“Uang adalah sistem saling percaya yang paling universal dan paling efisien yang pernah diciptakan”;
“Agama-agama tidak bisa bersepakat dalam keyakinan religius, tetapi bisa menyepakati keyakinan moneter; karena walaupun agama meminta kita memercayai sesuatu, uang meminta kita memercayai sesuatu yang dipercaya orang lain”
Sebelum adanya uang, manusia melakukan transaksi barang atau jasa dengan sistem barter (tukar-menukar), yaitu menukarkan barang atau jasa yang dimiliki dengan barang atau jasa yang dibutuhkan. Pada waktu itu, manusia masih hidup dalam kelompok-kelompok kecil yang intim. Setiap komunitas (desa) adalah kesatuan ekonomi yang mandiri, yang ditopang dengan gotong-royong dan sedikit barter dengan pihak luar.
Seorang warga desa bisa memiliki keahlian dalam membuat pisau. Sedangkan seorang yang lain memiliki keahlian dalam pengobatan. Sehingga para penduduk desa tahu ke mana harus pergi ketika tak punya pisau atau sedang sakit. Namun, desa-desa itu kecil dan ekonomi mereka terbatas, sehingga tak mungkin ada pembuat pisau atau peramu herbal yang bekerja penuh waktu.
Ekonomi gotong-royong tidak bisa berjalan ketika banyak orang yang saling tidak mengenal berusaha untuk bekerjasama. Memberi bantuan gratis kepada saudara atau tetangga adalah satu hal, akan tetapi merawat orang asing yang sedang sakit bisa jadi tak pernah memberikan balasan adalah hal lain yang berbeda. Seseorang dapat kembali mengandalkan barter. Namun, barter hanya bisa efektif untuk pertukaran dengan produk terbatas. Barter tidak bisa menjadi basis bagi sebuah ekonomi yang kompleks.
Kekurangan barter adalah sekalipun kita mampu mengalkulasi berapa banyak barang yang nilainya setara dengan barang lainnya, barter tidak selalu bisa dilakukan. Lagi pula, perdagangan bisa terjadi jika setiap pihak menginginkan apa yang ditawarkan oleh pihak lain.
Sebagian masyarakat berusaha mengatasi masalah di atas dengan menciptakan sistem “barter terpusat”, yang mengumpulkan produk-produk dari para petani dan produsen ahli serta mendistribusikan barang-barang tersebut kepada orang-orang yang membutuhkan. Eksperimen ini pernah dilakukan di Uni Soviet, namun gagal total. “Setiap orang akan bekerja sesuai kemampuan mereka, dan menerima sesuai kebutuhan mereka”, terbukti dalam praktiknya menjadi “seseorang akan bekerja sesedikit mungkin dan menerima sebanyak yang mereka bisa ambil”.
Urgensi Mata Uang
Agar sistem-sistem komersial yang kompleks bisa berjalan, keberadaan suatu jenis uang tertentu adalah hal yang tak terelakkan. Seorang pembuat tembikar dalam sebuah ekonomi uang hanya perlu mengetahui tentang harga yang tertera pada beragam tembikar, tak perlu menghafal nilai tukar antara tembikar dan buah apel atau kambing. Uang juga membebaskan para penanam apel dari kebutuhan mencari para pembuat tembikar yang sangat butuh apel, karena setiap orang senantiasa menginginkan uang.
Mungkin inilah kualitasnya yang paling mendasar. Setiap orang senantiasa menginginkan uang karena setiap orang lain juga menginginkan uang, yang berarti bahwa kita bisa menukarkan uang dengan apa pun yang kita inginkan atau butuhkan. Pembuat tembikar akan selalu senang menerima uang, tak peduli apa pun yang dia inginkan (buah apel, kambing, atau lainnya), karena dia bisa mendapatkannya dengan uang. Oleh karena itu, uang adalah medium pertukaran universal yang memungkinkan seseorang mengonversi hampir segala hal dengan hal lain apa pun.
Jenis-jenis ideal uang memungkinkan seseorang tidak semata-mata menukar satu benda dengan benda lainnya, tetapi juga menyimpan kekayaan (properti). Dalam rangka menggunakan kekayaan, tidak cukup hanya dengan menyimpannya. Sering ada keharusan untuk mengangkutnya dari satu tempat ke tempat lain. Misalnya peristiwa migrasi. Namun, tidak semua kekayaan bisa diangkut dengan mudah. Oleh karena itu, pemilik bisa menjual propertinya dan membeli semua yang dibutuhkannya di tempat yang baru.
Karena bisa menukar, menyimpan, dan mengangkut harta dengan mudah dan murah, maka uang bisa memberi kontribusi bagi munculnya jaringan komersial yang kompleks dan pasar-pasar yang dimanis.
Cara Kerja Uang
Uang hanya memiliki nilai dalam imajinasi bersama. Nilainya tidak inheren dalam struktur kimiawi koin dan kertas, warna, maupun bentuknya. Atau dengan kata lain, nilai instrinsik tidak sama (bahkan sangat jauh berbeda) dengan nilai ekstrinsik. Uang bukanlah sebuah realitas material, melainkan sebuah konstruk psikologis. Ia bekerja dengan mengubah materi menjadi pikiran.
Namun, mengapa bisa berhasil?
Mengapa orang bersedia menukar lahan sawah yang subur dengan beberapa lembar uang? Mengapa kita mau memanggang sate, menjual asuransi kesehatan, atau mengasuh anak orang lain yang menjengkelkan hanya demi beberapa lembar kertas berwarna?
Orang bersedia melakukan hal semacam itu, ketika mereka percaya kepada omong kosong imajinasi kolektif mereka sendiri. Kepercayaan adalah bahan baku dari semua jenis uang yang dicetak. Ketika seorang petani kaya-raya menjual harta-bendanya dan pergi ke daerah lain dengan membawa uang, dia percaya bahwa sesampainya di tempat tujuan, orang lain akan bersedia menjual beras, sawah, atau rumah untuk ditukarkan dengan uang.
Dengan demikian, uang adalah sebuah sistem saling percaya yang paling universal dan paling efisien yang pernah diciptakan. Hal yang menciptakan kepercayaan ini adalah suatu jalinan relasi-relasi politik, sosial, dan ekonomi yang sangat rumit dan jangka panjang. Mengapa saya memercayai uang koin atau kertas? Karena para tetangga saya juga memercayainya. Para tetangga saya memercayai karena saya memercayainya. Kami semua memercayai karena presiden kami memercayainya dan memintanya sebagai pajak, dan karena para kiai (pendeta) memercayainya dan memintanya sebagai sedekah.
Peran krusial kepercayaan menjelaskan mengapa sistem keuangan kita juga sangat erat terkait dengan sistem politik, sosial, ekonomi, dan ideologi kita. Mengapa krisis finansial sering dipicu oleh perkembangan politik, dan mengapa pasar saham bisa naik atau turun bergantung kepada suasana hati para pedagang di pagi hari.
Fakta bahwa orang lain memercayai uang koin, uang kertas, atau uang digital. Hal ini sudah cukup untuk memperkuat keyakinan kita kepadanya, sekalipun orang itu dibenci, diolok-olok, atau diremehkan oleh kita. Kristen dam Muslim yang tidak bisa bersepakat dalam keyakinan religius tetap bisa menyepakati keyakinan moneter, karena walaupun agama meminta kita memercayai sesuatu, uang meminta memercayai sesuatu yang dipercaya orang lain.
Selama ribuan tahun, para filsuf, pemikir, dan nabi “mencela” uang dan menyebutnya sebagai akar semua kejahatan. Boleh setuju boleh tidak, uang juga adalah puncak dari toleransi manusia. Uang lebih berpikiran terbuka ketimbang bahasa, hukum negara, norma budaya, keyakinan religius, dan kebiasaan-kebiasaan sosial.
Uang adalah satu-satunya sistem kepercayaan yang diciptakan manusia yang bisa menjembatani hampir setiap jurang kultural, dan yang tidak mendiskriminasi berdasarkan agama, ras, gender, usia, atau orientasi seksual. Berkat uang, bahkan orang yang tidak saling mengenal dan tidak saling percaya, tetap bisa bekerjasama secara efektif.
*****
Begitulah kepercayaan manusia terhadap uang. Namun yang perlu digarisbawahi adalah ketika kepercayaan atau kepemilikan seseorang terhadap uang sudah melampaui batas, maka sila pertama Pancasila yang diplesetkan menjadi “Keuangan Yang Mahaesa” adalah sebuah kenyataan.
Referensi:
Yuval Noah Harari, Money, Hikayat Uang dan Lahirnya Kaum Rebahan, Global Indo Kreatif, Manado, 2020
Ikuti tulisan menarik trimanto ngaderi lainnya di sini.