x

Iklan

Mohammad Imam Farisi

Dosen FKIP Universitas Terbuka
Bergabung Sejak: 17 Februari 2022

Minggu, 1 Mei 2022 07:55 WIB

Pelik-pelik Masalah Legal Standing dalam Pengajuan Judicial Review di Sidang Mahkamah

Adalah fakta, bahwa kegagalan pengajuan judicial review di sidang Mahkamah bukan semata-mata karena persoalan aspek materiil/substai permohonan. Tetapi juga karena persoalan “kedudukan hukum Pemohon” atau legal standing Pemohon. Data menunjukkan bahwa dari seluruh permohonan yang tidak diterima (niet ontvankelijke verklaard) oleh Mahkamah, hampir 50% disebabkan oleh masalah legal standing. Sehingga permohonan tidak diterima, dan pokok perkara tidak dipertimbangkan lebih lanjut oleh Mahkamah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judicial review, constitutional review atau Pengujian Undang-Undang (PUU) lahir dan dipraktikkan pertama kali di Eropa. Dasar pemikirannya adalah bagaimana pembentuk undang-undang “dipaksa” untuk taat atau patuh kepada konstitusi. Dalam negara demokrasi konstitusional, hal ini sangat mendasar agar UU  yang dibuat tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Selain karena secara historis dilatarbelakangi oleh munculnya krisis konstitusional dari negara-negara di Eropa yang baru mengalami transisi pemerintahan dari rezim pemerintahan otoriter menuju pemerintahan demokrasi. Sekaligus merupakan ekses dari perkembangan pemikiran hukum dan ketatanegaraan modern yang muncul pada abad ke-20 (Asshiddiqie, 2009).

Prinsip ini dinamakan prinsip konstitusionalitas hukum (constitutionality of law) yang merupakan syarat atau unsur utama paham negara hukum maupun demokrasi konstitusional. Dengan kata lain, judicial review merupakan mekanisme hukum yang menjamin bahwa setiap undang-undang dan peraturan perundang-undangan lain dibawahnya tidak bertentangan dengan konstitusi.

Salah satu syarat krusial, penting, dan menentukan dalam proses judicial review di Mahkamah Konstitusi (Mahkamah) adalah “kedudukan hukum Pemohon” atau legal standing. Syarat ini merupakan aspek aspek formil/prosedural yang akan diuji pertama kali oleh hakim Mahkamah untuk memutuskan apakah permohonan uji konstitusionalitas (judicial review) akan dilanjutkan, ditolak, dan/atau diterima. Setelah itu baru aspek materiil/substantial dari UU yang diuji. Tetapi, dalam beberapa kasus, keduanya diuji berbarengan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sejak dibentuk hingga sekarang, Mahkamah telah memutuskan 1.514 (45%) judicial review UU (PUU) atas UUD 1945. Dari jumlah tersebut, 1,130 (81.24%) permohonan ditolak, tidak dapat diterima, gugur, tidak berwenang, dan/atau ditarik Kembali; dan 284(18.76%) PUU dikabulkan/diterima oleh Mahkamah.

Persentase jumlah permohonan judicial review yang dinyatakan dikabulkan/diterima oleh Mahkamah memang hanya 18.76%. Namun, data ini menunjukkan ada persoalan yang perlu disikapi lebih serius oleh lembaga pembentuk UU, yaitu DPR (bersama Presiden) terkait aspek formil/procedural maupun materiil/substantial dari UU. Data berikut memperlihatkan bahwa kasus-kasus permohonan judicial review sejak tahun 2003 hingga 2022 masih cukup tinggi, dan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Jika hal ini terus terjadi, dikhawatirkan dapat menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap institusi legislatif.

Gambar 1. Grafik Jumlah Pengajuan Undang-Undang Tahun 2003--2022

 

Yang menarik untuk ditelisik, dari 81.24% judicial review yang ditolak/tidak diterima, dsb. sebanyak 503(44.5%) merupakan permohonan yang tidak diterima (niet ontvankelijke verklaard) oleh Mahkamah. Salah satunya disebabkan oleh persoalan kedudukan hukum (legal standing) para pemohon. Walaupun secara materiil permohonan tersebut mungkin saja bisa diadili lebih lanjut oleh Mahkamah.

Dalam keseluruhan kasus judicial review yang diajukan ke Mahkamah, kemampuan pemohon untuk menjelaskan dan menyakinkan para hakim konstitusi merupakan “conditio sine qua non”. Prasyarat mutlak apakah permohonan akan diteruskan atau tidak, sebelum mempertimbangkan lebih lanjut materi permohonan atau pokok perkara. Dari 100 sampel permohonan yang tidak diterima, dan karenanya tidak mempertimbangkan lebih lanjut pokok perkara, yang disebabkan oleh persoalan legal standing sebanyak 46(46%) permohonan. Selebihnya (54%) disebabkan persoalan substansi atau pokok perkara yang dianggap kabur, tidak jelas, tidak didukung bukti, sehingga Mahkamah menyatakan “tidak beralasan menurut hukum”.

Fakta ini menjelaskan kepada kita, bahwa legal standing bukan persoalan mudah. Karenanya, bisa dipahami jika masih banyak pemohon yang belum sepenuhnya mengerti makna dari “kedudukan hukum” (legal standing) dalam paradigma hukum Mahkamah. Padahal, mereka adalah warga negara yang melek hukum seperti dosen, ahli/konsultan hukum, advokat, pengurus parpol, warga negara Indonesia berpendidikan tinggi (profesor, doktor, dll.) politisi, anggota parlemen, dll.

Gambar 2. Grafik Putusan Undang-Undang (PUU)

 

Sepanjang Mahkamah menangani permohonan uji konstitusionalitas UU/Perpu (PUU atau judicial review), legal standing merupakan syarat formil-prosedural yang harus dipenuhi oleh setiap pemohon dalam beracara di Mahkamah. Khususnya dalam perkara pengujian UU/judicial review. Syarat formal ini terdapat di dalam UU 24/2003 pasal 51 (jo. UU 8/2011 dan UU 7/2020) tentang Mahkamah Konstitusi.

Legal standing” dalam konteks perkara Pengujian Undang-undang (PUU) atau judicial review adalah status dan kedudukan hukum pemohon (pihak) yang dinyatakan sah dan memenuhi syarat formil oleh hakim konstitusi menurut UU tentang Mahkamah Konstitusi. Menurut paradigma Mahkamah, legal standing tidak hanya terkait dengan “kualifikasi konstitusional” pemohon, sebagaimana tercantum di dalam UU tentang Mahkamah. Legal standing dalam paradigma Mahkamah juga harus mencakup dengan “kerugian konstitusional” pemohon.

Kedua pengertian legal standing tersebut, pertama kali diterapkan dan kemudian menjadi yurisprudensi bagi Mahkamah dalam setiap judicial review, sejak tahun 2005, melalui Putusan Mahkamah Nomor 006/PUU-III/2005, dan 11/PUU-V/2007. Kedua putusan Mahkamah tersebut menambahkan kemudian menjadi salah satu klausul dalam Peraturan Mahkamah 2/2021 psl. 4 ayat (2), dan menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh setiap pemohon yang akan mengajukan judicial review.

Pertama, kualifikasi konstitusional pemohon. Syarat ini merupakan syarat formil yang meniscayakan setiap pemohon memenuhi syarat, pertama, pemohon memiliki identitas diri yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud Pasal 51 UU 24/2003. Kedua, pemohon harus membuktikan bahwa dirinya memang mempunyai hak-hak tertentu yang dijamin atau kewenangan-kewenangan tertentu yang ditentukan dalam UUD 1945 (Asshiddiqie, 2006).

Pemohon yang dinyatakan sah memiliki dua syarat kualifikasi konstitusional adalah perorangan warga negara Indonesia; kesatuan masyarakat hukum adat; badan hukum publik atau privat; atau lembaga negara; serta apakah kualifikasi pemohon memiliki/tidak keterkaitan dengan dengan undang-undang yang dimohonkan untuk dilakukan judicial review.

Bagi Mahkamah, kualifikasi konstitusional ini memberikan jaminan konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 menjadi salah satu parameter terselenggaranya cita negara hukum sekaligus menjadi cerminan atas pengakuan prinsip kedaulatan rakyat, dimana undang-undang sebagai produk legislasi antara DPR dan Presiden dapat diuji konstitusionalitasnya melalui lembaga yudisial, sehingga warga negara dapat terlibat dan memberikan kontrol terhadap pelaksanaan sistem cheks and balances agar berjalan dengan baik dan efektif

Kedua, kerugian konstitusional pemohon. Syarat ini merupakan syarat materiil yang meniscayakan ada tidaknya kerugian konstitusional atas hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon sebagai akibat pemberlakuan undang-undang tersebut. Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus diuraikan secara jelas oleh pemohon dalam permohonan judicial review yang diajukan.

Kerugian (kepentingan) konstitusional, mencakup hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang (1) diberikan oleh UUD 1945; (2) dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujiannya; (3) bersifat spesifik (khusus) dan aktual, atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; (4) memiliki hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; dan (5) jika permohonan dikabulkan, kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi (Putusan Mahkamah 006/PUUIII/2005, 11/PUU-V/2007, dan Peraturan Mahkamah 2/2021 psl. 4 ayat (2)).

Secara terminologis, legal standing yang juga dikenal sebagai Ius Standi atau Standing to Sue atau Locus Standi dapat dilakukan, karena prinsip hukum di Indonesia menganut konsep hak gugat konvensional yang berhubungan dengan hajat hidup masyarakat atau public interest law. Prinsip legal standing ini tidak memungkinkan setiap orang berhak dan berwenang secara hukum mengajukan permohonan ke MK dan menjadi pemohon.

Hanya mereka yang memiliki kualifikasi, dan kerugian kepentingan hukum secara nyata dan langsung dan diatur di dalam konstitusi yang boleh dan sah. Mereka dapat bertindak atas dasar atau atas nama kepentingan masyarakat luas karena adanya pelanggaran hak-hak konstitusional yang dirugikan (hak-hak sipil, hak lingkungan hidup, perlindungan konsumen, hak politik, dll.) dengan berlakukan sebuah UU/Perpu.

Dalam hukum acara perdata dikenal adagium point d’interet point d’action, yaitu apabila ada kepentingan hukum boleh mengajukan gugatan. Standing atau personae standi in judicion adalah hak atau kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan atau permohonan di depan pengadilan. Dalam black’s Law Dictionary, standing disebut pula sebagai standing to sue yang diartikan sebagai: “A party’s right to make a legal claim or seek judicial enforcement of a duty or right.” (NYCourts.gov, Supreme Court)

Doktrin ini dikenal di Amerika, dan memiliki arti bahwa hanya pihak yang mempunyai kepentingan yang cukup dalam satu perselisihan yang dapat dituntut untuk mendapatkan keputusan pengadilan. Standing adalah satu konsep yang digunakan untuk menentukan apakah satu pihak terkena dampak secara cukup sehingga satu perselisihan diajukan ke depan pengadilan (Ramdan, 2014).

 

Tangsel, 30 April 2022

Ikuti tulisan menarik Mohammad Imam Farisi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB