Ki Nartosabdo, Sang Legenda dan Pembaharu dari Kota Atlas

Selasa, 14 Februari 2023 06:23 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Ki Narto Sabdo
Iklan

Nama Ki Nartosabdho dalam jagad pewayangan Indonesia adalah legenda. Ki Nartosabdho hingga kini tercatat merupakan dalang wayang kulit terbaik yang pernah dimiliki Indonesia dan belum tergantikan. Ini diakui oleh salah satu dalang ternama Indonesiaalmarhum Ki Manteb Soedharsono yang juga salah satu muridnya. Ki Nartosabdho lahir di Klaten, 25 Agustus 1925 dan meninggal di Semarang, 7 Oktober 1985 pada umur 60 tahun, selain dalang juga adalah seorang seniman musik yang karya-karyanya sangat monumental.

Nama Ki Nartosabdho dalam jagad pewayangan Indonesia adalah legenda. Ki Nartosabdho hingga kini tercatat merupakan  dalang wayang kulit terbaik yang pernah dimiliki Indonesia dan belum tergantikan. Ini diakui oleh salah satu dalang ternama Indonesiaalmarhum Ki Manteb Soedharsono yang juga salah satu muridnya.

Ki Nartosabdho lahir di Klaten, 25 Agustus 1925  dan  meninggal di Semarang, 7 Oktober 1985 pada umur 60 tahun, selain dalang juga  adalah seorang seniman musik yang karya-karyanya sangat monumental.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 Ki Nartosabdho yang mempunyai nama asli Soenarto merupakan putra seorang perajin sarung keris bernama Partinoyo. Kehidupan masa kecilnya yang serba kekurangan membuat Soenarto putus sekolah dalam pendidikan formalnya, yaitu Standaard School Muhammadiyah atau SD 5 tahun.

Melalui bakat seni yang dimiliki Soenarto melalui bakat seninya ikut membantu kehidupan ekonomi keluarga yang serba sulit. Soenarto pernah menjadi seorang pelukis, juga sebagai pemain biola dalam orkes keroncong Sinar Purnama. Bakat seni tersebut semakin berkembang ketika Sunarto dapat melanjutkan sekolah di Lembaga Pendidikan Katolik.

Pada tahun 1945 Soenarto berkenalan dengan pendiri grup Wayang Orang Ngesti Pandowo, yaitu Ki Sastrosabdho. Sejak itu ia mulai mengenal dunia pedalangan di mana Ki Sastrosabdho sebagai gurunya. Bahkan karena jasa-jasanya membuat banyak kreasi baru bagi grup tersebut, Soenarto memperoleh gelar tambahan "Sabdo" di belakang nama aslinya. Gelar itu diterimanya pada tahun 1948, sehingga sejak saat itu namanya berubah menjadi Nartosabdo.

Kiprah Nartosabdo


Meskipun berasal dari Jawa Tengah, namun Ki Nartosabdho muncul pertama kali sebagai dalang justru di Jakarta, tepatnya di Gedung PTIK yang disiarkan secara langsung oleh RRI pada tanggal 28 April 1958. Lakon yang ia tempilkan saat itu adalah Kresna Duta. Pengalaman pertama mendalang tersebut sempat membuat Ki Narto panik di atas pentas karena pada saat itu pekerjaannya yang sesungguhnya ialah pengendhang grup Ngesti Pandowo

https://www.indonesiana.id/admin/foto#
Ki Narto sejak remaja sudah menggemari para dalang ternama, seperti Ki Ngabehi Wignyosoetarno dari Sala dan Ki Poedjosoemarto dari Klaten. Ia juga tekun membaca berbagai buku tua. Kepala Studio RRI waktu itu, Sukiman menawari Ki Narto untuk mendalang, sehingga jadilah pertunjukan di PTIK tersebut.

Penampilan perdana itu langsung mengangkat nama Ki Narto. Berturut-turut ia mendapat kesempatan mendalang di Solo, Surabaya, Yogya, dan seterusnya. Lahir pula cerita-cerita gubahannya, seperti Dasa Griwa, Mustakaweni, Ismaya Maneges, Gatutkaca Sungging, Gatutkaca Wisuda, Arjuna Cinoba, Kresna Apus, dan Begawan Sendang Garba. Semua itu ia dapatkan karena banyak belajar sendiri, tidak seperti dalang lain yang pada umumnya lahir dari keturunan dalang pula, atau ada pula istilah dalang kewahyon atawa dalang yang mendapat wahyu.

Sang Pembaharu

Karena sering mementaskan lakon carangan Ki Narto pun sering mendapat banyak kritik. Ia juga dianggap terlalu menyimpang dari pakem, antara lain berani menampilkan humor sebagai selingan dalam adegan keraton yang biasanya kaku dan formal. Namun kritikan-kritikan tersebut tidak membuatnya gentar, justru semakin banyak berkarya.

Ki Nartosabdho dapat dikatakan sebagai pembaharu dunia pedalangan di tahun 80-an. Gebrakannya dalam memasukkan gending-gending ciptaannya membuat banyak dalang senior yang memojokkannya. Bahkan ada RRI di salah satu kota memboikot hasil karyanya. Meskipun demikian dukungan juga mengalir antara lain dari dalang-dalang muda yang menginginkan pembaharuan di mana seni wayang hendaknya lebih luwes dan tidak kaku.

Selain sebagai dalang ternama, Ki Narto juga dikenal sebagai pencipta lagu-lagu Jawa yang sangat produktif. Melalui grup karawitan bernama Condong Raos yang ia dirikan, lahir sekitar 319 buah judul lagu (lelagon) atau gending, antara lain Caping Gunung, Gambang Suling, Ibu Pertiwi, Klinci Ucul, Prau Layar, Ngundhuh Layangan, dan Rujak Jeruk.

Perjalanan hidupnya yang panjang membuat karya-karya gendhingnya memiliki karakter dan khas milik Ki Nartosabdho. Maka gending-gendingnya mendapat sebutan  Gendhing-gendhing Nartosabdhan.

Dalang muda asal Semarang Jose Amadeus meski belum pernah bersua mengakui kepiawaian Ki Nartosabdho. Menurut Jose, Ki Nartosabdho merupakan seniman multi talenta, cerdas dan kreatif. Bumbu lawakan-lawakannya lucu tetapi tidak saru. “Beliau adalah dalang favorit saya. Beliau berpikiran revoluasioner, tetapi logis.  Banyak seniman yang ngangsu kawruh dengannya, baik secara langsung mapun tak langsung, ” ujar Jose.

Jose menambahkan karya-karya gendhingnya sangat relevan hingga kini, karena syair-syairnya sangat dekat dengan kehidupan masyarakat, tentang Cinta Tanah Air, Pembangunan Semarang dan Jawa Tengah.

 

Tri Karsa Budhaya

Sekretariat Pewayangan Indonesia memberi istilah Ki Nartosabdho karya-karyanya memiliki Tri Karsa Budhaya yang mengandung makna menggali, mengembangkan dan melestarikan kebudayaan nasional. Dengan kesadaran Tri Karsa Budhaya inilah Ki Nartosabdho terus mewarnai jagad kesenian Indonesia. Lagui-lagu rakyata yang digalinya antara lain;  Kembang Glepang Banyumasan, Miji Lelayu, Jurang Jugrug dan banyak lagi.

Dengan grup Karawitan Condong Raos yang dipimpinnya lagu-lagu lawas tersebut menjadi segar dan enak dinikmati. Gebrakannya yang dinilai berlawan arus ini tentu saja tak terus berjalan lurus. Bahkan gendihing-gendhingnya sempat tak dikumandangkan di sebuah radio yang dulu merupakan ujung tombak untuk mempopulerkan seni budaya.

 

Sebagai kretaor Ki Nartosabdho justru makin giat berkreasi bersama grup karawatitan Condong Raos. Dia juga mengangkatnya lewat pakeliran, maka gendhing-gendhingnya makin dikenal masyarakat luas.

Siapa tak kenal gendhing Lesung Jumengglung, dan gendhing Ampat Lima. Mendekati kepergiannya Ki Nartosabdho menciptakan gending yang elok tanah kelahirannya bertajuk: Wawasan Indentitas Jawa Tengah. Karya-karya terus mengalir menapaki waktu, tak bisa dibendung. Ratusan Gendhing-gendhing Nartosabdhan lahir dari tangan dinginnya. Karya-karyanya yang monumental menempatkan Ki Nartosabdho dengan seniman-seniman besar yang dimiliki Indonesia.

Bukan karena lantaran banyaknya 319 gendhing karyanya tetapi juga karena kualitas gendhing ciptaannya sehingga mendapat tempat yang istimewa di hati para seniman karawitan, waranggana dan dalang, secara kualitas karyanya belum ada tandingannya.

Ki Anom Soeroto, Ki Timbul , Nyi Suharti mengaku bukan hnya kagum dengan karya Ki Nartosabdho, tetapi juga menjadi murid baik secara langsung maupun tak langsung.

Gendhing-gendhing Nartosabdhan  memiliki karakteristik yang berisi beberapa hal, antara lain; Unsur Gregel seperti yang ada dalam syair Dhandhang Gula Sisa Asih. Ada Wiled, cengkok ---yang menunjukkan naik turunnya titi laras—hal ini napak betul pada sewtiap lagu yang memasuki interlude. Sigrak, hampir setiap lagon (jenis gending yang terlepas dari Subokasto; gendhing KetawangLadrang dan Lancaran, di dalamnya terkandung unsur dinamis yang merangsang orang yang mendengarnya terhanyut dengan lagu-lagu tersebut.

*) Christian Heru Cahyo Saputro,penggiat Heritage di Jung Foundation, anggota Pan Sumatera Heritage, kini bermukim di Semarang.

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Christian Saputro (Christian Heru Cahyo Saputro)

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler