x

Iklan

Okty Budiati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 Juli 2022

Kamis, 23 Maret 2023 06:15 WIB

Gremet-gremet Waton Slamet

Menatap jauhnya langit yang memikat harapan, atau menikmati sebuah mangga bersama kawan-kawan, atau menyeka peluh paska berlarian sebelum pulang mendapatkan hukuman, mandi. Namun, itulah artifisial atas bonang di mana pendidikan, pekerjaan, bahkan status sosial bukanlah kemutlakan selain perjanjian dan percaya jalan hidup. Di sini, suatu strategi countersocialism juga seakan luput.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Komunikasi, konektivitas, kontemplasi, menjadi tiga langkah yang dapat dikatakan sebagai bentuk aktif dari wujud nyata individualitas. Tiga hal ini memang tampak begitu sepele, bahkan seringkali menjadi tumpukan barang bekas yang tertata di gudang atau koleksi tong sampah yang telah siap menjadi abu dan hilang. Sementara siklus yang demikian kompleks itu telah membawa saya pada pemahaman lain tentang bagaimana cara memahami suatu makna konektivitas dalam bersosial.

Saya akan lebih antusias menyebutnya dengan istilah “bonang” ketimbang “mutual”, yang mungkin ini akan tetap menjadi bentuk pengingat diri saya bahwa saya berasal dari dunia seni pertunjukkan. Hal yang akan selalu membawa saya pulang, mengingat, dan tersenyum lega; “saya melihat proses kreatif getar komunikasi dalam seni pertunjukkan atau saya sebut; vibrasi yang berbunyi.”

Saya mengakui, bahwa diri ini cukuplah minim untuk dapat memahami seni musik, namun di dalam setiap gaya serta daya pada seni pertunjukkan, aktifnya ragam wujud individualits akan menentukan refleksi kerjasama antara individu maupun komuni/kelompok. Interaksi individu sebagai personal sekaligus sosial bukanlah sesederhana catatan-catatan yang hadir terangkai indah di teori-teori baku yang seringkali menjebak semunya ingatan pikiran ke dalam kebekuan proses jalan hidup.

Bisa saja, semua itu menjadi seindah perjalanan proses yang diharapkan, namun, interaksi menjadi cara lain dalam menerima ilmu yang bersifat “kepemilikan” bagi individualitas atas hadirnya diri sendiri, bagi saya, inilah wujud “hidayah. Hidayah/petunjuk menjadi cara lain memasuki gerbang proses kontemplasi sebagai nilai tawar yang bersifat indi/ego/diri tentang refleksi personal ke jalan yang bercabang, yang demikian kontras; bijak atau ceroboh.

Pertanyaan saya:

Sejauh apakah kita menerima pengalaman sebagai proses jalan hidup?

Semampu apakah kita menjadi bijak dalam membaca tanpa tebang kasih?

*

Interaksi sosial dalam budaya digital “remote atau mengenali area yang bersebrangan” tidak lagi membangun pembeda dengan ragam ruang, yang secara artifisial juga tidak adanya batas pasti dari keberadaan individu, ini menjadi tantangan menuju kebudayaan masa depan. Sesungguhnya, di sini, individu (manusia) mendapatkan hak istimewanya atas kelengkapan proses hidup, sebagai praktek melatih spirit, sebagai bentuk pendidikan tentang ilmu alam tanpa batas fisik serta psikis.

Penyatuan dalam laku “dualisme” ini tentunya, menjadi proses hidup, yang tidak akan semudah kita bersekolah di ruang akademik dengan kelulusan khusus untuk mendapatkan ijasah.

Maka, “moral” dan “janji” menjadi proses laku personal dari setiap individu yang tidak akan pernah menemukan bahkan memiliki hakim pasti selain tentang “yakin”. Tantangannya, apakah saya benar-benar percaya pada proses hidup?

Ini sungguh bentuk dilema yang sangat tragis, bahwa mengerti/mengetahui bukanlah jawaban pasti akan memahami proses jalan hidup. Serta, bahasa komunikasi sebagai praktek pertemanan di ruang digital dalam bersosial belum memiliki strategi pertahanan yang mengutamakan pelatihan tentang menjadi bijak atau ceroboh. Bahasa ini belumlah tuntas, dan kita semua dengan gagahnya keras kepala berjalan mati suri untuk suatu great reset yang belum juga menemukan penawarnya.

yang memecah nurani dalam duka

kepedihan apa laman pengindah di sini

Aku tak berada bertutur selain jarak bagimu

memaklumi kesedihan ufuk tertanggung

pada patahan celaka sebelum hujan

 

di tepian sajak membelah tandus

berima lembayung pada jejak tirus

begitu lirih air terjatuh mematah siku

 

tarum sutra kembang; wanantara

memangku konversi di seléndro

hening menggetar murda buwana

awan kemawan apung singanagara

srantèn gelombang temayun mardika

 

tutur lingsir di luhur gunung

ungkap seseorang sambil layu

mungkin saja lalambaran pamali

mungkin saja pangguruan sruwa

dan, engkau hambur tumpul...”

*

Pada akhirnya, satu-satunya hal yang paling mendasar, yang telah sanggup mengingatkan saya atas proses hidup bukanlah tentang permainan catur ataupun strategi menempatkan dadu di lembar dasar desain ular tangga, namun bagaimana memegang ketapel atau menggunakan “kepemilikan” atas diri sendiri (anatomi tubuh) dengan latihan memanjat pohon mangga tetangga yang seringkali menjadi dilematis antara legal dan ilegalnya bermain. Namun sebuah layang-layang tidak berbeda dengan suatu mimpi atas harapan akan masa depan tanpa kehilangan lembarnya.

Menatap jauhnya langit yang memikat harapan, atau menikmati sebuah mangga bersama kawan-kawan, atau menyeka peluh paska berlarian sebelum pulang mendapatkan hukuman, mandi. Namun, itulah artifisial atas bonang di mana pendidikan, pekerjaan, bahkan status sosial bukanlah kemutlakan selain perjanjian dan percaya jalan hidup. Di sini, suatu strategi countersocialism juga seakan luput dalam melatih penerimaan diri sendiri untuk kesanggupan melihat hingga menatap tanpa getar goyah atas kukuh W.E.I.R.D yang tidak lebih penyeimbang kompleksnya dualisme.

Kepada para pemikir strategi intelejensia:

Hidayah mungkin tidak serupa kilau berlian atau megahnya arsitektur hybrid. Hanya saja...

Anda semua beserta saya, tetaplah, manusia.”

Ha bagi angèstokakên anêtêpi bèrbudi bawalaksana dalam gremet-gremet waton slamet.

 

 

--- Jakarta, 22 Maret 2023

selamat menunaikan ibadah ramadhan

Ikuti tulisan menarik Okty Budiati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler