x

Presiden Jokowi menyiramkan air kepada putra bungsunya, Kaesang Pangarep menjelang pernikahan, di Banjarsari, Solo, Jawa Tengah, Jumat, 9 Desember 2022. Di waktu yang sama, calon pengantin wanita, Erina Gudono juga menggelar prosesi siraman di kediamannya di Sleman. Dok: Tim Media Pernikahan Kaesang-Erina

Iklan

trimanto ngaderi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 22 September 2022

Rabu, 14 Desember 2022 16:02 WIB

Prosesi Pernikahan Adat Jawa, Masih Relevankah?

Masyarakat Indonesia baru saja disuguhi acara prosesi pernikahan Kaesang Pengarep-Erina Gudono yang begitu mewah sekaligus megah, dengan nuansa adat-istiadat dan tradisi Jawa yang kental. Acara ini dilangsungkan secara spektakuler dan sampai berlangsung beberapa hari.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

PROSESI PERNIKAHAN ADAT JAWA, MASIH RELEVANKAH?

 

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Memang benar, sebuah tradisi (yang baik) seharusnya dilestarikan;

Memang betul, suatu adat-istiadat (yang sakral) sebaiknya dipertahankan;

Memang bagus, suatu budaya (yang adiluhung) seyogyanya dipelihara;

 

Namun, apakah semua itu masih relevan dengan konteks masa kini?

 

*****

Masyarakat Indonesia baru saja disuguhi acara prosesi pernikahan Kaesang Pengarep-Erina Gudono yang begitu mewah sekaligus megah, dengan nuansa adat-istiadat dan tradisi Jawa yang kental. Acara ini dilaksanakan begitu spektakuler dan sampai berlangsung beberapa hari. Tidak heranlah, terlebih Kaesang adalah putra dari orang nomor 1 di Indonesia. Selain itu, juga melibatkan keraton Pura Mangkunegaran, yang merupakan sentral asal-muasal budaya Jawa.

Saya asli orang Jawa. Lahir dan besar di sekitaran Solo, Jawa Tengah yang notabene merupakan kantong budaya Jawa, setelah Yogyakarta (bekas kerajaan Mataram). Akan tetapi, saat menikah keluarga kami memilih untuk memakai busana nasional. Pengantin pria memakai celana hitam, baju putih dengan dasi dan jas, serta berpeci. Sedangkan pengantin wanita memakai kebaya dan atau dipadu dengan busana muslimah.

Dalam beberapa dekade terakhir, sejauh pengalaman saya menghadiri undangan resepsi pernikahan dan termasuk hasil dari pengamatan selama ini, sebagian (besar) orang Jawa tak lagi menggunakan adat Jawa lengkap ketika menikah. Hanya sebagian (kecil) saja yang masih menggunakannya, yaitu mereka dari kalangan tertentu, seperti pengusaha, pejabat pemerintah, atau kaum “ningrat”.

Mengapa masyarakat kebanyakan tak lagi memakai adat Jawa lengkap ketika menikah, tapi lebih memilih mengenakan busana nasional atau busana religi serta dengan dekorasi yang sederhana? Setidaknya ada tiga alasan utama yang mendasarinya, yaitu:

  1. Hemat

Poin ini biasanya menjadi pertimbangan utama. Bisa dibayangkan berapa besaran biaya yang harus dikeluarkan untuk prosesi pernikahan adat Jawa (lengkap). Sangat dan sangat besar. Tentu mayoritas orang Jawa akan berpikir dua kali. Kita tahu bersama, orang yang akan membangun sebuah rumah tangga membutuhkan biaya yang tidak sedikit, seperti biaya resepsi pernikahan itu sendiri, persiapan tempat tinggal (rumah), persiapan anak, keperluan perabotan rumah, dan sebagainya.

Tentu mereka akan mempertimbangkan agar terkait biaya resepsi pernikahan ditekan seminimal mungkin. Tetap ada pesta, tetap meriah, tapi dengan biaya yang hemat. Dengan hanya memakai busana nasional atau busana Islami, perkiraan biaya hanya sekitar 25%-nya jika memakai adat Jawa lengkap. Seperempat saja guys, atau paling banter sepertiga-lah.

  1. Simpel

Menikah ala adat Jawa memiliki serangkaian acara yang banyak dan rumit. melewati tahapan-tahapan yang njelimet dan tentu melelahkan. Banyak sekali jenis-jenis upacara yang mesti dijalankan. Makanya bisa berlangung berhari-hari.

Kita tahu bersama bahwa ciri khas budaya Jawa adalah orang Jawa sangat menyukai simbol-simbol. Semua jenis upacara yang dilakukan kental dengan simbol-simbol tertentu. Setiap simbol memiliki maknanya masing-masing. Dan sayangnya, mayoritas masyarakat Jawa saat ini sudah tidak tahu lagi makna dari simbol-simbol itu. Mereka hanya bilang, hanya sekedar meniru nenek-moyang mereka.

Ya, yang masih mengetahui makna simbol dalam adat-istiadat dan budaya Jawa hanya kalangan terbatas, seperti sejarawan, peneliti, akademisi, dan tentunya orang-orang keraton yang masih berdarah biru.

Orang Jawa termasuk orang yang cukup adaptif terhadap perkembangan dan perubahan zaman. Salah satu karakter kaum milenial adalah berpikir logis. Mereka tak lagi menghiraukan hal-hal yang bersifat simbolisme, mistis, dan sakral. Terlebih saat ini, sakralitas sebuah adat-istiadat telah mulai hilang. Adat-istiadat dan budaya cenderung menjadi sebuah hiburan (tontonan) dan bahkan berorientasi kepada kapitalisme.

  1. Cepat

Kalau satu hari atau setengah hari saja sudah cukup, ngapain sampai berhari-hari to. Orang sekarang itu rata-rata pada sibuk. Tidak memiliki cukup waktu untuk berlama-lama dalam sebuah acara. Bagi mereka waktu adalah sangat penting. Tak ada gunanya membuang-buang waktu untuk hal-hal yang tidak produktif.

Saking sibuknya ada yang hadir tidak pas pada hari H. Ada yang datang hari sebelumnya atau hari sesudahnya. Bahkan, ada datang pada malam hari. Atau ada yang datang setelah usai acara resepsi, mereka datang dan mengucapkan selamat, duduk sebentar dan pamit pulang.

Oleh karena itu, sekarang mulai banyak yang mengadakan acara resepsi pernikahan hanya 2-3 jam saja, baik itu di rumah sendiri maupun di gedung pertemuan. Undangan jam 09.30-12.00. Acaranya ya hanya ada sambutan, hiburan singkat, foto-foto, makan, dan pulang.

 

Pada dasarnya, bagi mereka yang masih ingin menggunakan adat Jawa lengkap, silakan saja jika mereka mampu (secara finansial). Akan tetapi, satu hal yang perlu saya garisbawahi di sini, sebuah pernikahan bukan persoalan kemewahan dan kemegahan acara resepsinya, melainkan bagaimana agar dalam mengarungi bahtera rumah tangga ke depan bisa mewujudkan keluarga yang damai dan harmonis. Substansi sebuah pernikahan adalah adanya komitmen untuk mencapai tujuan bersama, bukan pada semarak dan gempita pesta.

Apa pasal, tidak sedikit para artis papan atas di negeri ini yang pesta pernikahannya dilangsungkan secara “super wah” dan begitu glamour, namun tak lama setelah itu biduk rumah tangganya kandas di tengah samudera, karena tak sanggup menahan angin kencang dan badai.

Sebagai penutup, tak lupa saya mengucapkan “Selamat kepada Kaesang-Erina, semoga Allah meridlai kalian”.

Ikuti tulisan menarik trimanto ngaderi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler