Kukus

Senin, 8 Agustus 2022 06:53 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di sini, “kukus” bisa jadi sebagai sistem ikhtiar memaknai bunyi yang arbitrer dari ragam pertahanan, bahwa pada yang muasal, tradisi budaya bersifat lentur, sedangkan apa yang dipercaya sebagai yang “hilang” hanyalah rangka lain tentang bagaimana pikiran memainkan imajinasinya sebagai desain.

Kukus”, sebuah kosakata yang saat ini mengunci pikiran saya di hari Minggu. Namun, banyaknya pengertian “kukus”, yang bahkan merujuk pada beberapa tilas-kubur di legenda Tritunggal menjadi penanda suatu bahasa yang “hilang”. Samar-samar, Fenisia/Phoenicia dalam “kuno/arkais/archaic membawa saya ke dalam bahasa Melayu. Mungkin, ada jawab di didih vulkan. Pertanyaan kembali membuih di dalam pikiran. Bagaimana adagio Melayu sebagai budaya bahasa?”

Bisa jadi, ini hanya sebuah Rakata sebagai bacaan terbaru atas terputusnya peradaban manusia. Bisa jadi, ini hanya sepenggal Persia sebagai romantika kebudyaan manusia. Bisa jadi, ini hanya tentang samarnya asaka yang menjadikan pengetahuan menatap absurdnya kias-kias dalam fenomena hidup manusia. Segalanya, memang hanyalah tentang kemungkinan dan ketidakmungkinan. Begitu pula yang dituliskan dalam manuskrip-manuskrip keragaman tentang tradisi sesuai geografinya.

Ada kukus yang tukar lebur individualitas sebelum jamak dalam kukus kawah candradimuka.

Tiba-tiba saja saya kembali diingatkan pada manuskrip hortikultura, suatu manuskrip tentang tradisi budaya manusia melalui tubuhnya sendiri untuk kedirian secara detail dari segala hal yang ihwal. Di sini, “kukus” bisa jadi sebagai sistem ikhtiar memaknai bunyi yang arbitrer dari ragam pertahanan, bahwa pada yang muasal, tradisi budaya bersifat lentur, sedangkan apa yang dipercaya sebagai yang “hilang” hanyalah rangka lain tentang bagaimana pikiran memainkan imajinasinya sebagai desain.

"Things have a tendency to go missing in the storeroom, and after a certain amount of time they sell things off, whether the case involved has come to an end or not. And cases like this can last a long time, especially the ones that have been coming up lately. They'd give you the money they got for them, but it wouldn't be very much as it's not what they're offered for them when they sell them that counts, it's how much they get slipped on the side, and things like that lose their value anyway when they get passed on from hand to hand, year after year." [The Trial - Franz Kafka] Di sini, matter of course dari teropong tuma skolastik/scholastic tentang nuansa lentur dalam tubuh dan pikiran.

Bagaimanapun, yang alami/natural bukanlah tentang kependudukan hingga pemikiran, sebab segala madera menyusun gerak lentur sebagai desain kebudayaaan hibrida. Namun, seringkali, linimasa tersapu sia-sia saat “ada” berarti menjadi “diri/jiwa/egoist/the self/der einzige”, yang takkan dapat “hilang” sebagai daya hidup, sebelum mati memandu liang lahat. Dan ini, mengingatkan saya pada “kukus” puisi dan “ada” di sekitar tahun duaribu duabelas berjudul Tentang Maut, dari Goenawan Mohamad.

 

Di ujung bait itu mulai tampak sebuah titik

yang kemudian runtuh, 5 menit setelah itu.

 

Di ujung ruang itu mulai tampak sederet jari

yang ingin memungutnya kembali.

 

Tapi mungkin

itu tak akan pernah terjadi.

 

Ini jam yang amat biasa: Maut memarkir keretanya

di ujung gang dan berjalan tak menentu.

 

Langkahnya tak seperti yang kau bayangkan: tak ada

gempa, tak ada hujan asam, tak ada parit

yang meluap.

 

Hanya sebuah sajak, seperti kabel yang putus.

 

Atau hampir putus.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Okty Budiati

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Gremet-gremet Waton Slamet

Kamis, 23 Maret 2023 06:15 WIB
img-content

Musim Masa

Kamis, 5 Januari 2023 19:28 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler