x

Iklan

Didi Adrian

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 5 Februari 2023

Minggu, 2 April 2023 06:13 WIB

Dersik

Ada api di kepalaku, perut dan seluruh badanku. Menyala-nyala tak henti. Aku tak hirau saat itu pagi atau siang. Lidahku diikat sang iblis. Kelu dan pahit. Kepalaku bolong dipalu berdentam-dentam. Dersik betina berputar-putar di langit-langit. Samar-samar ibu teronggok di ujung dipan, memegang celemek basah. Demamku tak kunjung reda.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tiba-tiba, sepagi ini ada yang mengetuk jendela kamarku. Lemah dan berirama. Padahal kamar kos-ku di lantai 2. Padahal belum terang tanah dan ayam jantan belum berkokok tiga kali. Arunika pun belum datang dimana semburan cahaya pagi dihadang akan membentur benda dan dirimu. Kemudian bayang-bayang dilempar, dibuang jauh-jauh, memanjang. Agar panjanglah rasa syukur kita, jauhlah keinginan kita dan semangat kita memuai bersama hangat, energi dan usiamu. Karena itu pagi.

Siapa gerangan pengetuk jendela pagi begini? Tirai jendela melenggak-lenggok gemulai bak gaun primadona ditumbur angin. Kusibak sedikit. Pengait jendela berayun-ayun berirama dihembus dersik pagi. Berayun serupa ketukan. Jendela kamar memang terkuak seperempat, agar ada aliran udara masuk mengusir cuaca panas. Angin pagi pun masuk. Udara basah beraroma petrikor sisa hujan tadi malam berbondong datang. Sejuk.

“Mengapa kalian datang sepagi ini?” tanyaku setengah sebak sisa menguap.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Memang begitulah pesan ibumu,” tukas mereka riang.

Ibu memang selalu bangun pagi dan selalu yang pertama membuka jendela, pintu dan lubang-lubang hawa  seperti kaca nako serta ventilasi lain. Bangunlah pagi sekali katanya, serta buka jendela, pintu serta ventilasi agar angin pagi membawa udara segar datang.  Angin pagi yang akan membasuh semua bilur dan luka-luka hari kemarin. Angin pagi menebarkan wangi rejeki baru yang ditaburkan bagi siapapun yang  pertama kali siap menyambutnya.

Kota kami terletak di kaki Gunung Dempo. Di satu lembah seperti periuk menengadah dipagari barisan bukit meriung sekelilingnya. Karena itu, selain hujan dan kabut, angin pagi serta cuaca dingin adalah makanan sehari-hari. Apalagi jika gelap malam sudah memeluk bumi,  penduduk kota lebih senang meringkuk di balik selimut berlapis-lapis. Hanya beberapa saja yang tahan duduk di luar rumah, berkelumun sarung lengkap dengan bebat leher menahan angin. Angin malam. Entah kenapa, Ibu tak pernah menyebut untuk menyambut angin malam.

“Tapi, malam dan pagi adalah saudara,” ujar Ibu suatu kali.

“Benarkah?” tanyaku polos.

Malam dan pagi bersaudara. Mereka meringkuk mesra dipeluk waktu. Saat cahaya datang, mendorong bayang menjadi panjang, pagi bangun dari ketiak gelap. Malam dan pagi bersaudara. Hanya lisan kita yang pisahkan mereka. Tulisan manusia bedakan mereka. Sungguhlah khazanah kita cuman itu saja.

Saat malam, ada luka dalam kepalaku. Meruyak dan bernanah, ulat-ulatnya rajin menggeliat. Saat dongeng pengantar tidur dibacakan. Aku yang masih kelas satu SD saat itu. Pada malam hari apabila ibu ingin menceritakan dongeng, dia akan menurunkan lampu petromaks yang tergantung rendah di pojok kamar kemudian diletakkan mendekat ke atas meja mesin jahit. Dipompa dahulu sedikit untuk menambah tekanan gas agar nyalanya makin terang. Duduklah kami rapat-rapat bertiga kakak beradik. Yang sulung sudah tidur duluan.

Biasanya ibu akan membuka kisah dongeng dengan cuplikan sajak, entah darimana. Kali ini tentang pagi:

Kekasih sang Waktu

datang kembali…

mengendap-endap

menjejak maju memberi hangat

dengan busana terang

mengusir pacar simpanan…kegelapan

Selamat Datang pagi..

Ibu seorang penjahit. Persisnya tidak begitu, menerima pesanan jahitan. Sebagai pemasukan tambahan warung manisan kecil di pasar. Ibu menikah dengan ayah karena dijodohkan. Sejak menikah sudah beberapa kali pindah-pindah kota. Ibu menurut saja .Sampai akhirnya tiba di kota yang berhawa dingin ini. Angin paginya akan terkenang sampai wafat, kata ibu suatu kali.

Ayah lebih sering tidak di rumah. Bukan menghindar dari ibu. Selama pergi bukan satu hari, dua hari, bahkan berminggu-minggu. Mencari nafkah di kota lain begitu jawaban ayah saat ditanya. Untung ibu seorang yang sabar dan penuh dengan pertimbangan. Bekerja adalah takdir manusiawi. Lahir, tumbuh, dewasa, bekerja lalu mati.

Panggilan cinta dan rasa bersalah mendorong kita bekerja. Cinta pada kehidupan, bukan diam mati seperti pesakitan. Bermalasan darahmu dingin dan otot belulangmu membeku, karena itu bekerjalah. Jika tak bekerja, kita bersalah tatkala di ujung hari, getas lidah anak-anak dan gemuruh busung mereka karena kosong periuk nasi. Karena itu bekerjalah. Dengan bekerja Tuhan berdoa kita melaksanakan, kalau tidak gerangan apa kita memuja-muji Tuhan.

Sebulan sekali, di hari Minggu saat pasar sedang sepi, ibu acap mengajak keempat anaknya ke kebun sekitar setengah jam  dari kota.  Kebun keluarga besar sebenarnya. Kami berlima naik pikap angkutan dusun,  dan aku diambin dengan kain kemben lusuh bercorak kembang sepatu. Tapi saya nyaman melekat di lengan kanan ibu. Setelah melintasi jalan meliuk-liuk dan beberapa kali tekukan dan patahan yang membuat mobil terengah-engah serta adik perempuanku mulai mual dan pusing, sampailah di kebun.

Berbatas jalan, tepi kebun rimbun pohon albasia peneduh tanaman kopi yang menghampar di dalamnya. Sambil melepas kait pintu  kebun, ibu mulai memanggil penjaga kebun Mang Pon, lengkapnya Ponidi. Ponidi datang tergopoh-gopoh, disusul istrinya kemudian masih menyunggi kinjar (keranjang rotan). Keduanya tersenyum sambil menjura, kendati masih berpeluh dari kebun. Ibu pun menjura dengan takzim.

Di dalam kebun kopi keluarga besar ini juga terdapat pemakaman keluarga Tionghoa. Luas kebun sekitar 2 hektar, dengan medan berbukit. Pemakaman terletak di area landai namun sudah di ujung ketinggian dimana kemilau air sungai Selangis nampak. Tatkala sore, kami suka berlama-lama duduk sambil bincang-bincang disana. Melempar pandangan jauh, ke arah kirmizi senja hari melunturi dinding langit sebelah barat.

Tatkala sang mentari yang masih ingin asyik masyuk di bumi direnggut turun poros yang berpusing dan kuasa kosmis. Kemudian muntab purik sejadi-jadinya menghamburkan radiasi magenta sejauh-jauhnya ke dalam hatimu.  Kami baru beranjak setelah gelap tanah dan Ponidi muncul lagi mengabarkan air di jerangan sudah matang dan pendiangan siap untuk masak.

“Kita masak pindang malam ini…pindang serani ikan salai,” kata ibu gembira karena tahu kami juga akan berkicau gembira dengan hidangan masakan kesukaan. Jika bumbu-bumbu sederhana seperti serai, kunyit, cung kediro, lengkuas, cabai, terasi dan asam kandis sudah bergemuhak bersama kuah dalam panci, melelehlah liur-liur dari mulut kecil kami, sementara kepul nasi hangat menari-nari dari periuk.

Sekitaran periuk nasipun sudah ramai dikepung lalap terong, sambal cung, sambal terasi, kemangi, ikan asin serta goreng udang sungai. Hidangan digelar di atas lampit agar Ponidi, istri dan kedua anaknya bisa diajak serta. Satu masih bayi. Aku juga sudah dari sore lepas dari gendongan kain kemben. Tak makan waktu lama, perjuangan purba kala mengisi perut berakhir dengan kemenangan mulut-mulut pedas kepanasan dan peluh membanjir kemana-mana.

Lampu semprong menemani kami bermalam di pondok tengah kebun. Pondok yang hanya ditetak dengan dua sekat, satu untuk dapur disesaki ramai-ramai. Tapi kami senang. Ibu apalagi.

Ibu tak mendongeng, kemudian mengajak kami ke teras depan pondok. Dongakkan kepala, lihatlah. Jutaan bercak-bercak menyala kecil bergantian, berkedip indah. Ketika pahlawan hati sang Terang menarik diri malu-malu mohon pamit.

Kilat berlarian meliuk-liuk tanpa suara. Cahaya hilang, dunia sembunyi, tapi alam semesta tersibak…muncul bintang. Selamat datang malam. Sekelebat lewat harum kembang kopi membuat kami terpejam. Beralas lampit, tatakan bahan seterika serta selimut sarung kumal, kami bergelung serupa luwing berdempet-dempet tidur kekenyangan.

Malam adalah danau sunyi sebatang kara di tengah rimba. Tatkala layar hitam maha besar menelan benderang bulat-bulat. Tapi malam juga adalah tabir pembuka semesta menaburkan remah-remah yang berkerlip jauh, polos tanpa dosa. Saat malam juga adalah dengkur napas di tilam pesing dan bantal apek. Adalah lentik mata bayi dan mulut renta ternganga. Malamlah kematian kecil saat semua letih, kesah dan emosi mengikat janji dalam mimpi. Malam itu kita.

Ujung sarungku seperti ada yang menarik-narik. Susah payah setengah ngeri aku duduk.

“Kamu siapa? Mau apa?” aku bertanya takut-takut. Di luar masih setengah gelap.

Angin pagi. Sebuah dersik duduk tersenyum. Parasnya cindo, dersik betina. Jendela pondok menganga sedikit, ada suara adzan mengalun di kejauhan berkejaran dengan kekeh burung cablak akan pulang. Dersik betina datang menunggang wangi kembang kopi. Damai nian pagi di tengah kebun.

Tatkala jendela berderit menganga terpaksa. Selimut basah udara berair menyergap masuk. Tatkala perincit kecil bernyanyi-nyanyi, lalu pergi. Tatkala keciap pitik kecil mengejar-ngejar babon minta makan, dari jauh kambing tetangga ramai saling sahut, bebek dan entog pun begitu. Burung dara berseru-seru saling beradu. Tatkala kayu berderak-derak marah dimakan api di pendiangan. Sementara denting logam beradu beling, berirama. Meruapkan wangi kopi dan minuman panas siapa punya.. Tatkala percik air membentur bumi dan berserak-serak. Ada kekeh bayi senang, membuka mata dan menjilat bekas iler tadi malam.

“Bagaimana kau bisa kesini?” kembali aku bertanya padanya.

“Gampang, aku ada dimana-mana. Kali ini aku mengajak temanku wangi kembang kopi,” ujar dersik.  “Temanku banyak, mereka menanti tiap aku lewat di pagi hari,” tambahnya yakin.

Ibu sudah di dapur, mencuci alat masak dan menyiapkan masakan. Kain kembenku tersampir dekat pintu.

“Mari kukenalkan kau dengan ibuku,” kataku bersemangat

“Oo, tak usah. Aku sudah tahu kamu sejak dalam kandungan. Aku menemani ibumu dari dulu, setiap pagi,” balasnya setengah tertawa.

Aku masih kelas satu SD. Aku terlempar ke ruang dan jembatan panjang perasaan yang ajaib. Begitu banyak gaung dan gema rasa tak pasti. Seberapa panjang usia sebuah dersik? Selama itu mereka bisa membuat apa saja, dari kabut, awan dan hembusan sepoi-sepoi dari kulit, darah dan badan kita. Cinta anak-anak adalah permainan yang mengumbar tawa dan menyentuh semua tempat menjadi bersinar-sinar. Kehadiran dersik membuka cakrawala yang tersembunyi selama ini. Seperti sebuah aula dengan lautan warna, suara dan dipenuhi udara bermandikan cahaya mentari.

Kehadirannya serupa sentuhan lembut seperti sentuhan ibu pada kulit bayi, merasakan diri dipeluk sesuatu yang sangat lunak, hembusan napas serta kecupan sayang yang berulang-ulang. Bisa pula dalam sekejap mata, melambung tinggi ke pucuk-pucuk misterius berayun dan melayang seperti bulu-bulu yang halus. Bagaimana rasanya  pemikiran anak-anak membandingkan terlelap bersama dersik pagi dan bangun oleh usapan hangat sinar mentari yang menggelitik.

Tapi pagi itu aku mengigil. Ada api di kepalaku, perut dan seluruh badanku. Menyala-nyala tak henti. Aku tak hirau saat itu pagi atau siang. Lidahku diikat sang iblis. Kelu dan pahit. Kepalaku bolong dipalu berdentam-dentam. Dersik betina berputar-putar di langit-langit. Samar-samar ibu teronggok di ujung dipan, memegang celemek basah.  Demamku tak kunjung reda. Persendian dan otot badanku seperti mau lepas. Lindap dan sayu paras ibuku. Temaramnya perasaan ibu menyongsong anak yang sakit. Sudah seminggu aku demam polio.

“Aku mohon, jangan dulu mati. Anak-anakku dan suamiku sangat memerlukan kasih sayangku. Aku berdoa padamu Tuhan, agar anakku bisa sembuh,” ibuku berdoa keras-keras dalam hati.

Aku masih kelas satu SD. Kain kembenku tergantung di belakang pintu, saat dersik tiba-tiba menyelinap masuk. Entah, dia tiba-tiba menceletuk ringan:

“Kenapa pagi begitu indah. Agar mata hatimu bisa melihatku, kata Tuhan. Setelah pagi, kemana engkau pergi Tuhan? Aku tak kemana-mana, berdiam dalam hatimu.”

Ikuti tulisan menarik Didi Adrian lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu