Paradoks Pilihan

Minggu, 15 Juni 2025 23:03 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Pilihan
Iklan

Semakin banyak pilihan yang diberikan, kita akan menjadi semakin kurang puas atas apapun yang kita pilih.

***

Pernahkah Anda mengalami kesulitan dalam memilih sesuatu. Misalnya, ketika berbelanja di toko baik offline maupun online. Saya yakin jawabannya adalah ya. Sering. Hampir selalu. Ini bagus. Itu lebih bagus. Sebelah sana sangat bagus. Semuanya serba bagus. Bingung mau pilih yang mana.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hal tersebut membuat kegiatan berbelanja memakan waktu lebih lama. Perlu berpikir keras untuk menentukan pilihan. Butuh kejelian dan ketelitian agar tidak salah pilih. Bahkan, tak jarang kita membutuhkan rekomendasi orang lain untuk membantu dalam memilih. Entah itu bantuan dari pramuniaga, orang yang menemani kita belanja, atau melakukan video call ke pasangan untuk meminta masukan.

Kegiatan belanja yang tadinya simpel dan sederhana, kini menjadi rumit dan kompleks.

Terlalu Banyak Pilihan

Pada waktu saya masih kecil, saya hanya dihadapkan pada sedikit pilihan. Atau lebih seringnya dihadapkan pada dua pilihan saja. Hal ini membuat saya cukup mudah untuk menentukan pilihan. Kalau lagi punya sedikit uang, kita memilih barang yang harganya murah. Kalau tidak warna A, ya pilih warna B.

Berbeda dengan realitas saat ini, terutama di era digital. Kita dihadapkan dengan terlalu banyak pilihan. Satu produk saja memiliki banyak varian, baik varian dalam hal tipe, seri, warna, harga, kemasan, paket (bundling), diskon, dan seterusnya. Semua bagus. Semua menarik. Semua menggoda. Terlalu banyak pilihan membuat kita nyaris tak bisa memilih (Jawa = kewuhan).

Dampak lain dari terlalu banyak pilihan adalah meningkatnya budaya konsumtif. Industri kapitalisme sangat lihai dalam membuat kita menginginkan lebih, lebih, dan lebih. Kebanyakan orang meyakini bahwa semakin banyak berarti semakin baik. Menghasilkan lebih banyak uang, mempunyai lebih banyak barang atau properti, berkunjung ke lebih banyak negara, memiliki lebih banyak pengalaman, atau bersama dengan lebih banyak wanita.

Akan tetapi, lebih banyak tidak selalu lebih baik. Faktanya, justeru sebaliknya. Sesungguhnya kita sering merasa lebih bahagia dalam situasi berkekurangan. Ketika kita diberi muatan peluang dan pilihan yang terlalu banyak, kita akan menderita apa yang disebut ahli psikologi sebagai “paradoks pilihan”.

Dalam pengertian, semakin banyak pilihan yang diberikan, kita akan menjadi semakin kurang puas atas apapun yang kita pilih, karena kita sadar akan semua pilihan lain yang mungkin sekali kita korbankan. Contohnya, apabila kita memiliki dua pilihan tempat untuk ditinggali dan harus memilih salah satu, saya yakin kita akan merasa nyaman dan percaya diri bahwa kita telah membuat pilihan yang tepat.

Namun, jika kita memiliki pilihan 5, 10, atau lebih tempat untuk ditinggali dan harus memilih salah satu, paradoks pilihan mengatakan bahwa kita akan melewati waktu yang cukup lama untuk bertanya-tanya, apakah kita sungguh telah membuat pilihan yang “tepat”, dan apakah kita sungguh  merasa puas atas apa yang sudah kita pilih. Kecemasan ini, hasrat untuk mendapatkan kepastian dan kesempurnaan akan membuat kita tidak bahagia.

Pada kasus kegiatan berbelanja, ketika kita dihadapkan pada banyak pilihan produk dan mengalami kebingungan dalam memilih, setidaknya ada dua kemungkinan tindakan yang akan kita lakukan. Pertama, kalau pada awalnya kita berniat untuk membeli satu barang saja, bisa jadi kita akan membeli lebih dari satu barang sejenis dengan pertimbangan barang ini bagus dan barang itu juga bagus, barang lain bagus juga. Kedua, kita tidak jadi membeli karena setelah sekian lama memilih dan memilah, pada akhirnya kita tidak bisa mengambil keputusan barang mana yang mau kita ambil. Kemungkinan kedua ini pernah dialami oleh isteri saya sendiri.

Kebebasan Memilih Melalui Komitmen

Paradoks pilihan menyangkut banyak hal dalam kehidupan kita, tidak hanya perihal memilih barang semata. Banyak pilihan dalam hal pekerjaan, kegiatan, hobi, pasangan hidup, tempat, dan seterusnya. Membaktikan diri secara mendalam terhadap satu orang, satu tempat, satu pekerjaan, satu kegiatan akan menghalangi kita dari banyak sekali pengalaman yang ingin kita rasakan. Namun, mengejar pengalaman sebanyak-banyaknya justeru akan menghalangi kita dari kesempatan untuk mengalami nikmatnya kedalaman suatu pengalaman.

Ada beberapa pengalaman yang hanya bisa kita rasakan ketika kita telah tinggal di tempat yang sama selama 5 tahun, hidup dengan orang yang sama selama satu dekade, atau saat kita telah bekerja dengan keterampilan atau keahlian yang sama separuh hidup kita. Jika kita mengejar sensasi dari pengalaman yang begitu luas, setiap pengalaman yang baru, setiap orang baru, setiap barang yang baru akan berkurang kesannya.

Ketika kita tidak pernah meninggalkan tanah air, negara pertama yang kita kunjungi akan menginspirasi perubahan perspektif secara besar-besaran, karena kita memiliki dasar pengalaman yang sempit saat memulainya. Namun, di saat kita telah bepergian ke 20 negara, negara ke 21 akan terasa kurang berkesan. Dan ketika kita telah berkunjung ke negara yang ke-50, maka yang ke 51 akan terasa semakin kurang berkesan.

Hal yang sama juga berlaku untuk kepemilikan uang, properti, hobi, pekerjaan, teman, dll. Semakin umur kita bertambah, semakin banyak pengalaman yang kita dapatkan. Semakin kita berpengalaman, semakin berkurang pula (secara signifikan) pengaruh pengalaman baru terhadap diri kita.

Saya pribadi telah berkomitmen untuk tinggal bersama orang-orang, pengalaman, dan nilai-nilai terbaik dalam hidup saya. Saya juga berkomitmen terhadap satu lokasi geografis dan hal ini membuat hubungan saya dengan orang lain menjadi lebih berarti, asli, dan sehat berlipat ganda. Saya menemukan ada kebebasan dan kemerdekaan dalam komitmen. Saya menemukan peluang yang meningkat dan hal-hal positif saat menolak berbagai alternatif dan pengalih-perhatian dari apa yang telah saya pilih, sehingga menjadi benar-benar berarti.

Komitmen memberi kita kebebasan karena perhatian kita tidak lagi teralihkan oleh hal-hal yang tidak penting dan tidak jelas.  Komitmen mengasah perhatian dan fokus kita, mengarahkannya kepada apa yang paling efisien untuk membuat hidup kita menjadi sehat dan bahagia. Komitmen membuat pembuatan keputusan menjadi lebih mudah dan menghilangkan setiap ketakutan dan kehilangan; mengetahui bahwa apa yang kita miliki tidak cukup baik, mengapa kita bahkan menjadi stres mengejar sesuatu yang lebih, lebih, dan lebih lagi.

Komitmen mengizinkan kita untuk secara sadar berfokus pada sedikit sasaran yang sangat penting dan mencapai derajat kesuksesan yang lebih tinggi ketimbang mereka yang menghindari komitmen. Dengan cara ini, penolakan terhadap beberapa alternatif membebaskan kita. Penolakan terhadap hal-hal yang tidak selaras dengan nilai kita yang paling penting, dengan ukuran (parameter) yang kita pilih, penolakan terhadap pengejaran yang konstan terhadap luasanya pengalaman, bukan dalamnya pengalaman.

Kedalaman pengalaman adalah letak emas yang terkubur. Kita harus tetap berkomitmen terhadap sesuatu dan terus menggalinya. Itulah hubungan yang sejati, dalam karier, dalam gaya hidup yang luar biasa – dalam apapun juga.

*****

Ada beberapa cara agar terhindar dari paradoks pilihan, di antaranya:

  1. Mengurangi buka-buka aplikasi marketplace;
  2. Mengurangi membuka media sosial maupun website pada umumnya, karena terdapat iklan-iklan yang menawarkan banyak pilihan produk;
  3. Melakukan pengendalian diri untuk tidak serakah. Keserakahanlah yang membuat seseorang menginginkan lebih, lebih, dan lebih; padahal keinginan tiada pernah ada habisnya.
  4. Komitmen pada satu pilihan yang paling penting.

 

Referensi:

Manson, Mark. 2018. Sebuah Seni untuk Bersikap Masa Bodoh, Pendekatan yang Waras Demi Menjalani Hidup yang Baik. Grasindo: Jakarta.

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
trimanto ngaderi

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Paradoks Pilihan

Minggu, 15 Juni 2025 23:03 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler