x

Iklan

Christian Saputro

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 18 Juni 2022

Rabu, 29 Maret 2023 06:49 WIB

Sandyakalaning Teater Tradisi Lampung “Warahan”

Indonesia punya sederet teater tradisi yang hingga kini tetap hidup eksis dalam komunitasnya. Sebut saja, Didong (Aceh), Bakaba (Sumatera Barat), Dul Muluk (Sumsel), Lenong (Jakarta) Dalang Jemblung (Banyumas), Ketoprak (Jateng), Ludruk (jatim) Arja (Bali), dan Mamanda (Riau dan Kalimantan). Lampung memiliki teater tradisional yang disebut warahan atau Wewarahan.Warahan adalah sebuah jenis teater mula yang juga disebut pra teater atau embrio teater daerah Lampung.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Lampung memiliki teater tradisional yang disebut warahan atau Wewarahan.Warahan adalah sebuah jenis teater mula yang juga disebut pra teater atau embrio teater daerah Lampung.

 

Di tengah dunia yang serba digital bagaimana keberadaannya kini?  Apakah warahan bisa bersaing dengan kesenian pop yang menggelontor lewat layar kaca dan virtual  hingga ke pekon-pekon.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Teater tradisional merupakan sebuah  bentuk teater asli ----yang bersumber dan berakar pada bumi Indonesia--- telah dirasakan dan dimiliki masyarakat lingkungannya dapat  ditemukan diberbagai daerah di Indonesia. Bahasa pengantar dalam pertunjukan  biasanya menggunakan bahasa daerah setempat. Maka dari itu teater tradisional juga sering disebut teater daerah.

 

Indonesia punya sederet teater tradisi yang hingga kini tetap hidup eksis dalam komunitasnya. Sebut saja, Didong (Aceh), Bakaba (Sumatera Barat), Dul Muluk (Sumsel), Lenong (Jakarta) Dalang Jemblung (Banyumas), Ketoprak (Jateng), Ludruk (jatim) Arja (Bali), dan Mamanda (Riau dan Kalimantan).

 

Di daerah Lampung sendiri hingga saat ini  hidup beberapa jenis teater tradisional seperti ludruk, ketoprak, dan lenong yang masing-masing berasal dari daerah asalnya.

 

Sedangkan Lampung memiliki teater tradisional yang disebut warahan wujudnya sendiri berupa sastra lisan (sastra daerah—pen) yang dituturkan oleh seseorang yang disebut pewarah.

 

Teater Tutur

Oleh karena itu, warahan ini merupakan teater tutur yang menceritakan dongeng-dongeng atau cerita rakyat yang berisi nasehat-nasehat dan di dengarkan oleh sekelompok orang.

 

Warahan biasanya digelar pada sore hari atau malam hari. Warahan adalah warisan nenek moyang, maka di dalam cerita-ceritanya sering terdapat hal-hal yang aneh menurut logika dan  pikiran kita atau tidak  ilmiah.

Warahan Aruk Gugar

Tema ceritanya biasanya  banyak sekali terdapat dalam fable, seperti; binatang berbicara seperti manusia dan sebagainya. Namun yang perlu kita petik dari cerita warahan ini adalah tendensi atau maksudnya.

 

Pada zaman dahulu saat nenek moyang kita belum mengenal dunia sekolah,maka warahan ini dijadikan  sebagai sarana untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak , menantu  dan cucu dansebagainya.

 

Asal Usul Warahan

Secara etimologis mungkin masyarakat Lampung  kurang mengetahui arti dari warahan itu sendiri. Hanya ada beberapa tokoh masyarakat berpendapat bahwa warahan dekat pengertiannya dengan kata akhca yang berarti berita atau cerita dan akat akhan yang berarti tujuan atau maksud. Dengan kata lain, lebih kurang kedua kata tersebut memiliki arti “Cerita yang mempunyai arah dan tujuan”.

 

Terlepas dari pengertian warahan tersebut merupakan gabungan beberapa unsur atau jenis kesenian yaitu, musik, seni sastra dan seni gerak. Mungkin pada awalnya cerita atau berita memiliki tujuan yang khusus disampaikan merupakan petunjuk atau arahan dengan maksud tuntunan dan contoh-contoh perbuatan yang baik.

 

Warahan berasal dari kata “Warah” yaitu nasehat atau ajaran yang menurut cerita dari tokoh atau tua-tua yang berasal dari Jawa yang telah diadaptasi oleh penduduk yang berada di daerah Lampung.

 

Hal ini bisa saja terjadi dan dimungkinkan dengan masa peralihan dan jatuh bangunnya kerajaan Hindu di pulau Jawa yang digantikan kerajaan Islam. Sekira pada abad ke-15 pada waktu itu dengan dianutnya agama Islam oleh penduduk Banten, maka agama Islam diajarkan atau diwarahkan oleh orang-orang Banten yang datang ke daerah Lampung.

 

Maka berangsur-angsur orang Lampung meninggalkan kepercayaan lamanya dan memeluk agama Islam , searah  dengan kata warahan yang makin memasyakat.

 

Lahirnya warahan ini ditengarai sejak orang Lampung mengenal sastra daerah. Cerita yang dibawakan dapat berbentuk pantun, liris, prosa atau bahasa bebas disertai berbagai kreatifitas dari pewarah yang membawakannya.

 

Warahan yang merupakan teater mula daerah lampung mempunyai fungsi sebagi alat hiburan, alat pendidikan, penerangan dan sebagai  pembangkit rasa keindahan. Saat ini warahan itu sudah jarang sekali dilakukan di daerah Lampung terutama di kota-kota besar, apalagi para pendukungnya sudah berusia lanjut.

 

Hal ini juga karena kemajuan teknologi komunikasi dan audio visual dan di satu pihak kurangnya perhatian terhadap perkembangan warahan, sehingga warahan makin terdesak. Untuk menyelamatkan warahan ini perlu dibina dan dikembangkan warahan sebagai sumber inspirasi dalam mengolah teater tardisional maupun modern.

 

Kesejarahan

Pada uraian terdahulu Warahan banyak bertitiktolak pada pendapat atau bersumber pada seniman usia lanjut atau tokoh masyarakat dan sedikit pengalaman. Warahan ini dikenal sulit dilacak. Beberapa cerita yang dikenal sering dibawakan oleh sipembawa cerita atau pewarah, seperti: Cerita Anak Dalom, Khaya Ngaka Pitu, Sitamba dan Warahan Radin Jambat Hangkirat.

 

Pada awalnya cerita warahan itu disampikan dalam bentuk cerita diawali dengan kata pembukaan yang disebut Sumbah Siah. Biasanya warahan ini dilakukan pada malam hari menjelang tidur. Biasanya ada tradisi nenek atau kakek, setelah lelah bekerja seharian, minta diurut kakinya oleh anak cucu. Agar tidak mengantuk si kakek bercerita sesuai dengan keinginan anak cucunya.

 

Sepanjang bercerita biasanya si kakek hanya telunghkup, tetapi saat cerita tersebut menggambarkan sesuatu yang istimewa, maka kakek bangun memeragakan sesuai dengan isi cerita, misalnya menggambarkan kecantikan seorang putri, kegagahan seorang pemuda dan lain-lain.

 

Pada saat warahan seperti ini tidak ada alat musik yang mengiringi, tetapi yang berfungsi sebagai musik dari dalam diri seperti tepuk tangan, suara mulut dan lain-lain. Pada perkembangannya timbulah tokoh-tokoh pewarah, yang dalam pertunjukkannya menggunakan properti.

 

Warahan (cerita) yang disampaikan sebagai media untuk menyampaikan petuah sekaligus untuk hiburan dan rekreasi. Tokoh-tokoh pewarah cukup  dikenal masa itu  antara lain; Tamong Bama dan Mamak Barahim. Pewarah ini mulai  diundang dan ditanggap masyarakat terutama pada acara-acara tertentu yang terkait dengan pelaksanaan upacara dan gawi adat.

 

Si pewarah duduk bersila dengan pakain rapi di hadapan para pendengar yang melingkar atau mengikuti bentuk arena yang disediakan atau di sediakan tempat khusus yang disebut babakhung atau balai.

 

Warahan berupa bentuk bait-bait  pantun lisan yang disampaikan tanpa teks dengan diiringi alat musik khas yaitu gambus lunik. Dengan demikian sipewarah telah menghayati isi cerita yang disampaikan sekaligus si pewarah memulai warahannya sesuai pokok penyuluhan (gawi adat). Biasa warahan ditaja sekira bakda Isya hingga menjelang beduk subuh tiba.

 

Perkembangan Warahan

Berdasarkan penelitian Dinas Pendidikan dan Kesenian Provinsi Lampung pada tahun 1976 dan 1978, warahan dikategorikan sebagai seni teater tutur. Pada perkembangan berikutnya, salah satu tokoh teater Lampung almarhum BM Gutomo alias Sembrani mencoba menyentuh dan mengolah warahan ke menjadi sebuah seni pertunjukan rakyat.

 

Maka pada tahun 1980 ketika digelar   Festival Seni Pertunjukan Tingkat Nasional di Taman Ismail Marzuki(TIM), Jakarta, Lampung menyajikan materi Warahan. Pada kesempatan itu Lampung membawakan warahan yang berjudul “Pemasu” (pemburu) dengan pewarah Mursid Ali.

https://www.indonesiana.id/admin/foto#

Pada perkembangan berikutnya  teaterawan Lampung Wawan Dharmawan dengan sanggar seni “Beringin Jaya” (dulu)  dan “Lamban Budaya” (kini) terus konsisten mengembangkan warahan. Wawan mengemas Warahan dengan sentuhan Pertunjukan Rakyat.

 

Beberapakali Warahan garapan Wawan ini berjaya di Festival Pertunjukan Rakyat (Jukra) tingkat nasional  yang ditaja era  Departemen Penerangan belum dilikuidasi. Sekain itu, secara rutin Wawan dan Grup Lamban Budaya rutin mengisi warahan di TVRI SPK Lampung.

 

Selain itu, masih ada Jalu Mampang dengan teater “Jaman”nya yang rajin menularkan konsep warahan pada komunitas teater pelajar Lampung.

 

Terkini,  Teater Satu (Bandar Lampung) yang dimotori Iswadi Pratama terus mengolah warahan dalam sentuhan dramaturgi modern. Ruh “tradisi” warahan yang konsisten disuntikkan  Iswadi Pratama selaku sutradara  dalam setiap garapannya ini menjadikan “Teater Satu” yang dipimpinnya punya karakter dan  berbeda dengan teater modern lainnya.

 

Teater yang pernah menyabet juara ketiga Festival Teater Alternatif yang ditaja TIM dan Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) ini, kini merupakan salah satu teater potensial di Indonesia dan cukup diperbincangkan.

 

Selain itu, kiprah Teater Satu makin mantap,  beberapa kali  pentas di Teater Utan Kayu (TUK), Taman Ismail Marzuki (TIM), Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) juga di beberapa kota seperti Tegal, Solo, Bandung, Makasar dan mendapat dana hibah dari Yayasan Kelola.

 

Bentuk Penyajiannya

Teater merupakan salah satu bentuk seni yang bersumber dari materi gerak dan suara yang terpadu, yang diekpresikan lewat laku dan dialog dengan jalinan cerita.

 

Warahan ini disebut teater mula, embrio atau pra taeter, karena cara penyajian warahan ini belum selengkapnya memenuhi persyaratan seperti bentuk teater pada umumnya.

 

Namun demikian warahan sebagai teater tradisional Lmapung mempunyai unsur pokok taeter berupa adanya ceita lakon, pelaku (pewarah) yaitu yang membawakan lakon dan penonton atau pendengar, walaupun unsur itu tidak lengkap sebagai sebuah teater.

 

Pergelaran warahan biasanya dilakukan di arena bebas. Pelakon atau pewarah biasanya orang yang pandai mewarah umumnya para orang tua yang berusia lanjut. Dalam berkisah biasanya para pewarah terkadang ditemani oleh seorang atau beberapa oarng yang memberikan ilustrasi atau sugesti untuk memperkuat kisah ceritanya.

 

Pewarah biasanya tak menggunakan properti atau alat. Jadi si pewarah biasanya membawakan cerita dalam bahasa Lampung mimik dengan serius, ekspresif dan gerakan-gerakan pendukung yang menarik.

 

Bentuk kesenian yang digolongkan dalam teater tutur ini lama disebut-sebut oleh para seniman teater, tepatnya penataran dan bimbingan tenaga teknis pemilik kebudayaan dan pekerja seni yang diadakan pada tahun 1976 dan tahun 1978 di Provinsi Lmpung, dengan menghadirkan tokoh-tokoh teater dari Direktorat kesenian Jakarta antara lain: A.Kasim Ahmad dan Bapak Yahya Ganda.

 

Warahan yang masuk  cabang seni teater ini  sangat membutuhkan sentuhan tangan para pekerja seni, untuk menjadi karya seni agar dapat dinikmati masyarakat Lampung.

 

Warahan Diteliti

Tak hanya itu, akhirnya, Warahan pun mulai dilirik dunia akademis dan jadi ajang penelitian. Setidaknya pada tahun 1992 Imas Sobariah dari STSI Bandung mengusung warahan dalam skripsinya bertajuk” Warahan di Lampung” yang mengupas sandyakalaning dan denyut kehidupan warahan di Lampung. Penelitian Imas Sobariah yang mengangkat Warahan ini makin memperkokoh eksistensi seni teater ini.

 

Terkini pada  tahun 2008 lalu, Linda , Mahasiswa Pasca Sarjana UGM asal Lampung , dari Program Studi Ilmu Kedokteran melakukan penelitian tentang warahan sebagai media promosi kesehatan (promkes), melalui tesisnya yang mengusung tajuk: Pengaruh Media Kesenian Tradisional Warahan Terhadap Peningkatan Pengetahuan dan Sikap Masyarakat Dalam Pengenalan Tersangka Tuberkolosis Paru(TB) di Kecamatan Telukbetung Barat, Kota Bandar Lampung  

 

Menurut hasil penelitian Linda setelah diintervensi dengan media kesenian tradisional warahan, pengetahuan dan sikap kelompok warahan meningkat dan retensi bertahan hingga sebulan..

 

Sedangkan pada kelompok ceramah hanya dapat meningkatkan pengetahuan dalam jangka pendek. Hanya hingga postes pertama, sedangkan sikap masyarakat tidak berubah dalam pengenalan tersangka tuberkolosis  (TB) paru.

 

Kesimpulan dari penelitian dari Linda yang kini sudah berhasil menggondol gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dari Universitas Gajah Mada ini, penyajian pesan TB Paru melalui media kesenian tradisional Warahan lebih meningkatkan pengetahuan dan sikap masyarakat dalam pengenalan tersangka penderita Tuberkolosis paru dibandingkan dengan mengunakan media ceramah.

 

Media Industri Kreatif

Jadi, sekarang seiring dengan perkembangannya warahan selain berfungsi  sebagai media hiburan dapat  dijadikan media sosialisasi dan informasi. Seni (teater) warahan dapat dijadikan salah satu  alternatif untuk promosi dan kampanye kesehatan atau program-program pemerintah lainnya.

Teater warahan dapat diadopsi menjadi seni pertunjukan yang dapat dijadikan salah satu alternatif tontonan dan sekaligus tuntunan pada masyarakat.

 

Di samping itu warahan sebagai salah satu warisan budaya tak teraga (intangible) dapat dijadikan salah satu ikon budaya Lampung. Diharapkan warahan ke depan sebagai salah satu seni pertunjukan khas Lampung semakin eksis dan berumbuhkembang di era industri kreatif yang makin penuh dengan tantangan ini.

*) Christian Heru Cahyo Saputro, pemerhati seni tradisi, tukang tulis suka berbagi kisah tinggal di Semarang.

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Christian Saputro lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler