Anton Kipler dari Swiss foto bersama petani agrobisnis di Pasar Sotor Ketang, Selasa (6/9/2022) Foto/RR.
Yayasan Ayo Indonesia dikunjungi dua tamu beberapa minggu lalu, 1 orang dari negara Swiss dan 1 orang Dayak. Kedua orang itu, datang dari jauh untuk lejong (bertamu) bertukar pengalaman tentang usaha pertanian dengan beberapa petani mitra dari Yayasan Ayo Indonesia yang tinggal di Lembor, Ketang Pasar Sotor, Null, Jing Golo Ndari dan kampung kopi Wela Golo Worok, selama lima hari, 5-9 September 2022.
Perjumpaan dua orang asing itu dengan Yayasan Ayo Indonesia dilandasi oleh satu spirit bersama untuk berkontribusi mengatasi persoalan kemiskinan, mencegah petani-petani termarginalisasi oleh kemajuan pembangunan yang begitu pesat di Flores dan mempromosikan pertanian permanen (permakultur) secara organic. Penerapan pertanian organik menjadi pilihan untuk menjaga kualitas lingkungan hidup dan keberlanjutan pembangunan.
Bagi Yayasan Ayo Indonesia yang menerima kedatangan tamu (tuan rumah), berinteraksi dengan orang yang berbeda latar belakang, baik dari segi budaya, pengalaman maupun pengetahuan tentu bermakna, menjadi hal positif, karena pasti akan mendapatkan pengalaman baru dalam bentuk masukan-masukan ataupun kritikan, terhadap apa yang sudah dan belum dicapai dalam program pemberdayaan.
Ekonomi berubah setelah berbisnis sayur-sayuran
Kebun Agrobisnis milik Rita Giut di Kakor, Lembor, Kabupaten Manggarai Barat
Pada musim tanam pertama tahun ini, kata Rita omzet penjualan dari tomat, cabe kecil dan kangkung darat mencapai puluhan juta rupiah, penghasilan dari usaha ini dapat mencukupi biaya Pendidikan kedua anaknya yang sedang bersekolah di SMPK Santu Klaus Kuwu bahkan untuk mewujudkan rencana keduanya guna membangun rumah.
Satu hal menarik yang keluar dari mulut Rita secara lugas disampaikan ketika menceritakan tentang pengelolaan usahanya pada 3 tahun terakhir, adalah setiap uang yang masuk dari hasil penjualan sayur-sayuran dikeluarkan atau dibelanjakan untuk menyimpan (Saving) di Koperasi Simpan Pinjam (KSP) CU Florette. Sehingga dapat dikatakan bahwa keluarga ini sungguh paham tentang melek keuangan (financial literacy). Menabung telah menjadi kebiasaan dalam pengelolaan keuangan keluarga.
Penerimaan Anton Kipler dan Peritno secara adat Manggarai "Manuk Kapu"
Anton dan Peritno kelihatannya sangat senang dengan cara kelompok tani pasar sotor menyambut tamu. Anton secara spotan mengatakan kepada mereka, “Hari ini saya merasa sangat bahagia, diterima dengan penuh senyum dan kita telah menjadi satu keluarga besar meski saya tinggal di Swiss,”ujar Anton yang telah berusia 73 tahun ini.
Mengembangkan pola pertanian terintegrasi menjamin kesuburan tanah.
Herman kemudian mengajak Anton dan Peritno ke kebun miliknya, bekas lahan sawah, berukuran luas kurang lebih ¼ hektar, terletak persis di belakang rumahnya. Sayur jenis salad, fanboks dan brokoli tumbuh subur, tidak heran kalau sayur-sayuran itu mampu menarik perhatian untuk segera dilihat dari dekat dan dipegang. Daunnya segar, mulus, dan utuh tak ada satu hama pun terlihat, batang dari sayur-sayur itu tampak berukuran cukup besar pertanda tanahnya kaya akan unsur hara organik.
Mengembangkan pertanian terintegrasi dengan usaha peternakan untuk menjamin ketersediaan pupuk organik
Kepada kedua tamu itu yang berdiri di tengah kebun sayur, Herman menjelaskan bahwa pupuk yang digunakan adalah kotoran kambing dan babi, sambil menjelaskan Panjang lebar tentang pupuk organic, dia menunjukkan dengan jari telunjuknya letak kandang kedua jenis ternak, dan ternyata posisi kandang dekat dengan lokasi kebun sehingga tidak sulit bagi dia dan isterinya untuk mengangkut pupuk ke lokasi kebun. Dia menerapkan pola pertanian terintegrasi, memadukan usaha pemeliharaan ternak dan sayur-sayuran. Pola ini sangat masuk akal untuk memastikan kontinuitas produksi.
Cerita lain, tidak kalah menariknya dari Herman yang mencengangkan Anton dan Peritno, adalah tentang alasannya menanam sayur-sayuran dengan cara mengubah lahan sawah menjadi “ladang uang” bagi keluarganya. Herman menegaskan kembali bahwa kebun sayurnya dulu, kurang lebih 5 tahun lalu, adalah lahan sawah tadah hujan (tegalan) dengan 1 kali musim tanam saja karena terbatasnya air, hasil padi tidak mencukupi kebutuhan pangan dan keuangan keluarga saat itu sebab lahan sawahnya tersebut tidak subur.
Herman Haju, petani sukses agrobisnis dari Pasar Sotor Ketang, Kecamatan Lelak, Kabupaten Manggarai-NTT
Berdasarkan karakteristik fisik, tanah di lokasi kebunnya teridentifikasi termasuk ke dalam jenis “tanah bontong jarang” (pantat kuda) atau istilah dalam ilmu tanahnya dikenal dengan sebutan tanah pod solik kuning. “Hasil padi paling tinggi 5 karung setara 350 kg beras atau jika dirupiahkan sama dengan Rp 3.500.000 untuk 1 musim tanaman yang jangka waktu panennya 5 bulan,” kata Herman. Namun sejak Herman dan Isterinya memutuskan untuk beralih ke usaha sayur-sayuran, keadaan berubah, di atas lahan kurang subur itu, kemudian dihasilkan puluhan juta rupiah dari hasil penjualan beberapa jenis sayur-sayuran, antara lain fanboks, ketimun, brokoli, terung, kol dan salad. Hal ini terjadi, ungkap Herman, akibat keseringan menggunakan pupuk organic dari kotoran ternak dan ditambah dengan arang sekam, dalam setiap musim tanam, 4 kali setahun.
Buah pikiran dari Anton yang disampaikan kepada Yayasan Ayo Indonesia merespon apa yang dilihat dan didapat selama kunjungan pertukaran pengalaman itu, adalah Yayasan Ayo Indonesia perlu melakukan survey pasar (permintaan) di Labuan Bajo untuk menentukan pola dan waktu tanam, terus menyadarkan keluarga petani mengkonsumsi sayur-sayuran setiap hari agar anggota keluarga sehat, konsisten mendorong petani untuk mengembangkan pertanian permakultur, mencari tehnologi pengendalian hama secara alamiah, membangun visi dari para petani dan sebaiknya menghindari penggunaan urea yang berlebihan sebab hari ini kita mendapatkan hasil yang banyak karena urea tetapi anak cucu kita di masa depan menuai kesulitan dalam bertani.
Ikuti tulisan menarik Rikhardus Roden Urut Kabupaten Manggarai-NTT lainnya di sini.