x

cover buku Kronik Tionghoa Tapanuli Selayang Panjang

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 6 Mei 2023 22:09 WIB

Tionghoa Tapanuli Selayang Pandang

Sio Hong Wai menyajikan kronika orang-orang Tionghoa Tapanuli. Buku ini memaparkan asal-usul mereka, perjumpaan mereka dengan budaya lokal, pergumulannya dan mengapa mereka hanya bertahan dua generasi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Kronika Tionghoa  di Tapanuli

Penulis: Sio Hong Wai

Tahun Terbit: 2021

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Penerbit Buku Kompas

Tebal: 288

ISBN: 978-623-241-885-1

 

Tapanuli di Sumatra Utara bukanlah wilayah yang sejarah orang Tionghoa dominan. Mungkin hanya Kota Medan yang dikenal sebagai wilayah yang peran orang Tionghoa cukup besar di Sumatra Utara. Kita harus berterima kasih kepada Sio Hong Wai yang telah mendokumentasikan orang-orang Tionghoa yang sedikit saja di Tapanuli dalam sebuah buku. Melalui kronik ini kita bisa mengenal Tionghoa Tapanuli, meski Selayang pandang.

Hong Wai menguraikan kedatangan orang Tionghoa di Tapanuli. Dari haris penelitian yang dilakukannya, orang Tionghoa datang ke Tapanuli pada medio abad 19. Pada awalnya para imigran dari Tiongkok ini bermukim di pesisir pantai barat Sumatra seperti Barus, Sibolga, Singkil dan Natal (hal. 14, 27). Barulah kemudian mereka menuju ke pedalaman. Selain mereka yang datang secara individu, Hong Wai juga mencatat bahwa kedatangan orang Tionghoa di Sumatra Utara berhubungan dengan tumbuhkan perkebunan orang Eropa di pertengahan abad 19. Orang-orang Tionghoa didatangkan sebagai kuli kontrak.

Hong Wai menggunakan kisah perorangan untuk membangun narasi masuknya orang Tionghoa ke Tapanuli. Nama-nama seperti Liem Kim Tjae (Si Janggut), Joe Kiem Lay, Tjia Sam Tek dan Ang Guan Thong yang datang di pertengahan abad 19 serta Liong Siu, Lie Pi Tau, Gho Tjui Kok, Liem Tiao Lie dan sebagainya yang datang di awal abad 20 dipakai oleh Hong Wai menggambarkan perjalanan orang Tionghoa dari pesisir ke pedalaman Tapanuli.

Hong Wai membahas cukup mendalam tentang orang Tionghoa di Sibolga dan di Lembah Silindung, termasuk Tarutung. Ia juga membahas orang Tionghoa di  Barus, Balige dan Siborong-borong serba singkat.

Berbeda dengan di beberapa tempat dimana orang-orang Tionghoa datang dalam kelompok besar, di Tapanuli umumnya orang Tionghoa datang sebagai individu. Itulah sebabnya banyak orang tionghoa di Tapanuli yang menikah dengan orang lokal. Pada umumnya lelaki tiongkok yang datang tanpa ada perempuannya, menikahi gadis lokal. Selain menikahi gadis lokal, banyak dari orang Tionghoa di Tapanuli yang kemudian menjadi Kristen dan menjadi jemaat dari HKBP. Terutama orang Tionghoa yang berada di Lembah Silindung seperti Joe Kiem Lay.

Khusus di daerah Silindung ini orang Tionghoa memiliki peran yang besar dalam menumbuhkan eknomi setempat, seiring dengan modernisasi yang dilakukan oleh Belanda (hal. 90). Sayang sekali, orang-orang Tionghoa di Silindung hanya bertahan 2 generasi saja. Sebab mereka berpendapat bahwa modal yang mereka kumpulkan di Silindung hanya akan berakhir di Silindung saja (hal. 225). Hal ini disebabkan karena topigrafi Silindung yang bergunung-gunung sehingga sulit untuk mengembangkan bisnis. Padahal orang Tionghoa di Silindung seperti Joe Kiem Lay dan Tan Tjeng Kie adalah orang Tionghoa yang sangat gigih mengadopsi budaya Batak.

Dalam buku ini Hong Wai juga membahas organisasi sosial orang Tionghoa di Tapanuli. Meski jumlahnya tidak cukup banyak, orang-orang Tionghoa di Tapanuli mempunyai organisasi sosial. Organisasi sosial ini sudah ada sejak mereka masih sangat miskin. Di Sibolga ada organisasi Kuli Tionghoa (Kuli Keng) (hal. 52). Awalnya organisasi ini dimanfaatkan untuk saling membantu dalam kemalangan dan mejadi tempat untuk penampungan (imigran baru?). Organisasi sosial di Sibolga dan di Tapanulilah yang mengupayakan supaya orang-orang Tionghoa mempunyai tempat pemakaman.

Ada satu bab yang menarik di buku ini. Yaitu bab yang diberi judul “Mens Sana In Corpore Sano.” Di bab ini Hong Wai membahas peran orang Tionghoa Tapanuli di bedang olah raga. Ada tiga cabang olahraga dimana orang-orang Tionghoa Tapanuli berkecimpung di dalamnya. Ketiga cabang olahraga tersebut adalah sepak bola, bulutangkis dan tenis. Sejak tahun 1920 sudah ada nama-nama Tionghoa yang muncul sebagai pemain sepakbola di Tapanulis di klub Bintan Sport. Melalui sepakbola, bulutangkis dan tenis, pemuda-pemuda Tionghoa bersatu dengan orang lokal mengukir prestasi olahraga. Masuknya bab ini menurut saya menarik karena dengan demikian orang Tionghoa di Tapanuli tidak hanya fokus kepada urusan ekonomi saja. Mereka ternyata juga bisa bersosialisasi melalui kegiatan keagamaan dan olahraga. Bab ini mematahkan stereotipe bahwa orang Tionghoa adalah binatang ekonomi.

Seperti diakui oleh penulisnya, buku ini adalah sebuah kronika sederhana. Sumber yang digunakan untuk menulis buku ini juga sangat terbatas. Kebanyakan sumber yang dipakai adalah sumber tutur dari keluarga orang-orang Tionghoa yang masih ada. Masih perlu penelitian yang lebih mendalam tentang kiprah orang-orang Tionghoa di Tapanuli dengan mengkaji sumber-sumber tertulis dari Belanda dan gereja. Misalnya tentang banyaknya orang Cina yang ada di Pulau Nias yang ditulis oleh Elio Modigliani pada kunjungannya tahun 1886 (Vanni Puccioni. 2016. Tanah Para Pendekar). Modigliani mencatat bahwa ada rumah-rumah orang Cina yang ditinggalkan karena mereka sudah menetap di Sibolga. Artinya, asal orang Cina di Sibolga ada juga yang berasal dari Pulau Nias. 748

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler