Ketika Darah Membanjiri Kediri-Jombang
Selasa, 4 Oktober 2022 16:58 WIBDarah-darah tak berdosa membasahi ladang tebu. Darah-darah yang disinyalir sebagai motor kudeta di Jakarta. Kediri dan Jombang adalah ladang tebu pembantaian massal 1965 dengan darah-darahnya.
Kebengisan PKI terhadap tujuh jenderal sudah menjadi buah bibir langganan yang tak berkesudahan. Isu PKI selalu digoreng apabila mendekati Peringatan G-30-S/PKI. Seolah-olah isu itu tak akan pernah memudar dilekang oleh waktu. Secara nalar, PKI dinyatakan bersalah terhadap Gestapu. Tetapi ingatan kita perlulah mengorek-ngorek bagaimana luka akan sejarah pembantaian massal yang (seolah) ter(di)lupakan. Hermawan Sulistyo (2000) dalam buku fenomenalnya Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (Kediri-Jombang 1965-1966) menyentil ketika darah membasahi kawasan tebu. Dalam hal ini, Kediri-Jombang adalah sasaran studinya.
Darah Segar di Ladang Tebu
Wawancara Tempo kepada Dasuki, saksi kunci ‘Pembantaian Massal di Desa Mlancu’ September 2012 membuat setiap pembaca bergidik ngeri. Pasalnya, ia memberikan kalimat yang membuat bulu kuduk merinding. Tak mengherankan jika kalimat tersebut seolah menjadi pengalaman hidup tak terlupakan baginya.
“If we had walked throught it, the blood would have been ankle-high,” kata Dasuki, tempo hari. Secuil kalimat itu setidaknya meluncur deras dari lisan Dasuki saat diwawancarai oleh Tim Redaksi Tempo. Sepenggal kalimat itu pula menggambarkan betapa bengisnya mereka yang dengan tega menghabisi ‘saudara’-nya sendiri. Peristiwa darah segar di Desa Mlancu menelan kurang lebih 700 orang.
Hal ini didasarkan pada pengakuan RA, seorang algojo yang sempat diwawancarai oleh Hermawan Sulistyo. Dalam pengakuannya, tangannya (RA) sampai pegal karena betapa beratnya pedang yang dipakai untuk menggorok korban (Sulistyo, 2000: 176). Mayat-mayat korban itu, ada yang langsung mati ada yang masih bernafas, tetapi semua korban itu dikubur langsung di tanah lapang. Uniknya bila operasi umumnya dilakukan malam hari, berbeda dengan di Desa Mlancu, operasi ini dilakukan saat tengah siang yang terik.
Berdasarkan penelusuran berbagai sumber, pembantaian massal 1965 di Desa Mlancu bukan tanpa alasan. Kampung ini dianggap sebagai basis PKI yang kuat. Menurut analisis Tempo, lokasinya yang tidak jauh dari Pabrik Gula Tjoekir disinyalir menjadi alasan yang paling kuat untuk membasmi anggota PKI di daerah ini. Akan tetapi, alasan pembantaian massal disini dapatlah disanggah karena Pabrik Gula Tjoekir dan Desa Mlancu terpaut cukup jauh. Alasan paling logis karena mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani.
Cukir dengan Darah-darahnya
Cukir adalah sebuah desa yang terletak 8 km dari pusat kota Jombang. Letak Cukir cukup strategis karena berada di jalan antar Jombang-Kediri dan Jombang-Malang. Desa Cukir memiliki dua simbol yang melekat sampai saat ini, yakni Pabrik Gula Tjoekir yang berada di pertigaan jalan antara Cukir-Mojowarno dan Jombang-Kediri, serta Pondok Pesantren Tebuireng yang terletak tidak jauh di barat Pabrik Gula Tjoekir.
Hermawan Sulistyo menulis “Ibu Pertiwi hamil tua, siap melahirkan bayi revolusi”. Sebuah idiom yang sengaja ditulis oleh Hermawan sebagai pengingat awal kedatangan marabahaya besar bernama G-30-S/PKI. Idiom itu tampaknya berlaku pula di Desa Cukir. PKI berhasil memusatkan kegiatannya di Pabrik Gula Tjoekir dikarenakan beberapa faktor. Tempo menulis setidaknya tiga faktor: menarik kelas pekerja (karyawan), petani tebu, dan santri di sekolah Islam untuk masuk ke partai.
Awalnya, penyerangan terhadap Pabrik Gula Tjoekir yang dilancarkan oleh RA membuat beberapa orang nervous, ketakutan, dan gemetar. Hal itu tidak terlepas dari relasi antara pabrik gula dan pemerintah yang telah berlangsung lama. Dalam pengakuan RA, ia tetap nekad melakukan penyerangan itu. Ia berjanji akan bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukannya. Akhirnya, kediaman RA yang terletak dua kilometer dari Pabrik Gula Tjoekir menjadi tempat berkumpulnya 150 orang. Ketika itu, RA merupakan pemimpin Sarbumusi Cabang Pabrik Gula Tjoekir. Oleh karena itu, ia memiliki otoritas untuk memimpin dan memerintah gerakan penyerangan itu.
Serangan terhadap rumah-rumah di loji Pabrik Gula Tjoekir berlangsung selama tiga hari dimulai sejak 6 Oktober 1965. Dalam catatan RA, korban tewas pertama disekitar Cukir terjadi pada Sabtu malam 6 Oktober 1965. Malam itu juga, polisi datang untuk menyelidik. Para polisi itu tahu bahwa pemimpin gerakan itu adalah RA tetapi mereka tidak menahannya. Justru tangan kanan RA, MS, wakil ketua Sarbumusi dipanggil dan diinterogasi untuk datang ke pos polisi terdekat. Pemanggilan MS ke panggil polisi merupakan dalih ‘ketakutan’ polisi terhadap RA. Setidaknya, RA dibekingi oleh banyak pengikut. Sementara, polisi ketakukan melihat pergerakan pengikut RA yang semakin lama semakin banyak.
Pembantaian simpatisan PKI tidak hanya berada di lingkungan loji tetapi pula terjadi di sekitar Cukir. Tampaknya, pembantaian PKI di Cukir lebih bengis lagi. Apabila algojo bertemu dengan simpatisan PKI di Pasar (Pasar Cukir) mereka langsung membunuhnya disana. Pembunuhan itu dilakukan langsung ditempat tersebut agar simpatisan PKI lainnya ketakutan sehingga mereka takut melakukan pembalasan.
Dua kasus pembantaian massal yang terjadi pasca G-30-S/PKI sepertinya sudah cukup membuat bulu kuduk pembaca merinding. Darah-darah segar tak berdosa itu terpaksa mati ditangan saudaranya sendiri. Darah-darah yang seharusnya bisa dicegah tanpa adanya pembunuhan dengan dalih yang sebenarnya tidak masuk diakal ‘dalih makar’ yang tak berkesudahan.
Jadikan Jiwa Mudamu Mengukir Sejarah!
0 Pengikut
Perempuan di Gerbong Empat
Rabu, 30 November 2022 07:35 WIBMahasiswa Unair-Undar Gelar FGD Cegah Stunting di Desa Mayangan, Jombang
Kamis, 10 November 2022 05:59 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler