x

Danarto 2

Iklan

atmojo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 30 Agustus 2022 17:52 WIB

Dua Cerpen Danarto: Manunggaling Kawulo Gusti

Dua cerpen Danarto, Asmaradana dan Kecubung Pengasihan yang mengggambarkan kerinduan manusia pada Tuhannya. Panteisme dan Kebatinan Jawa cukup membantu dalam memahami karya-karya Danarto yang mistis.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebagian dari kita mungkin menganggap kematian sebagai proses alami atau biologis biasa: lahir, dewasa, tua, dan mati. Barangkali kita juga jarang mengajukan pertanyaan-pertanyaan penting seputar jiwa dan kematian. Misalnya, apakah jiwa manusia itu bersifat kekal? Apa hubungan antara jiwa dan badan, dan bagaimana kalau badan tersebut hancur? Dia lepas begitu saja dan tetap utuh? Di mana jiwa berada sesudah kematian? Melayang-layang di udara? Apakah kematian itu sebuah akhir atau sebuah permulaan kehidupan? Buat yang percaya adanya Tuhan, apakah sesudah kematian roh langsung bertemu dengan Tuhan? Atau harus menunggu bertemu secara bersama-sama di hari kiamat nanti? Anda tentu bisa menambah-nambah sendiri pertanyaan berikutnya.

Dari dunia Barat, baik teolog maupun filosof, sejak lama berusaha membuat argumentasi seputar jiwa, badan, dan kematian ini.  Plato, misalnya, dalam Phaedo mencoba meyakinkan kita tentang kekekalan jiwa. Pada Abad Pertengahan, hampir semua penganut filsafat skolastik  mengakui kekekalan jiwa. Pada saat itu filsafat agama memang dominan. Pada zaman modern, beberapa filosof seperti Descartes, Leibniz, Maine de Biran, Ravaisson-Mollien, dan lain-lain bisa dibilang mengakui kekekalan jiwa itu. Tetapi bagi para penganut materialisme – juga sebagian penganut panteisme dan idealisme -- sudah barang tentu menolak kekekalan jiwa. Bagi mereka, perbedaan antara pribadi-pribadi orang di dunia ini disebabkan oleh kesadaran inderawi saja. Maka, sesudah kematian, kesadaran itu menghilang dan kepribadian itu juga menghilang. Itu artinya jiwa juga menghilang. Di zaman kini, para penganut ateisme yang makin lama tampak makin membesar itu,  tentunya juga tidak mengakui adanya kekekalan jiwa.

Tapi kali ini kita tidak bicara tentang pemikiran Barat. Kali ini kita kembali ke Jawa, terutama untuk kepentingan memahami beberapa karya sastrawan Danarto. Dalam usaha  memahami cerpen-cerpen Danarto, tampaknya memang perlu sedikit mengerti tentang budaya Jawa, mistik Jawa, atau alam kebatinan Jawa. Ini agar pembaca tidak mengalami kesulitan atau kehilangan jejak dalam memahami liku-liku pikiran pengarangnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di dalam mistik Jawa selalu terdapat masalah hubungan atau kerinduan makhluk untuk mencapai persatuan dengan Pencipta. Dalan panteisme Jawa ini, terdapat konsep bahwa manusia dan alam semesta  adalah percikan dari zat Ilahi, manifestasi dari emanasi Tuhan Yang Mahakuasa. Dalam panteisme Jawa ini juga terdapat konsep bahwa manusia mempunyai dua segi, yaitu segi lahiriah dan segi batiniah. Segi batiniah ialah rohnya, sukma atau pribadinya. Inilah bagian yang mempunyai asal-usul dan tabiat Ilahi, dan karena itu batin merupakan kenyataan yang sejati. Sedangkan segi lahiriah adalah badan dengan segala hawa nafsu dan daya-daya rohaninya.

Di dalam aliran kebatinan Jawa, persatuan  makhluk dengan Sang Khalik ini dirumuskan dengan manunggaling kawula gusti. Tentang hal ini, menurut Bendung Layungkuning alias Rangkai Wisnumurti, adalah pandangan yang beranggapan bahwa kewajiban moral manusia adalah mencapai harmoni dengan kekuatan terakhir dan pada kesatuan terakhir, yaitu manusia menyerahkan dirinya selaku kawula terhadap Gusti-nya.

Menurut Dr. Surono, “Kebatinan adalah suatu ilmu atas dasar ketuhanan absolut yang mempelajari kenyataan dan mengenai hubungan langsung dengan Tuhan tanpa pengantar.”  Sedangkan menurut Wongsonegoro, kebatinan merupakan “Kebaktian kepada Tuhan Yang maha Esa menuju tercapainya budi luhur dan kesempurnaan hidup.” Jadi, bagi penganut kebatinan Jawa, faktor batin itu sangat penting dalam menjalin hubungan dengan Tuhannya.

Sri Wintala Achmad dalam Sejarah Agama Jawa mengatakan bahwa Kejawen merupakan kepercayaan masyarakat Jawa yang memiliki ajaran-ajaran yang bervariasi dan mengadopsi ajaran agama pendatang baik Hindu, Buddha, Islam, maupun Kristen. Gejala sinkretisme itu dipandang bukan sesuatu yang aneh karena dianggap memperkaya cara pandang terhadap tantangan perubahan zaman.

Karena bersinkretisme dengan agama-agama pendatang, masyarakat Kejawen senantiasa mengakui keesaan Tuhan yang kemudian menjadi inti ajaran, yakni sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan hidup), manunggaling kawula-Gusti (bersatunya hamba dengan Tuhan), dan kasampurnaning dumadi (kesempurnaan hidup).

Mengenai manunggaling kawula-Gusti, ada yang mengartikan sebagai kemanunggalan kosmis, yakni antara mikrokosmis (jagad alit) yang mengacu pada manusia dengan makrokosmis (jagad ageng) yang mengacu pada Tuhan.

***

Dari sembilan cerita pendek (Cerpen) yang dimuat dalam buku berjudul Godlob (diterbitkan oleh penerbit Basabasi pada 2017), saya tertarik pada cerpen Asmaradana. Kenapa? Karena saya teringat pada salah satu tembang (lagu) terkenal dalam tradisi Jawa, yakni Asmaradana alias asmara dahana. Di dalam lagu ini ada kesedihan, kerinduan, dan kemesraan. Cocok untuk suasana rindu saat ditinggal kekasih atau suasana mesra saat berduaan. Di lagu itu termuat api asmara yang membakar jiwa dan raga. Pokoknya tentang cinta. Dan di dalam cerpen Asmaradana, digambarkan kerinduan seseorang untuk melihat dan bertemu dengan Tuhan.  Cerpen ini ditulis Danarto pada Oktober 1971.

Kisahnya tentang seorang gadis yang menginjak usia 17 tahun bernama Salome, anak tiri Raja Herodes, yang gelisah. Dia seorang gadis yang cerdas dan bercita-cita tinggi. Ibunya, Herodiah, menyarankan agar dia punya pacar. Sebab banyak perwira kerajaan yang ganteng-ganteng menginginkan dia.  Tapi Salome ogah-ogahan.

              “Lantas apa yang engkau maui, Salome?” tanya ibunya heran.

              “Cita-citaku saja, melihat wajah Tuhan,” jawab Salome

Tentu saja ibunya tertawa dan dari mulutnya yang merekah elok itu keluar kata-katanya nyerocos tak henti-hentinya diselang-seling ketawanya.

                 “Anak-anak muda memang suka bicara besar. Mengira hidup ini bisa diatasi dengan filsafat. Royal omong besar boleh-boleh saja, asal jangan merusak. Tapi kau, Salome, kau sudah kelewat batas. Kau ini memangnya apa? Malaikat? Nabi?”

                 “Justru karena aku hanya orang biasa, Bu.”

                 “Justru! Apa-apa selalu kau jawab dengan justru! Carilah jawaban yang lebih tepat, Salome.”

                   “Jawaban yang kuucapkan sudah setepat-tepatnya, Ibu.

                   ”Selalu. Selalu. Selalu, sudah setepat-tepatnya, begitu lagi omonganmu, ya. Baiklah, anak manis, Tahukah kau bahwa hanya Nabi yang diizinkan melihat wajah Tuhan?”

                   “Baiklah, Bu, kalau begitu aku jadi nabi saja.” Mendengar ini ibunya tambah terpingkal-pingkal ketawanya.

Tapi Salome justru semakin tajam tatapannya. Lalu dia berbicara agak penjang. Begini penggalannya: “....... Telah kuhayati firman-firman-Mu yang dibagi-bagikan secara gratis kepada siapa pun, hingga seolah-olah aku selalu berdiri di jenjang pembasuhan. Tetapi rindu ini tak mau padam juga. Kenapa. Engkau yang bicara kepada siapa pun, tetapi tak menampakkan wajah kepada siapa pun, kecuali Nabi. Ada suara tanpa rupa. Kenapa. Apakah orang-orang biasa seperti aku ini memiliki kerinduan yang sia-sia? Kerinduan yang tak perlu? Tuhan, katakanlah terus terang kepadaku.”

                 ***

Salome tetap kukuh pada keinginannya, pada cita-citanya.  Dia semakin gelisah. Akhirnya dia putus asa. Tiap hari dia memacu kuda putihnya menyusup hutan perburuan sendirian tempat dia duduk sedih berpangku tangan di atas pelana. Pengawal-pengawal segera dititahkan Baginda untuk menyusulnya, tetapi segala kata-kata mereka akan adanya binatang-bintang berbahaya tak pernah dihiraukan oleh Salome. Malah mereka disuruh pulang. Juga banyak perwira yang berebutan untuk turut menjaganya. Tetapi mereka juga tak pernah diacuhkannya. Sembilan belas perwira yang ditugaskan untuk mengajak Salome pulang juga tidak mempan. Bahkan sebagian dari perwira itu sudah mencoba dengan rayuan cinta, juga tidak digubris Salome.

Hingga suatu pagi ayah dan ibunya (Herodes dan Herodiah) berangkat dari istana menuju hutan menemui Salome.

               “Jangan berlebihan, Anakku,” kata Herodes lirih.

               “Baiklah, Ayah. Bahkan apa yang kupikirkan sebenarnya sederhana sekali,” balas Salome.

                “Engkau mencari yang tidak ada,” kata Herodiah sambil memluknya.

                “Apakah Tuhan tidak ada?” kata Salome sambil mencium pipi ibunya yang terhenyak undur.

                 “Seandainya Tuhan tidak ada, apa dayamu?”

                 “Setidak-tidaknya ada nilai tertinggi evolusi,” jawab Salome sambil mempermain-mainkan kalung ibunya.

Sejenak lenganga. Ayah dan ibunya kemudian sepakat untuk mengadakan semacam perlombaan. Mereka memberi isyarat supaya para para perwira berkumpul. “Salome, Seandainya lebih dari seorang yang mampu menampakkan wajah yang begitu kau rindukan, bagaimana jawabanmu?” kata Herodes.

                    “Aku akan melayani walapun kepada semua orang yang berada di sini.”

                    “Engkau pegang teguh janjimu ini, Saloma,” kata seorang perwira.

                    “Bahkan aku telah bersumpah,” balas Salome.

                    “Baik. Mulailah kalian,” kata Herodiah kepada para perwira.

Suasana hening. Para perwira pikirannya melayang-layang. Herodes mengawasi satu per satu. Sedangkan Herodiah berjalan di belakang para perwira mengelilingi lingkaran. Setiap saat ia membisiki.

                      “Ibu kelihatabn berperanan sekali dalam perlombaan ini,” kata Salome.

                      “Perananku menentukan sekali. Aku harus menang. Aku sudah kepingin punya cucu,” jawan Herodiah..

                       “Mendapatkan ncucu itu ternyata sama susahnya seperti menampakkkan wajah  Tuhan, Ibu.”

                      “Aku tidak suka kalau kau melecehkan kami terus-menerus, Salome,.” Tukas Herodiah marah.

                       “Aku tidak pernah melecehkan siapa pun, Ibu. Kepada manusia ataupun hewan; atau kepada hidup. Aku menghormatinya sungguh-sungguh. Aku serius. Bahkan hidupku di masa-masa mendatang aku serius sekali.”

                          “Cukup!” potong Herodes. “Siapa mulai duluan, Tuan-tuan,” kata kepada para perwira yang tampaknya sudah bersiap-siap.

Lalu mulailah satu demi satu para perwira mencoba meyakinkan Salome. Tetapi kegagal demi kegagalan yang dialami para permiwa. Sampai n, tiba-tiba Salome terjatuh dan menangis terisak-isak. Kemudian dsalah seorang perwira berjalan dan berkacak pinggang danmendekatinya.

***

Singkat cerita, segala usaha ayah dan ibunya untuk menyadarkan Salome gagal. Demikian juga usaha Salome sendiri untuk bertemu atau melihat wajah Tuhan juga gagal.  Keinginan Salome ini sampai akhir cerita tidak tercapai meski segala upaya telah dilakukan, seperti pembunuhan massal, menari telanjang, dan pemenggalan kepala Yahya Pembaptis, utusan yang paling disayangi Tuhan. Aneka perbuatan terkutuk dilakukan dengan harapan Tuhan murka dan menghukumnya, juga tidak membawa hasil. Akhirnya Salome mengakui kekalahannya. Begini bagian akhir cerpen ditulis Danarto:

Setelah tarian Salome berakhir, Herodes berdiri dari tampat duduknya dan bertepuk keras-keras. Semua hadirin pun menyambut dengan tepukan. Maka, dipanggillah Salome dan dipeluknya putri ini karena Baginda amat sukacitanya. Bersumpahlah Herodes mau memberi barang apa saja yang dimintanya sebagai hadiah. Salome tersenyum dan minta diizinkan berpikir sebentar. Herodiah yang cekatan juga dalam berpikir menemui anaknya di ruang rias.

          “Janganlah meleset, Salome, apa yang kau minta daripadanya,” kata Herodiah.

          “Aku tidak suka kalau Ibu turut campur dalam urusanku. Aku tahu sekali apa yang akan aku minta,” balas Salome.

          “Engkau masih memegang cita-citamu, bukan?”

          “Ada urusan apa denganku hingga Ibu mendesak-desakku? Kalau aku sekarang sedang berpikir tentang Yahya Pembaptis, apa salahku?”

           “Itulah! Salome, engkau memang anak cekatan, Anakku!”

           “Yahya Pembaptis bagiku dan bagi ibu lain masalahnya. Nabi itu bagiku mempunyai kedalaman. Diam-diam mengajarkan tekad kepadaku untuk tidak beranjak. Ia semacam panah terakhir di dalam busurku. Kini harus aku kerahkan segala teknik kependaianku membidik. Harus tepat benar. Hingga sasaran akan benar-benar terguling,” kata Salome bersemangat. “Tetapi ia di mata Ibu amat rendah nilainya.”

            “Salome!”

            “Ibu adalah prototipe perempuan kota besar. Benci akan Nabi. Bergidik kalau mendengar ayat-ayat suci dibacakan. Mencemooh pelajaran agama. Tapi doyan sekali membaca dan mendengarkan cerita-cerita cabul.”

              “Salome! Aku punya hak untuk dendam kepadanya. Ia telah mencemarkan nama baikku dan bila aku membalasnya dengan setimpal, tak perlu pembalasan itu kau hubung-hubungkan dengan tabiatku. Ternyata, engka tak cekatan memisahkan dua benda yang memang tak boleh disatukan.”

              “Ibu sendiri tidak mampu. Bagaimana nasib Pilipus?

              “Pilipus jangan dibawa-bawa!”

              “Ah,” cemooh Salome. “Jika aku nanti menenteng kepala Yahya Pembaptis, itu adalah keputusanku. Bukan bujuk rayu siapa pun juga.”

               “Anakku, Salome, aku tak pernah mencampuri urusanmu. Kau sudah dewasa. Aku senang sekali, cukup hanya membonceng denganmu. Kita mendapat hasil kesimpulan yang sama.”

                “Tidak. Sama sekali tidak sama! Jauh sekali bedanya. Seperti melati plastik dan melati yang sebenarnya,” kata Salome.

Maka, menghadaplah Salome kepada Herodes dan Baginda berseri-seri sambil menepuk-bepuk putrinya.

              “Berilah kepada patik kepala Yahya Pembaptis di sini di dalam sebuah dulang,” kata Salome menyunggingkan senyumnya.

Maka, seperti dilolosi kekuatannya, lemaslah Herodes. Hatinya berduka-cita. Semua hadirin pun tertunduk. Semuanya sudah terlanjur apa boleh buat. Sumpah sudah diucapkan. Seluruh hadirin menjadi saksi. Lalu Herodes pun menitahkan algojo memancung kepala Yahya di dalam penjara dan kepala itu pun dibawa di dalam sebuah duloang dan diberikan kepada Salome.

Buru-buru Salome membawanya ke loteng dengan berseri-seri. Herodiah mengawasi putrinya dengan wajah yang berseri-seri pula. Dan diletakkkannya kepala itu di dalam dulang di tengah-tengah loteng, lalu ia telanjang bulat memacu kudanya mengelilingi kepala Yahya itu sambil tertawa-tawa puas sekali.

                “Tuhan!”  teriaknya sambil berkacak pinggang. “Kau lihat hasil perburuanku yang gilang-gemilang?” Lalu disusul kedakanh ketawanya. Ia terus berkeliling.

                “Jangan salah lihat, Tuhan! Inilah utusan-Mu Yahya Pembaptis. Jikalau manusia, yang paling Engkau kasih sayangi sudah bertekud lutut di bawa telapak kakiku, lantas apa daya-Mu? Inilah panahku yang terakhir bagi-Mu. Inilah senjataku yang penghabisan dan kuharapkan yang paling ampuh. Ayo, Tuhan! Murkalah kepadaku! Tunjukkan wajah-Mu! Kirimklan banjir besar kepadaku! Kirimkan gempa bumi untuk kamarku! Ayo, Tuhan!”

Demikilahlah dengan semangat yang berkobar-kobar Salome berteriak-terisk terus. Mengelilingi kepala Yahya terus. Hingga tanpa terasa telah ia lakukan selama sembilan bulan. Dan Tuhan tidak mengirimkan apa-apa dan tidak pula menamoakkan wajah-Nya. Akhirnya Salome putus asa.

               “Aku kalah, Tuhan. Aku menyerah....” tangis Salome tersedu-sedu sambil memeluk kepala Yahya Pembaptis.

                                                                  ***

Proses perjalanan seseorang dalam mencari Sang Pencipta juga sangat terasa pada cerpen Kecubung Pengasihan. Bahkan dalam cerpen kedua ini terasa makin kental.  Soal itu sudah terasa sejak pembukaan cerpen melalui seorang perempuan hamil yang ada di taman bergelandangan hidup dari makan kembang-kembang yang ada di situ karena kalah cekatan dalamm berebutan mencari sisa makanan di tong-tong sampah.

Danarto memulai cerpen ini dengan kalimat amat panjang. “Kembang-kembang di taman bunga yang indah harum semerbak itu pun jauh-jauh sudah menyambut bersama-sama dengan senyum mesra kepada perempuan bunting yang berjalan gontai seolah-olah beban di dalam perutnya lebih berat dari keseluruhan tubuhnya hingga orang melihatnya terkesan bahwa ia lenbih tampak menggelinding daripada berjalan dengan kedua belah kakinya..........”

            “Selamat siang, perempuan bunting,” sambut kelompok-kelompok kembang itu bersama-sama, seperti anak-anak sekolah kepada ibu gurunya.

             “Selamat siang, Sayangku,” sahut perempuan bunting itu sambil mendekati mereka. Ia berkeliling mengitari kelompok-kelompok itu dan tersenyum.

              “Kandunganmu semakin besar rupanya,” kata Mawar.

              “Awas-awas, kau bisa terjungkir,” kata Melati.

              “Rasain kalau nanti meledak, wahai perempuan ayu!” sambung Sedap malam.

Perempuan itu terkekeh-kekeh keras hingga buah dadanya terpental-pental dan perut buncitnya bergetar seperti ada gempa bumi. Sekalian kelompok-kelompok kembang itu pun ikut tertawa.

                                                                       ***

Aneka topik mereka percakapkan, termasuk tentang reinkarnasi. Dan di akhir cerpen digambarkan sebagai berikut:

O, kenistaan. Selamat berpisah. O, kesengsaraan. Selamat tinggal denganmu. Pada perjalananku yang terakhir, engkau beban pedih, dapat juga akhirnya kutanggalkan dari pundakku.

Berbarengan dengan musik semesta dan nyanyian yang bertalu-talu, tersembullah dari bawah, sebatang pohon yang hijau rindang, gilang gemilang, bercahaya-cahaya dengan cemerlang. Lalu semesta alam dilipiuti rasa kebahagiiaan. Syahdu. Tenteram. Sekalian orang laki-laki yang meminang perempuan bunting tadi pada sujud di hadapan pohon itu. Bergetar-getar pohon hijau rindang itu dengan cinta kasih menyambut perempuan bunting yang berlari ke arahnya.

“O, Pohon Hayatku! O, Permata Cahayaku!” hati perempuan itu bernyanyi. “Lihatlah! Lihatlah! Aku lari ke haribaan-Mu! Aku memenuhi undangan-Mu! Aku terima pinangan-Mu! Sambutlah! Sambutlah!”

Serta-merta perempuan itu jatuh di pangkuan-Nya sudah tak tertahankan lagi. Ia menangis dengan hati yang menyanyi. Ia haru dengan rasa kebahagiaan yang tiada taranya.

                                                           ****

Kiranya kini jelas bahwa cara membaca cerpen-cerpen Danarto – setidaknya dari dua cerpen yang saya sebut--  tidak bisa disamakan dengan cara membaca cerpen pada umumnya. Konvensi umum tentang penokohan, alur, latar cerita, bisa “tidak berlaku” bagi cerpen-cerpen Danarto. Dalam penokohan, misalnya, Danarto seperti tidak bertolak dari watak, tetapi dari sikap batin tokoh-tokohnya dalam proses menuju alam adikodrati atau persatuan dengan Tuhan. Di dalam cerpen Danarto juga ada banyak metafora dan personifikasi. Dalam Kecubung Pengasihan, misalnya,  terdapat dialog antara tokoh perempuan dengan bunga-bunga. Hal itu yang membuat cerpen-cerpen kadang sulit dipahami kecuali dengan bekal pandangan kebudayaan Jawa mengenai kehidupan dan alam semesta, khususnya dunia kebatinan atau mistik Jawa.

Sebagai akhir tulisan ini, saya kutipkan saja   pendapat beberapa tokoh yang dimuat di sampul belakang kumpulan cerpen Godlob ini. Menurut Goenawan Mohamad: “Danarto telah diakui sebagai sastrawan yang memulai penulisan Realisme Magis di Indonesia dan juga seorang pelukis.” Menurut Harry Aveling: “Jika Pramoedya Ananta Toer mata kanan kita, maka Danarto adalah mata kiri kita. Danarto adalah seorang pembaharu. Seorang master.” Menurut YB. Mangunwijaya: “Cerpen-cerpen Danarto adalah parabel-parabel religius yang luar biasa dinamika dan daya imajinasinya. Tradisional tetapi sekaligus kontemporer.”. Sedangkan menurut Sapardi Djoko Damono: “Cerita-cerita Danarto adalah parodi. Dalam parodinya, yang diejek terutama sastra itu sendiri. Cerita Danarto telah mengejek genrenya sendiri.”  Selamat membaca.

  • Atmojo adalah penulis yang meminati bidang filsafat, hukum, dan seni.

                                                                     ###

 

Ikuti tulisan menarik atmojo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler