Menjawab Ancaman ChatGPT; Memadukan Kecerdasan Buatan dengan Kecerdasan Fleksibel
Kamis, 2 Februari 2023 15:26 WIBMelihat kemampuan teknologi ChatGPT, Claude, dan AI lainnya bisa jadi akan terjadi disrupsi besar-besaran dalam dunia pendidikan. Bagaimana nasib pendidikan bergaya textbook seperti mayoritas sekolah di Indonesia? Apakah soal ulangan dan tugas teks dari guru dan dosen masih relevan untuk dijawab dan diurai? Bagaimana cara guru dan dosen membedakan antara jawaban robot dan manusia?
Mesin Artificial Intelegence (AI) beberapa tahun belakangan ini ramai menjadi topik perbincangan. Kemampuannya mengolah, menyajikan, hingga mengembangkan sebuah data atas perintah dapat dibilang luar biasa cepat dan menakjubkan. Sampai banyak pandangan bahwa disrupsi besar-besaran pada semua aspek akan segera terjadi.
Saat ini yang paling populer tentu ChatGPT. Tapi, ada lainnya yang tidak kalah canggih seperti Claude. Untuk Cluade baru-baru ini, baru tahap uji sistem beta tertutup. Hasilnya membuat dunia akademik cukup terkesan. Claude mampu mengutarakan jawaban komprehensif dengan petunjuk yang rumit dalam ujian yang dilakukan. Lebih lanjut, program kecerdasan buatan yang dikembangkan perusahaan riset AI Anthropic berhasil lulus dalam ujian hukum dan ekonomi di Universitas George Mason, Amerika Serikat.
Melihat perkembangan teknologi tersebut, lantas bagaimana bila teknologi ChatGPT, Claude, dan AI lainnya dipegang, dikendalikan, dan dimanfaatkan sepenuhnya oleh pelajar dan mahasiswa? Bagaimana nasib pendidikan bergaya textbook seperti mayoritas sekolah di Indonesia? Apakah soal ulangan dan tugas teks dari guru dan dosen masih relevan untuk dijawab dan diurai? Bagaimana cara guru dan dosen membedakan antara jawaban robot dan manusia?
Rasanya permasalahan pendidikan pada akhirnya dalam waktu dekat akan meningkat pada keadaan disrupsi besar-besaran. Pelarangan dan pembatasan penggunaan gawai hanya akan mempertegas kalau sekolah kurang mampu beradaptasi. Belum lagi kualitas dan kegaptekan tenaga pendidik Indonesia masih jadi masalah besar yang tak kunjung selesai.
Menghadapi disrupsi seperti ini rasanya tidak cukup hanya mengganti kurikulum dan mengobral segala jenis pelatihan kilat. Dibutuhkan sistem revolusioner yang baru, segar, ketat, tegas, relevan, serta visioner. Pendidikan Indonesia sudah harus berlari. Dia sudah lama jalan di tempat dalam ketidakberdayaannya.
Fleksibilitas Kognitif
Selalu ada jalan. Tinggal kita ingin menempuhnya atau berdiam. Perlu diketahui bersama, keistimewaan manusia paling spektakuler ialah bagaimana dia mampu beradaptasi. Hal itu bisa jadi modal optimisme menempuh masa depan perabdan. Manusia mampu menempatkan pola berpikir dan berkehidupan pada tingkat penyesuaian tertinggi (fleksibel). Suatu bentuk kemampuan memukau dibanding spesies lain.
Kecerdasan fleksibel ini rasanya memang cuma dimiliki manusia. Menurut Sahakian, Langley, dan Leong dalam risetnya di The Conversation, beragam prestasi terbaik umat manusia utamanya lebih dipengaruhi oleh atribut seperti kreativitas, imajinasi, rasa ingin tahu, dan empati.
Peneliti menyebut kemunculan sifat-sifat tersebut sebagai “fleksibilitas kognitif”. Suatu kemampuan untuk bisa menggunakan berbagai konsep yang berbeda, atau beradaptasi untuk mencapai tujuan tertentu dalam suatu lingkungan yang baru atau senantiasa berkembang.
Lebih lanjut menurut mereka, fleksibilitas kognitif ini lebih berperan dalam perkembangan manusia itu sendiri ketimbang intellegence quotient (IQ). Fleksibilitas kognitif membekali manusia kemampuan belajar dan melihat keberhasilan langkah dan strategi. Sederhananya, fleksibilitas kognitif menjadikan apapun permodelan masalah yang dihadapai manusia selalu memungkinkan teratasi. Jauh sebelum itu, Darwin telah menyatakannya bahwa yang bertahan bukanlah spesies terkuat ataupun terpintar, melainkan yang pandai beradaptasi.
Bisa sedikit ditarik kesimpulan bahwa kemampuan paling dibutuhkan dalam disrupsi pendidikan ini adalah fleksibilitas kognitif (kreativitas, imajinasi, rasa ingin tahu, dan empati) ketimbang capaian kognitif semata seperti selama ini terjadi.
Mengistirahatkan Otak
Selama ini, sekolah-sekolah di Indonesia selalu berusaha mencapai predikat terbaik pada ranah kalkulasi kognitif. Itu terlihat jelas pada tolok ukur kecerdasan siswa dari nilai matematika, IPA, dan Fisika. Segala kondisi tersebut membuat sekolah dan pendidikan Indonesia terjebak dalam orientasi dan sentralisasi kognitif. Segala pencapaian pembelajaran selalu tentang angka, presentase, dan kalkulasi.
Tidak bermaksud menghilangkan peran kognitif. Hanya saja, kita harus mulai menggeser paradigma yang seperti itu. Bagaimanapun, pada akhirnya AI dengan mudah menjangkau dan menggantikan peran tersebut. Tidak perlu rasanya bersaing dengan AI. Kita harus menjadikannya mitra belajar, bukan pesaing, apalagi berakhir dengan pelarangan.
Pada titik ini, saya sependapat dengan pernyataan Andreas Maryoto, bahwa kita mungkin lebih baik mulai mengucapkan, beristirahatlah otak, kami serahkan sebagian tugasmu ke AI Generatif.
Dalam proses peralihan orientasi tersebut, kecerdasan fleksibel harus dijadikan alternatif utama sebagai domain dan praktik. Nilai kreatif, imajinatif, ingin tahu, dan empati lebih mudah terlatih, terbentuk, dan tercapai saat pembelajaran mulai fokus dalam ranah afektif dan psikomotorik.
Mengistirahatkan otak dalam hal ini harus dipahami pada tataran pertimbangan keefektifan dan kerelevanan. Bukan penggusuran peran. Otak masih diperlukan dalam proses berpikir. Tapi, berpikir yang seperti apa dulu? Jika hanya sebatas perolehan dan penjelajahan informasi, rasanya kita juga perlu mempertimbangkan keefektifan langkah. Sistem hybrid paling relevan untuk dijalani. Manusia berkolaborasi dengan AI (kecerdasan fleksibel dan kecerdasan buatan)
Pada kurikulum merdeka ini, sebenarnya konsep orientasi (kecerdasan fleksibel) ini difasilitasi dalam ruang yang luas dan lebar. Kita bisa sama-sama melihat pada hadirnya projek penguatan profil pelajar pancasila (P5). Ada enam dimensi (beriman, mandiri, gotong-royong, kebhinekaan, kritis, dan kreatif). Dari sana sekolah dan pendidikan bisa memulai pergerakan dan pembaharuannya.
Sekali lagi, kita sejatinya tidak bisa menolak kehadiran AI. Semakin kita berusaha menyiasati perkembangan teknologi tersebut, semakin memperlihatkan keangkuhan atas diri manusia itu sendiri, terlebih lagi dalam pendidikan. Orientasi pendidikan harus segera diubah ke dalam prosesnya yang lebih adaptif, efektif, dan relevan. Gaya feodal, sentralistik, dan teksbook harus ditinggalkan pada ruang belakang dan ditutup rapat-rapat. Bila tidak segera dilakukan, pendidikan akan jadi aspek pertama yang akan menyesal.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Melarang Lato-Lato di Sekolah Bertentangan dengan Kurikulum Merdeka
Jumat, 3 Februari 2023 18:18 WIBMenjawab Ancaman ChatGPT; Memadukan Kecerdasan Buatan dengan Kecerdasan Fleksibel
Kamis, 2 Februari 2023 15:26 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler