x

Iklan

Bambang Udoyono

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 3 Maret 2022

Sabtu, 7 Januari 2023 11:47 WIB

Metafora dalam Kisah Wayang

Kisah wayang Jawa memiliki banyak sekali metafora alias lambang. Apa saja metaforanya? Silahkan ikuti terus.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: Bambang Udoyono

Cerita wayang mengandung banyak sekali sanépo alias metafora alias lambang.  Di sinilah salah satu kelebihan karya sastra.  Sang pujangga bisa dengan indah menyampaikan pesannya dengan perlambang yang harus ditafsirkan oleh pembacanya.  Mari kita lihat beberapa sanépo yang ada dalam cerita wayang.

Arjuno Wiwoho

Cerita Arjuno Wiwoho adalah karya asli anak bangsa Indonesia.  Penulisnya adalah Empu Kanwa dari Kediri di abad 11.  Karakternya memang memakai karakter dari Mahabarata tapi plotnya asli karya Empu Kanwa. Berikut alur ceritanya secara singkat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Ketika Arjuno selesai bertapa dan diberi panah Pasopati oleh dewa dia langsung dihadapkan pada masalah.  Warga desa meminta tolong karena diganggu oleh seekor cèlèng raksasa.  Arjuno berhasil membunuh si cèlèng dengan panah saktinya tapi di badan cèlèng ada panah lain. Seorang satria asing juga memanah si cèlèng. Terjadi pertengkaran dan perkelahian. Akhirnya Arjuno kalah. Ternyata satria itu adalah dewa. 

Saya kira Empu Kanwa ingin mengatakan bahwa keberhasilan manusia hanya bisa terjadi jika ada ijin Tuhan.  Dia panah yang menancap di badan cèlèng adalah simbol dari upaya manusia dan kekuatan Tuhan.  Tanpa campur tangan Tuhan manusia tidak akan berhasil.  Jadi jangan sombong.

 

Anoman dan Dewi Sayemprobo

Dalam persiapan menginvasi Alengko untuk merebut kembali Sinto dari Rahwono, Romo mengutus Anoman ke Alengko. Anoman dikawal Semar dan anak anaknya lantas berjalan menuju ke Alengko. 

 

Di perjalanan Anoman  bertemu seorang perempuan cantik jelita bernama Dewi Sayemprobo.  Sang Dewi menawarkan Anoman dan punokawan untuk mampir.  Tempat tinggal sang Dewi ini di sebuah gua yang dulunya adalah istana yang sangat megah. Karena terlalu mewah maka para dewa tidak berkenan. Istana itu lalu dikutuk oleh dewa menjadi sebuah gua.  Di sana Sang Dewi menjamu Anoman dan rombongannya dengan hidangan yang sangat mewah dan enak.  Tapi setelah berpesta pora mendadak Anoman menjadi buta.  Akibatnya dia tidak bisa lagi melanjutkan perjalanan menuju Alengko. Untunglah seekor Garuda sakti menolong Anoman sampai sembuh.

 

Sang pujangga tentu bermaksud mengatakan bahwa mata hati Anoman menjadi buta setelah dia terpesona dengan kecantikan sang Dewi.  Akibatnya dia tidak mampu lagi berjalan lurus. Jalan hidupnya menjadi kacau. Jadi artinya sang pujangga menghimbau agar kita tidak dikuasai oleh nafsunya.  Idealnya manusia menguasai nafsunya.   Itulah sebabnya  agama memegang peran penting.   

 

Tiwikromo

Kresno, Harjuno Sosrobahu, dan Dosomuko memiliki kemampuan tiwikromo.   Dalam keadaan tertentu, ketika dihadapkan pada masalah atau ancaman bahaya mereka berubah menjadi raksasa. Dosomuko bisa menjadi raksasa sak gunung anakan.  Bahkan Harjuno sosrobahu menjadi sebesar pitung gunung (tujuh gunung).

 

Dalam keadaan kepepet manusia memang bisa mendapat kekuatan tenaga dalam sehingga tumbuh besar. Tentu saja bukan secara fisik, tapi perannya.  Banyak sekali contohnya.  Saya terkesan dengan kehidupan mantan presiden Sukarno dan Suharto.  Di usia muda mereka sudah menghadapi masalah berat.  Dengan sikap mental dan tindakan yang benar mereka justru tumbuh menjadi raksasa.

 

Kidang kencono

Kijang adalah padanan kata kidang.  Dalam cerita Ramayana ada sebuah episode ketika Romo meninggalkan istana bersama istrinya Sinto dan adiknya Lesmono.  Romo memang sengaja meninggalkan jabatan raja untuk diberikan kepada adiknya Baroto. Dalam keadaan prihatin suatu hari mereka sampai di sebuah hutan.   Di sana terlihat seekor kidang kencono (kijang emas) yang berlari tidak jauh mereka.  Sinto sangat terpesona dengan si kijang lalu meminta Romo menangkapnya.   Dia perintahkan Lesmono untuk menjaga Sinto.

 

Romo lantas mengejar si kijang untuk ditangkap hidup hidup.  Namun si kijang seolah menggoda.  Ketika Romo sudah dekat dia lari menjauh tapi kemudian berhenti.  Demikian berkali kali sampai Romo akhirnya kehilangan kesabaran.  Dia ambil anak panahnya lalu dibidiknya si kijang. Secepat kilat anak panah Romo mengenai sasarannya.  Kidang kencono jatuh dan kembali ke bentuk aslinya yaitu seorang raksasa. Tapi sebelum mati dia sempat berteriak memanggil Sinto.  Ternyata dia adalah Kolo Marico, anak buah Rahwono yang ditugasi menggoda Romo dan Sinto.

 

Kidang kencono adalah sanépo dari harta dan kekuasaan duniawi.  Seorang istri tidak jarang mendorong suaminya untuk mengejar harta dan jabatan sebanyak banyaknya dan setinggi tingginya.  Jika jalan yang ditempuh keliru bukannya kebahagiaan yang didapat tapi justru kesengsaraan yang ditemui. 

 

Sinto, Rahwono dan garis Lesmono

 

Jeritan si kijang didengar oleh Sinto.  Dia yakin Romo meminta tolong maka dia perintahkan Lesmono mencari kakaknya.  Awalnya Lesmono ragu tapi setelah didesak dia mau.  Sebelum pergi Lesmono membuat garis di sekitar Sinto dan berpesan jangan sekali sekali keluar dari garis itu kalau ingin selamat. 

 

Beberapa saat kemudian muncul seorang pengemis tua yang meminta sedekah.  Sinto tergerak memberi. Tapi ketika si pengemis menjulurkan tangannya dia terjengkang, terpental oleh kekuatan tak kasat mata dari garis yang dibuat Lesmono.  Si pengemis meminta tolong lalu Sinto keluar dari garis.  Seketika si pengemis berubah menjadi Rahwono dan menculik Sinto ke Alengko.

 

Garis itu adalah sanépo dari garis moralitas.  Seorang wanita  tetap aman ketika dia masih memegang moralitas. Tapi ketika dia menabrak garis moralitas maka dia akan mendapatkan keruwetan yang disimbolkan sebagai diculik raksasa.  Jadi itu adalah anjuran sang pujangga untuk para wanita agar tetap berada dalam garis moralitas.  Kalau mbalélo maka perlindungan Tuhan tidak berlaku lagi. Pimpinannya kemudian adalah setan.  

 

Masih banyak lagi sanépo alias metafora alias lambang dalam cerita wayang, baik cerita yang terjemahan dari cerita India maupun cerita karya asli anak bangsa. Wayang Jawa sudah berbeda dengan cerita Mahabarata dan Ramayana. Karena para penulis dan dalang sudah banyak menambah dan juga mengurangi. Maka saat ini wayang itu sudah khas Jawa. Insya Allah lain kali kita bahas.

Ikuti tulisan menarik Bambang Udoyono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler