karya Pak Sapardi ini diciptakan pada tahun 1991. Puisi tersebut dinilai memiliki makna yang mendalam bagi setiap pembacanya karena memiliki padanan gaya bahasa yang sederhana namun tepat. Berikut puisi “Pada Suatu Hari Nanti” karya Sapardi Djoko Damono.
“PADA SUATU HARI NANTI”
“Pada suatu hari nanti
Jasadku tak akan ada lagi
Tapi dalam bait-bait sajak ini
Kau takkan kurelakan sendiri
Pada suatu hari nanti
Suaraku tak terdengar lagi
Tapi di antara larik-larik sajak ini
Kau akan tetap kusiasati
Pada suatu hari nanti
Impianku pun tak dikenal lagi
Namun di sela-sela huruf sajak ini
Kau takkan letih-letihnya kucari”
-Sapardi Djoko Damono, 1991-
Berikut adalah tinjauan kata dalam puisi “Pada Suatu Hari Nanti” melalui pendekatan stilistika.
- Pemilihan Diksi
Alat untuk menyampaikan perasaan dan pikiran sastrawan adalah bahasa. Bagus tidaknya tergantung pada kecakapan sastrawan dalam mempergunakan kata-kata (Slametmuljana, 1956:7). Maka dalam setiap penulisan sebuah sajak, pastilah seorang sastrawan akan memilih dengan jeli diksi seperti apa yang akan mereka curahkan dengan pena-pena nya.
Dapat kita lihat bahwa diksi atau pilihan kata yang dipergunakan dalam puisi “Pada Suatu Hari Nanti” karya Pak Sapardi Djoko Damono ini merupakan diksi sederhana, dimana dalam seluruh baitnya Pak Sapardi hanya mempergunakan kata sehari-hari tanpa disandingi dengan kata-kata kuno, kata yang berasal dari bahasa daerah, dan tidak pula menggunakan kata atau kalimat yang termasuk dalam istilah-istilah asing yang kadang sulit untuk kita pahami.
Namun walaupun hanya memanfaatkan diksi yang sederhana, lantas tak membuat puisi ini menjadi sesuatu yang biasa melainkan menjadikan nya puisi yang sarat makna. Karena dibalik penggunaannya, beberapa diksi yang dipilih oleh Pak Sapardi justru memiliki makna yang mendalam dan membuat puisi ini mampu menyentuh hati para pembacanya.
Sebagai contoh, kita dapat melihatnya pada kalimat “jasadku tak akan ada lagi” yang terdapat dalam bait pertama. Penggunan kata “Jasad” menurut penulis merupakan salah satu hal yang membuat puisi ini memiliki nilai estetik dan terasa begitu mendalam. Selain itu kata “kusiasati” pada kalimat “kau akan tetap kusiasati” di bait kedua juga terlihat cukup menonjol.
Karena menurut penulis kata “Jasad” dan “kusiasati” ini telah menimbulkan perasaan yang mendalam bagi para pembacanya, sekaligus memberi penjelasan bagi kalimat-kalimat di bait selanjutnya bahwa puisi ini berisi bayang-bayang “Aku” tentang hari kemudian, dimana sebelum hari itu datang “Aku” telah mencari cara untuk menyiasati agar “Kau” tidak merasa ditinggalkan dan sendiri setelah kepergiannya.
- Bahasa kiasan
Untuk mendapatkan kepuitisan lain di dalam sebuah puisi, penyair biasanya juga menggunakan majas atau bahasa kiasan. Kemudian dapat dilihat bahwa majas yang terkandung dalam puisi “Pada Suatu Hari Nanti” hanyalah majas metafora. Namun walaupun hanya mengandung sebuh macam majas saja, majas metafora ini hampir terkandung dalam keseluruhan bait ini, diantaranya yaitu :
- “Tapi dalam bait-bait sajak ini
Kau takkan kurelakan sendiri”
- “Tapi di antara larik-larik sajak ini
Kau akan tetap kusiasati”
- “Namun di sela-sela huruf sajak ini
Kau takkan letih-letihnya kucari”
Ketiga bait diatas mengandung majas metafora yang merupakan bahasa kiasan layaknya perbandingan, tetapi tidak memakai kata perbandingan. Metafora berarti memandang sesuatu dengan perbandingan sesuatu atau benda lain.
- Citraan (gambaran-gambaran angan)
Dalam buku pengkajian puisi karya Rachmat Djoko Pradopo, dikatakan bahwa untuk memberi gambaran yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, dan membuat lebih hidup gambaran dalam pikiran dan penginderaan serta untuk menarik perhatian dari sebuah puisi, penyair juga menggunakan gambaran-gambaran angan (pikiran). Maka dalam sajak, gambaran-gambaran angan itulah yang disebut citraan (imagery).
Didalam bukunya juga, Pradopo mengemukakan bahwa gambaran-gambaran angan itu dihasilkan oleh bermacam-macam indera seperti penglihatan, pendengaran, perabaan, pencecapan, dan penciuman. Bahkan juga dapat diciptakan oleh pemikiran dan gerakan.
Maka jika diperhatikan dalam puisi ‘Pada Suatu Hari Nanti “, Pak Sapardi hanya menggunakan 2 jenis citraan. Diantaranya yaitu:
- Visual Imagery (citraan yang timbul oleh penglihatan)
“Pada suatu hari nanti
Jasadku tak akan ada lagi”
Kalimat dalam bait pertama ini membuat pembaca seolah-olah melihat peristiwa yang digambarkan penyair.
- Auditory Imagery (citraan yang timbul oleh pendengaran)
“Pada suatu hari nanti
Suaraku tak terdengar lagi”
Kemudian pada bait kedua ini membuat pembaca seolah-olah mendengar apa yang diilustrasikan penyair.
Penutup
Menganalisis sebuah puisi dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan, salah satunya yaitu pendekatan stilistika. Maka jika dilihat dari apa yang penulis jabarkan diatas, harapannya para pembaca mampu mendapat pemahaman tentang bagaimana gaya bahasa dan makna yang terkandung dalam puisi tersebut.
Sumber
Pradopo, Rachmat Djoko, 2012. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ikuti tulisan menarik Shabrina Faarisah lainnya di sini.