x

Iklan

Alfian Bahri

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 2 Februari 2023

Jumat, 3 Februari 2023 18:18 WIB

Melarang Lato-Lato di Sekolah Bertentangan dengan Kurikulum Merdeka

Melarang lato-lato di sekolah adalah bukti sekolah Indonesia masih bernuansa ototiriter dan feodalistik. Dalam pendidikan humanis, pelarangan adalah langkah salah kaprah. Pendidikan humanis wajib mengedepankan pengelolahan ketimbang pelarangan. Kalau memang berniat melarang, harus disertai argumentasi kuat, logis, dan humanis. Bukan dengan dalil superioritas dan hierarki.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Demam mainan lato-lato berujung aturan baru di sekolah. Hampir banyak sekolah melarang siswanya membawa mainan etek-etek itu ke sekolah. Dalilnya, lato-lato mengganggu kenyamanan, konsentrasi, bising, hingga membahayakan orang lain.

Seketika aturan pelarangan dibuat, ditegakkan, sampai akhirnya penyitaan dan hukuman  jadi reaksi paling dominan. Orientasi disiplin selalu ditempel sebelum melakukan analisis dan penyesuaian kajian aturan yang bijak. Dan itu selalu dianggap sebagai alternatif terbaik dan bijak.

Tentu sebuah upaya yang bukan pada tempatnya. Alias salah kaprah. Habis etek-etek terbitlah hukuman. Dulu dilarang gondrong, lalu dilarang membawa gawai, sekarang dilarang membawa mainan. Sebuah pengulangan budaya yang kental dengan nuansa feodal. Bagaimana aturan dibuat sepihak dengan dalil kebaikan bersama dan masa depan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bila memakai pendekatan kurikulum merdeka,  pelarangan membawa lato-lato ke sekolah merupakan langkah fatal. Bukankah kurikulum merdeka berorientasi pada tumbuh kembang siswa berdasarkan pengembangan internal, karakter, dan lingkungan tinggal?

Kalau memang berniat melarang, harusnya juga disertai argumentasi yang kuat, logis, dan humanis. Bukan dengan dalil superioritas dan hierarki tanpa menjelaskan alasan mendasarnya. Seakan semua yang diucapkan guru adalah baik, yang dikatakan sekolah adalah baik, semua demi masa depan. Hal semacam itu hanya akan membuat siswa menjadi pribadi tunduk tanpa bertanya, bergerak tanpa berpikir, dan belajar tanpa memahami. Langkah semacam itu hanya membangkitkan, melanggengkan, dan mewariskan fedolitas yang harusnya sudah lama hilang.

Belajar dari Viralitas

Pendidikan dalam hal ini sekolah sudah tidak bisa lagi menggunakan konsep pembelajaran lama (sentralistik dan feodal). Paradigma hidup sudah berubah cukup jauh. Zaman informasi telah berlangsung. Kekayaan teks telah menyebar pada titiknya yang tak berhingga, masuk ke dalam unit-unit tanpa batas. Mencegah agar tidak kecolongan melalui pelarangan merupakan kesalahan besar. Bagaimanapun segala informasi tersebut hanya minta diolah. Kehadirannya sudah menjadi substansi utama paradigma era digital.

Kurikulum merdeka sebenarnya sudah berupaya memfasilitasi keberlangsungan hidup majemuk, plural, dan tanpa batas seperti itu. Guru sudah diberi kebebasan menentukan tujuan pembelajaran di tiap fasenya. Guru juga sudah tidak dipaksa harus menyelesaikan semua materi. Guru juga sudah diberi kebebasan mengelolah bahan ajar lewat modul. Bahkan semua itu bisa dilihat pada orientasi metode yang ditawarkan pemerintah, yaitu pembelajaran diferensiasi.

Dalam kurikulum merdeka, sebenarnya pemerintah cuma membuat capaian pembelajaran yang tujuan sebenarnya agar ada kesamaan orientasi nasional. Lalu, untuk mencapai titik capaian tersebut, pemerintah membebaskan sekolah dan guru.

Secara esensi dan konsep, kurikulum merdeka mengharapkan pengelolahan keanekaragaman karakter. Itu sebabnya kegiatan kokurikuler melalui projek penguatan profil pelajar pancasila (P5) ditambah porsi jam kelasnya. Bahkan dijadikan fokus dan berkelanjutan khusus ke arah sana.

Ini bukti kuat kalau sejatinya sudah ada upaya perbaikan mutu dan cara mengenai pembelajaran di sekolah. Tapi, semua upaya baik tersebut akan ternodai dan tercoreng bila pelarangan lato-lato diterapkan.

Sekolah dan guru sudah wajib memasukkan konten viral sebagai dasar materi di kelas. Justifikasi negatif atas konten viral sungguh pikiran yang tidak argumentatif. Justru itu hanya akan mempertegas kalau superioritas subjek masih berlangsung dan subur di tubuh guru dan sekolah.

Seperti kasus viral menantu-mertua, harusnya itu dibahas di kelas-kelas dalam pandangan keilmuwan mata pelajaran sosial dan humanis. Lalu Fajar Sadboy, juga harus dimasukkan ke kelas dalam konsep pembelajaran bahasa dan ekspresi. Kemudian lato-lato, juga seharusnya tanpa pelarangan. Guru eksakta harus mengurai konsep mainan lato-lato dalam keilmuwan hitungnya. Masih banyak contoh kasus lainnya.

Pendekatan pada konten viral akan mempermudah guru mencapai tujuan materi keilmuwannya. Karena sebelum masuk kelas, para siswa sudah mendapat pengantar dari luar yang beragam walau sebatas kehadiran objek. Bukankah itu akan mempermudah tugas guru dalam memulai penyampaian materi?

Kalau dicermati lebih dalam, justru tugas guru ada dan harus masuk ke dalam sana. Guru sudah harus mengurai kehadiran objek tersebut dalam skala pembelajaran di kelas. Bagaimanapun pembelajaran terbaik adalah yang berorientasi pada kebutuhan murid dan lingkungan dia tinggal. Pelarangan lato-lato hadir di dalam sekolah dan kelas akan mencabut segala orientasi utama pendidikan. Mencabut siswa dari perkembangan lingkungannya.

 

Biarkan Siswa Berproses dengan Bahagia

Kegagalan sekolah dalam pendidikan terlihat jelas ketika sedikit ditemukan kebahagiaan dalam diri siswanya. Jangan sampai siswa datang ke sekolah bukan karena dorongan internal. Karena belajar harus dipahami sebagai kewajiban yang sudah seharusnya terjadi sebagai konsekuensi hidup.

Siswa sudah harus dilayani, dimengerti, dan difasilitasi dalam segala upaya pengembangan dirinya. Pelarangan-pelarangan yang kurang argumentatif dan berdasar sudah harus diminimalisasi. Pelarangan harus disesuaikan dengan proses pembelajaran. Kalau hanya sekadar membawa lato-lato di sekolah, tentu menyesuaikan aturan adalah langkah paling tepat, bukan pelarangan. Bisa jadi, siswa lebih semangat dan bahagia datang ke sekolah saat membawa lato-lato sebelum dibuat main di jam istirahat.

Sekali lagi, upaya penyesuaian aturan dengan konten viral lebih relevan dijalani ketimbang pelarangan yang membabi buta. Bila diterapkan dalam praktik yang berkelanjutan, besar kemungkinan siswa akan mulai belajar dan berkarakter berdasarkan lingkungan dia tumbuh dan bekembang.

Ketakutan akan adanya dampak buruk atas lato-lato tidak akan sulit terjelaskan. Apalagi sampai pada ketakutan yang berlebih. Toh lato-lato ini hanyalah basis budaya pop, yang hadir untuk menghilang pada periode singkatnya. Jadi, langkah terbaik memang menyesuaikan aturan dan diri dalam kebahagiaan selagi budaya pop itu berlangsung.

Ikuti tulisan menarik Alfian Bahri lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 13 Maret 2024 11:54 WIB

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 13 Maret 2024 11:54 WIB