Puisi, perjalanan, dan segala entah

Drama Penerbangan 601; Dua Pembajak versus Dua Pramugari

Selasa, 23 April 2024 19:47 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Eusebio Borja dan Toro, dua pemuda miskin dari Paraguay, meyakini bahwa membajak pesawat terbang adalah cara mewujudkan perjuangan kelas. Dalam filem The Hijacking og Flight 601 ini dua pramugari, Edilma dan Barbara, mencoba seluruh cara mengakhiri mimpi buruk itu. Dalam puncak keputus asaan, pahlawan atau penjahat terlihat abu-abu.

Aku melihat dunia dengan memahami bahwa satu-satunya cara membalikkan mesin sejarah adalah dengan mengangkat tatapan budak sebagai tindakan perlawanan radikal terhadap tatapan menindas tuannya…

Eusebio Borja, pemuda miskin dari Paraguay, meyakini hal itu sebagai kebenaran. Maka ia pun melawan nasib buruknya. Borja, mengklaim sebagai gerlyawan revoluisoner, mewujudkan perlawanan itu dengan membajak pesawat yang terbang dari Bogota. Ia tak sendiri tapi ditemani sahabatnya, seorang pemuda yang sama miskinnya, bernama Toro. Drama lalu bergulir dalam aksi pembajakan selama lima hari tersebut karena dua pramugari, Edilma dan Barbara, mencoba seluruh cara mengakhiri mimpi buruk itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Series The Hijakcking of Flight 601 yang sedang tayang di Netflix ini bukanlah 100 persen sebuah film eksyen. Tentu ada aksi-aksi yang melibatkan senjata api dan perkelahian. Namun secara keseluruhan ini adalah drama yang mengemasan opini sutradara atas kemiskinan akut di benua Amerika Latin dekade 70-an. Kemiskinan yang kian diperburuk praktik korup rezim penguasa dan kerap menggunakan tragedi untuk merebut kekuasaan.

Dari rawa-rawa kemiskinan itulah muncul dua pemuda yang ingin memperbaiki hidupnya. “Di tempat kami hanya ada dua cara mengubah nasib, menjadi pemain bola hebat seperti Pele atau mengangkat senjata,” kata Borja dalam sebuah dialog. Borja dan Toro sudah mencoba jalan pertama tapi gagal. 

Lalu mereka berdua bertemu seorang ideolog gila di kota Cali yang menanamkan pengertian soal perjuangan kelas. Sebuah mantra yang menjadi pegangan banyak kelompok gerilyawan di Amerika latin kala itu. Ideolog yang mencekoki mereka bahwa membajak pesawat adalah perjuangan merebut apa yang telah dicuri kaum borjuis dari mereka. “Setiap orang punya perjuangannya sendiri.”

Tapi di pesawat dengan nomor penerbangan 601 yang membawa 70-an penumpang itu Borja dan Toro berhadapan dengan dua pramugari yang hidupnya tak kalah pahit. Terjadi adu fisik dan kecerdikan, benturan argumentasi, dan kadang terselip simpati yang harus disembunyikan. 

Drama di pesawat ini lalu seperti menyuguhkan adagium: dalam keputus asaan akut setiap orang akan menunjukkan watak aslinya. Di sana, siapa pahlawan dan siapa penjahat lalu menjadi kabur.

Sutradara Pablo Gonzales mengeksekusi karya ini dengan cermat dan berkelas Suasana 70-an berhasil muncul dengan nyata. Hal itu diperkuat latar belakang musik latin yang muncul di saat yang tepat.

Selain itu, tak sedikit adegan dibesut dengan angle unik dan artistik, yang hanya akan menjadi adegan biasa saja jika di tangan sutradara malas. Gonzales juga orang jail, ia menyelipkan humor tipis tapi menohok di sana-sini.

Dan yang terpenting, saya suka akting para pemain kuncinya. Mereka seperti sedang tidak berakting. Monica Lapera pemeran Edilma, misalnya, menyuguhkan sebuah monolog yang brilian saat ia yakin bakal mati dan lalu berpamitan pada ketiga anaknya lewat sebuah rekaman. Sebuah monolog yang bikin jatuh hati.

Series sebanyak enam episode ini, sepertinya sudah membajak saya.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Tulus Wijanarko

Editor Indonesiana

1 Pengikut

img-content

Menjejak Puncak Lawu Setelah 35 Tahun

Minggu, 6 Oktober 2024 08:19 WIB
img-content

Karena Kami Jijik Kepadamu

Kamis, 22 Agustus 2024 05:58 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler