x

Iklan

Elnado Legowo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 15 Juni 2022 17:40 WIB

Kengerian Keluarga Durbiska - Part 1

Vikal Danurbara memiliki pacar yang bernama Putri Durbiska, seorang putri dari keluarga terpandang, namun diselimuti oleh kisah-kisah menyeramkan dan perangai yang eksentrik. Setelah seminggu mereka berpacaran, Putri menderita suatu penyakit misterius yang membuat kehidupannya diikat erat oleh pihak keluarganya. Sampai pada suatu malam, Vikal mendapat sebuah surat undangan makan malam bersama keluarga Putri. Apa yang akan terjadi di sana?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Aku menikam tubuh pacarku, Putri Durbiska, sebanyak 10 kali. Dari pernyataan ini, aku juga ingin menegaskan bahwa aku tidak membunuhnya. Namun polisi menganggapku gila, sehingga mereka mengurungku di sel khusus peruntukan penjahat dalam gangguan jiwa, di Sanatorium Arcana, Jayaprasasti bagian utara.

Selama ini aku terus menceritakan kisah yang sama; kegilaan dari kisah-kisah liar yang tidak masuk akal; kepada orang-orang yang berusaha mengorek informasi tentang perihal yang sebenarnya terjadi; baik itu dari pihak keluarga, teman, penyelidik, hingga wartawan. Walaupun begitu, aku tidak marah atau tersinggung ketika mereka tidak mempercayaiku. Sebab polisi tidak menemukan bukti apapun di lokasi kejadian yang memperkuat ceritaku, selain jasad Putri bersama kedua orang tuanya yang mengenaskan. Walhasil, semua orang menganggap aku sedang mengarang lelucon mengerikan yang sensasional.

Bahkan aku sempat bertanya kepada diriku sendiri; mengenai peristiwa yang kualami; sekaligus kegilaan yang telah kulakukan. Namun pada akhirnya, itu tetap membuatku yakin pada pernyataan awalku, bahwa aku tidak membunuh Putri, melainkan mengakhiri teror menyeramkan yang tidak terbayangkan oleh seluruh umat manusia. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

****

Awalnya tidak ada yang istimewa dari kehidupanku sebagai seorang mahasiswa Ilmu Sosial dan Budaya di Kampus Dharmasraya, di sebuah kota kuno yang terletak di wilayah Banten, sekaligus berbatasan dengan Jakarta Barat, bernama Kota Jayaprasasti. Kota itu tampak indah secara visual, tapi memiliki atmosfer yang muram dan mengerikan. 

Konon Kota Jayaprasasti berdiri di atas tanah yang dikutuk oleh para penyihir era Kerajaan Majapahit, sekaligus tempat pembuangan iblis maupun sebaliknya. Para penduduk di sana meyakini adanya jiwa-jiwa jahat yang mengintai dari balik kegelapan, dan terkadang mereka menerobos masuk ke dalam kehidupan kita. Jika itu terjadi, orang yang bijak harus bertindak sebelum memperhitungkan konsekuensinya.

Di kampus itulah aku bertemu Putri, seorang gadis manis yang dipenuhi ide-ide fantastis, sehingga membuatnya populer di jurusannya. Dia berasal dari keluarga terpandang di Jayaprasasti, namun mereka memiliki perangai yang eksentrik, sehingga membuat sebagian besar orang menghindarinya. 

Kesuksesan finansial dan kenaikan status Keluarga Durbiska terjadi secara mendadak, sehingga membuat orang-orang menaruh wasangka kepada mereka. Belum lagi munculnya kabar bahwa salah satu anggota Keluarga Durbiska memiliki ilmu magis yang mampu menciptakan keajaiban yang membingungkan. Walhasil banyak orang yang menganggap mereka sebagai keluarga penyihir. Bahkan semua hewan juga tidak menyukai orang-orang di dalam Keluarga Durbiska - kecuali Putri - dan sering membuat anjing-anjing melolong dengan gerakan tertentu setiap kali berada di dekat mereka.

Kengerian dari Keluarga Durbiska tidak sampai di situ saja. Keluarga Durbiska tinggal di sebuah rumah yang besar dan impresif, namun terkesan muram dan menyeramkan bagaikan rumah-rumah besar di cerita fiksi horor era Romantisme. Berdasarkan cerita-cerita dari kerabat dan para warga, aku mulai paham mengapa mereka sangat menghindari rumah itu.

Semua dimulai dari kesaksian para pejalan kaki yang sedang melintasi rumah Keluarga Durbiska di malam-malam tertentu. Mereka bersaksi bahwa kerap melihat satu atau lebih objek aneh - tampak seperti benda organik yang asing - di sekitar rumah Keluarga Durbiska. Benda-benda itu sering diceritakan sedang berjalan; berterbangan; merangkak; hingga menghilang secara gaib di depan mata mereka. Para saksi mata tidak dapat mendeskripsikan lebih daripada itu, karena mereka terlalu takut untuk mendekati maupun mengamatinya lebih lama.

Belum lagi dengan jendela loteng yang sering terbuka dan tertutup dengan sendirinya; sekaligus tampak beberapa bayangan hitam sedang mengawasi para pejalan kaki dari balik kegelapan. Ditambah dengan suara-suara aneh - terdengar seperti suara kidung atau jampi dengan bahasa yang sulit dimengerti - seakan bukan suara dan bahasa manusia pada umumnya. Suara-suara itu datang entah dari mana, namun bersumber dari area rumah Keluarga Durbiska.

Para warga Jayaprasasti ingin sekali mengusir Keluarga Durbiska dari lingkungan mereka, akibat aktivitas dan penampakan ganjil yang meresahkan. Namun sayangnya, Keluarga Durbiska memiliki status sosial yang tinggi; peran penting dalam perekonomian Kota Jayaprasasti; sekaligus kedekatannya dengan tokoh-tokoh pemerintah daerah; sehingga membuat mereka tidak tersentuh.

Meski Keluarga Durbiska diselimuti oleh cerita-cerita mengerikan, tapi Putri memiliki karakter yang berbeda - lebih harmonis dan tampak kalis - seolah dia hanyalah satu-satunya orang yang paling normal daripada anggota keluarga lainnya. Walaupun begitu, masih banyak orang-orang yang menjauhi Putri, meski beberapa di antara mereka masih ada yang berusaha untuk menghormati dan berinteraksi dengannya. 

****

Pada awalnya hubunganku dengan Putri hanya sebatas teman. Namun hari demi hari hubungan kami makin mesra, hingga akhirnya kami menjadi sepasang kekasih. Selama berpacaran, Putri sangat tertutup dengan kisah keluarganya. Bahkan dia juga melarangku untuk mengunjungi rumahnya. Alhasil aku belum pernah melihat rumah Putri secara langsung dan hanya mendengar dari mulut orang-orang di sekitarku.

Setelah seminggu kami menjalani hubungan, seketika Putri dikabarkan terkena suatu penyakit, sehingga membuat kehidupannya diikat erat oleh pihak keluarganya. Mereka tidak pernah mengizinkan Putri keluar tanpa perawatan dan pengawasan yang luar biasa ketat, sehingga dia tidak dapat beraktivitas di kampus, termasuk meluangkan waktu bersamaku dan teman-temannya.

Keluarga Durbiska juga menolak untuk menjelaskan penyakit yang diderita Putri. Mereka sangat membatasi komunikasi, termasuk melarang orang-orang - termasuk aku - untuk menjenguknya. Walhasil, sejak itulah aku mulai menjalani hidup yang secara perlahan menjadi lebih murung, tidak bergairah, sekaligus tersiksa oleh kekhawatiran dan ketidaktahuan. Sampai pada suatu tengah malam - sesudah tiga minggu Putri sakit - kengerian datang kepadaku dengan cara yang tidak terduga.

Secara mendadak aku terbangung akibat suara ketukan pintu kamar indekosku; sekaligus bau busuk yang menyembur masuk ke dalam kamar. Itu sesuatu hal yang tidak biasa, sehingga aku merasa ada keganjilan yang menakutkan. Lantas aku segera bangkit dari kasur dan mendekati pintu kamar indekos.

"Siapa itu?" tanyaku.

"Hssshh... Hssshh... Hssshh..." itulah suara aneh yang terdengar dari balik pintu kamar indekos.

"Aku tidak bisa mendengarmu! Coba katakan sekali lagi!" ujarku.

"Hssshh... Hssshh... Hssshh..." suara itu membalasku.

Seketika aku kehilangan nyaliku untuk membuka pintu kamar. Seakan-akan intuisiku mengatakan ada sesuatu yang tidak benar di balik pintu itu.

"Jika kamu tidak punya keperluan, tolong pergi! Jangan ganggu aku!"

"Hssshh... Hssshh... Hssshh..." suara itu kembali membalasku, sembari menyelipkan sebuah kertas daluang buram yang terlipat teratur, di sela bagian bawah pintu kamar.

Lalu dengan penasaran, aku segera meraih kertas itu dan membukanya. Ternyata itu adalah sebuah surat undangan makan malam bersama Keluarga Durbiska yang ditulis tangan dengan tinta hitam pekat. Arkian aku segera membuka pintu kamar, namun aku tidak menemukan siapa-siapa, selain jejak-jejak aneh dan berbau busuk - terbuat dari lendir - di lantai dan mengarah ke pintu keluar indekos.

****

Saat di malam yang telah ditentukan, aku pergi ke rumah Keluarga Durbiska seorang diri. Ini adalah pertama kali aku datang ke rumah Putri, sehingga menjadikan sebuah pengalaman yang mengerikan di luar konsepsiku, terutama saat menyaksikan desain rumahnya secara langsung.

Sesampai di pintu gerbang, aku disambut oleh empat makhluk kerdil, aneh, berpunuk, dan berbau busuk yang tidak tertahankan, sampai-sampai aku hampir bersujud untuk menahan muntah. Mereka memakai mantel panjang yang tampak seperti jas hujan - berwarna hijau gelap - dengan bagian bawahnya menyentuh tanah; lengan bajunya digulung ke belakang, tapi masih menutupi kedua tangannya; di kepalanya ada topi bungkuk hitam petani yang ditarik ke bawah; sedangkan wajahnya ditutupi syal yang dekil.

Makhluk-makhluk kerdil itu menuntunku dari pagar menuju pintu utama rumah. Selama di perjalanan, mereka terus menerus mengeluarkan suara semi pipa bobrok yang akrab di telingaku. Alhasil tidak butuh waktu lama bagiku untuk mengenali mereka sebagai pengirim surat undangan.

Setiba di depan pintu utama rumah, aku segera di sambut oleh seorang pria pucat, seperti Gargoyle yang terinfeksi oleh kegilaan kosmis. 

"Selamat malam, jika aku tidak salah, kamu pasti Vikal?" tanya pria itu dengan nada datar dan dingin.

"Iya, benar. Namaku Vikal. Vikal Danurbara." jawabku berusaha menutupi kengerian yang terus mengikutiku sedari awal tiba di depan rumahnya.

"Baiklah. Perkenalkan, aku adalah Jiwatma. Ayah Putri." jawabnya, "Masuklah! Anggap seperti rumahmu sendiri!"

Lantas aku segera masuk ke dalam rumah, sedangkan empat makhluk kerdil itu berpisah denganku di depan pintu utama.

Sesudah masuk ke dalam rumah, aku mendapati sebuah tempat yang lembap, bau, dan tidak higienis. Terlebih lagi lampu-lampu ruangan tidak bersinar secara maksimal, sehingga penerangan agak redup. Seolah-olah tempat ini lebih mirip rumah hantu di tengah rawa angker. Perihal itu sangat berbanding terbalik dengan status sosial mereka sebagai keluarga terpandang. Sempat terpikir di benakku, bagaimana Putri bisa tinggal di tempat seperti ini?

Dengan tingkah seperti hantu pucat, Jiwatma mengantarku ke sebuah ruangan yang terletak di perut rumah, sambil bercerita tentang sejarah kesuksesan Keluarga Durbiska yang memotivasi, tapi klise dan distorsi. Jiwatma mengatakan bahwa dulu mereka hanyalah pengusaha tekstil kecil di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Namun pada suatu kesempatan dengan alasan yang tidak dijelaskan secara rinci, mereka memutuskan untuk pindah ke Kota Jayaprasasti. Di tempat itulah, berkat usaha keras, akhirnya mereka bisa menjadi sukses seperti sekarang. Status sosial mereka mencuar. Bahkan mereka juga mulai aktif dalam kegiatan ekonomi, sosial, dan politik di Kota Jayaprasasti.

Setelah melalui lorong tiap lorong dengan penuh cerita-cerita fantastis, akhirnya kami sampai di sebuah ruang makan yang luas. Di sana ada seorang perempuan bergaun hitam yang sedang menunggu kedatangan kami. Perempuan itu memiliki rambut hitam panjang yang terurai; berkulit pucat; memiliki sepasang mata yang lebar dan berwarna ungu kecubung; sehingga tampak menakutkan dan tidak nyaman untuk ditatap.

"Perkenalkan, namaku Aliviyah." ujarnya dengan nada dingin merindingkan, "Kamu pasti Vikal, pacar Putri?"

"Betul, tante." jawabku singkat menahan gemetar.

Lantas dia segera mempersilahkanku untuk duduk di bangku meja makan. Tidak lama kemudian, masuklah beberapa makhluk-makhluk kerdil - yang kutemui di halaman depan rumah - ke dalam ruang makan. Mereka bertingkah selayaknya pelayan rumah, sambil membawa hidangan makan malam, yaitu ayam bakar dan sebotol air mineral. 

Sebagai anak indekos yang berusaha hidup hemat; sehingga hanya mengonsumsi mie gelas instan dan gorengan; hidangan seperti itu terlihat mewah bagiku. Namun kondisi ruangan serta aroma busuk dari tubuh pelayan kerdil terkutuk - yang berdiri di tiap sudut ruangan - malah merusak nafsu makanku. 

Seketika perasaan tidak nyaman itu lenyap setelah ingatanku kembali pada Putri, sehingga secara impulsif aku bertanya;

"Permisi om dan tante. Kalau aku boleh tahu, apakah keadaan Putri baik-baik saja?"

"Dia tidak bisa dibilang baik, tapi tidak terlalu buruk." jawab Aliviyah, "Dia hanya butuh istirahat untuk beberapa waktu terakhir. Tetapi tenang, kamu akan segera bertemu dengannya."

Sesudah dari itu, Jiwatma membujukku untuk segera menyantap hidangan yang telah disajikan. Alhasil kuusahakan untuk menyantap hidangan tersebut, meski rasa mual telah mengocok perutku. Di tengah perasaan yang tidak nyaman itu, secara mendadak aliran listrik menjadi padam. Kejadian itu berhasil membuat seisi ruangan terkesiap dan Aliviyah menjadi geram. Lantas dia memberi perintah ke sebagian pelayan kerdilnya untuk memeriksa aliran listrik, sedangkan sebagiannya lagi untuk segera membawakan beberapa batang lilin menyala.  

Di waktu yang sama, aku meminta izin kepada Aliviyah dan Jiwatma untuk pergi ke kamar kecil. Tampaknya aku sudah tidak sanggup menahan mual.

"Baiklah, tapi jangan lama-lama." ujar Aliviyah, "Akan kuminta salah satu dari pelayanku untuk menemanimu, agar kamu tidak tersesat."

Lekas aku pergi keluar dari ruang makan dan melaju ke kamar kecil. Aku hanya bisa melangkah; menyusuri lorong yang gelap; ditemani oleh pelayan kerdil yang menuntunku dari depan; seakan aku sedang bermimpi buruk.

Tiba-tiba aku melihat sebuah bayangan putih muncul di hadapanku dan menyerang pelayan kerdil di depanku, sehingga dia terjatuh dan tidak sadarkan diri. Lalu bayangan putih itu segera menarik tubuhku dengan paksa, demi masuk ke dalam salah satu ruangan yang aku tidak tahu secara jelas tempat apa itu. 

"Vikal! Ngapain kamu di sini?" tanya bayangan putih itu dengan penuh kehati-hatian.

Sontak aku tergemap saat mendengar suara tersebut, sebab aku merasa tidak asing dengannya. Dugaanku menguat, setelah cahaya lampu jalan yang samar menerobos masuk ke dalam ruangan melalui jendela besar; alhasil menerangi seisi ruangan secara redup; serta sedikit memperjelas rupa dari bayangan putih tersebut. Dia adalah Putri! 

Rasa mualku hilang seketika, dan berubah jadi rasa rindu. Namun aku mendapati keganjilan; bahwa Putri tampak sehat dan tidak terlihat sedang mengidap suatu penyakit apapun yang membutuhkan perawatan khusus. Hanya kulitnya sedikit lebih pucat, akibat tidak terkena sinar matahari untuk waktu yang cukup lama. Kini dia telah didandani sedemikian rupa - selayaknya seorang pengantin - dan mengenakan gaun sutra putih.

"Bukankah kamu sedang sakit?" tanyaku.

Tetapi Putri tidak menghiraukan pertanyaanku dan berkata;

"Kurasa kamu mengira aku sedang berbohong atau sudah gila, tapi kita harus segera pergi dari rumah ini!" 

"A... Apa maksudmu?"

Lantas wajah Putri menjadi distorsi, dan dia membungkuk tidak nyaman di depan wajahku.

"Kamu diundang makan malam di sini... untuk dijadikan tumbal. Tumbal ritual! Kamu... dan aku... akan dijadikan tumbal di malam ini! Demi Tuhan, Vikal! Kita harus segera keluar dari rumah terkutuk ini!" 

****

Ikuti tulisan menarik Elnado Legowo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu