Aktif dalam menulis cerita fiksi dan opini.

Tidak Hanya Pemerintah, Rakyat Juga Perlu Diperbaiki

4 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Koruptor
Iklan

Pemerintah adalah cerminan rakyatnya. Jika rakyatnya benar dan bijak, maka akan melahirkan pejabat pemerintah yang tidak korup.

***

Akhir-akhir ini kita sering ditontonkan oleh tingkah laku para pejabat pilihan rakyat yang arogan, tidak punya empati, tidak paham dengan keadaan sosial, hingga gemar membuat kebijakan-kebijakan yang blunder. Sampai-sampai menciptakan kemarahan rakyat yang berujung pada demonstrasi besar pada akhir Agustus kemarin.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Akan tetapi, pernah tidak kita berpikir sejenak, bahwa semua ini berasal dari pilihan kita yang tidak cermat saat pemilu tahun lalu? Dimana kita terjebak oleh program-program yang tidak realistis dan cenderung populis, branding pejabat kita yang dangkal, hingga mudah disuap oleh bansos (bantuan sosial) dan BLT (Bantuan Langsung Tunai)? Ini adalah dampak nyata dari praktik jual-beli suara yang sangat merusak, tapi sudah dianggap lazim di kalangan akar-rumput.

Pada menjelang akhir tahun lalu sebelum pilkada, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) bersama UNODC (United Nation Office in Drugs and Crime) menyelenggarakan kampanye “Hajar Serangan Fajar” yang bertujuan menolak politik uang. Acara ini dikhususkan untuk anak-anak muda Indonesia, dan dihadiri dari berbagai daerah.

Selama acara berlangsung, banyak dari peserta yang memberi kesaksian bahwa setiap kampanye rakyat di daerah justru menanti dan menagih serangan fajar dalam bentuk bansos maupun BLT kepada kontestan pemilu. Bahkan, mereka juga berani menolak suvenir jika itu tidak sesuai dengan keinginan mereka. Walhasil, ada banyak calon pemerintah daerah yang sebetulnya kompeten, tapi kalah sama calon lain yang tidak jelas asal-usul maupun program kerjanya.

Menurut dari para peserta, fenomena tersebut sangatlah umum terjadi belakangan ini. Penyebabnya adalah banyak masyarakat, terutama di daerah pelosok dan luar pulau Jawa, yang tidak paham arti serangan fajar dan bahayanya. Permasalahan ini disebabkan oleh berbagai macam faktor seperti sosialisasi yang tidak merata, penegakan hukum yang lemah, edukasi yang gagal, dan akses internet yang tidak menyeluruh.

Di pemilu 2024 kemarin, mayoritas dari rakyat kita masih sangat mudah kemakan oleh gimmick murahan, seperti joget gemoy dan usia yang masih muda, yang sebetulnya tidak pantas dijadikan orientasi dalam memilih pemimpin apalagi pemimpin negara. Terlebih lagi, masih banyak rakyat kita yang memilih karena fomo (Fear of Missing Out), merasa kasihan terhadap salah satu kandidat yang konsisten kalah pemilu, termakan propaganda playing victim di media sosial, hingga janji-janji manis yang sebetulnya tidak rasional.

Pada akhirnya banyak dari kita sadar bahwa semua itu hanya manipulasi media sosial untuk kepentingan kampanye saja. Ketika mereka sudah menjabat, mereka jadi lupa diri dan gemar membuat kebijakan secara asal. Seperti kebijakan LPG 3 kg, pemblokiran rekening oleh PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), kenaikan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) 12%, kenaikan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan), pemberian pajak ke setiap sektor, hingga program MBG (Makan Siang Bergizi Gratis) yang sering dianggap akar dari semua kekacauan yang terjadi belakangan ini.

Sedangkan janji-janji kampanye juga tidak terealisasi, seperti 19 juta lowongan pekerjaan. Dengan pertumbuhan ekonomi saat ini, maksimal hanya sekitar 3 juta lapangan kerja baru yang bisa tercipta dalam lima tahun, jauh dari angka bombastis yang dijanjikan (detikfinance, 7 Juni 2025). Walau janji tersebut sangat manis dan banyak rakyat yang tergoda, pada akhirnya janji itu hanyalah mimpi kosong manipulatif demi menarik suara untuk kepentingan elektoral.

Program MBG juga jadi sorotan, karena dinilai sebagai program yang paling tidak rasional sekaligus kontroversial sejak kampanye pemilu. Program ini juga memberi dampak yang sangat buruk seperti pemborosan anggaran; manajemen yang buruk sampai menyebabkan keracunan massal; menciptakan efisiensi yang tidak proporsional dan mengorbankan anggaran di sektor lain, seperti pembangunan ekonomi dan mutu pendidikan; hingga peluang terjadinya praktik korupsi seperti kasus korupsi bansos yang terjadi saat pandemi lalu.

Meski program MBG ini tidak rasional dan mendapat banyak kritik dari berbagai kalangan, pada nyatanya mayoritas rakyat lebih tertarik dengan program tersebut. Akibatnya kita sudah bisa merasakan dampaknya saat ini seperti keracunan massal (BBC News Indonesia, 25 Juni 2025), efisiensi yang mengakibatkan phk (Pemutusan Hubungan Kerja) di berbagai sektor (News UMS, 21 Februari 2025), hingga kenaikan pajak (DDTC News, 26 Juni 2025). 

Alih-alih mendengar kritik, keluhan, maupun saran dari rakyat, pemerintah justru terkesan tutup telinga dan mata sambil memberi stempel negatif kepada mereka seperti tukang nyinyir, antek asing, provokator, dan sebagainya. Walau sangat kekanak-kanakan dan menjengkelkan, tapi jika teringat semasa pemilu lalu, ada banyak rakyat yang melakukan hal serupa terhadap pihak-pihak yang mengkritisi dan mempertanyakan program MBG. 

Meski ada juga faktor lain yang terjadi saat pemilu kemarin—seperti pengerahan ASN (Aparatur Sipil Negara) secara masif untuk berpihak kepada salah satu kandidat, menteri boleh berkampanye tanpa harus cuti, dan juri yang terkesan tidak netral—tapi peran rakyat juga signifikan dalam memenangkan salah satu kandidat yang tidak kompeten. 

Ini bukan masalah belum move-on dari pemilu atau suara bising dari kubu yang kalah! Tetapi peristiwa ini sudah seharusnya jadi pembelajaran bagi kita, bahwa memilih pemimpin bukan berdasarkan programnya bisa berakibat fatal seperti saat ini. Bahkan dampaknya bisa sangat merusak dan memiliki jangka panjang.

Salah satu hal yang bisa kita lakukan adalah mengedukasi masyarakat kita secara merata dan lebih luas. Jika mengingat perkataan dari peserta di kampanye “Hajar Serangan Fajar”, banyak dari rakyat kita terutama yang tinggal di pelosok dan luar pulau Jawa, kurang mendapat edukasi atau sosialisasi yang memadai soal arti dari serangan fajar sekaligus bahayanya secara langsung terhadap kehidupan mereka. Ada beberapa pihak dari instansi pemerintah yang pernah mensosialisasikannya, tapi sayangnya tidak komprehensif atau terlalu teknis, sehingga pesannya jadi sulit ditangkap secara baik.

Oleh karena itu, sudah menjadi bagian dari tugas kita untuk mengedukasi dan memperbaiki dari akar rumput. Agar pemilu 2029 mendatang kita bisa memperbaiki kerusakan demokrasi pada pemilu sebelumnya, sekaligus bisa melahirkan pemimpin yang kompeten dan tidak menciptakan kebijakan-kebijakan ngawur yang menyengsarakan rakyat.

Jika kita tidak berusaha memperbaiki dari akar rumput dengan cara mengedukasi rakyat kita, maka pemilu 2024 beserta peristiwa sesudahnya bakal terulang di masa mendatang, seperti siklus atau lingkaran setan. Dan tentunya, impian Indonesia Emas 2045 hanya akan menjadi ilusi belaka.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler