Pensiunan PT Chevron Pacific Indonesia. Menjadi Pemerhati aspal Buton sejak 2005.

Ketika Allah Menunda, Sebenarnya Dia Melindungi

5 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Sendiri
Iklan

Jika Allah belum memberi, itu berarti kita belum siap menerima. Siap bukan hanya dalam teknis dan finansial, tetapi siap dalam jiwa, dan amanah.

***

Banyak orang menganggap sabar itu hanya soal menunggu. Mereka lupa bahwa sabar bukanlah pasif, melainkan aktif dalam ikhtiar sambil menundukkan hati pada keputusan Allah. Menunggu tanpa bekerja adalah kemalasan, tetapi bekerja tanpa pasrah adalah kesombongan. Sabar adalah keseimbangan yang hanya bisa lahir dari hati yang benar-benar percaya pada-Nya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Saya telah mengerjakan sebuah proyek besar skala nasional selama 20 tahun. Semua perhitungan teknis, ekonomis, dan strategi bisnis sudah diuji berkali-kali tanpa cela. Namun, proyek ini tetap tidak bergerak, bukan karena kita tidak mampu, tetapi karena pintu Allah masih belum dibuka. Ada saatnya kita harus mengakui bahwa bukan logika yang menentukan, tetapi kehendak-Nya.

Orang berkata, “Sabar saja, pelan-pelan pasti juga sampai tujuan.” Tetapi bagaimana jika jalan menuju tujuan itu dijaga pagar besi, dan kuncinya dipegang oleh mereka yang tidak mau membukanya? Apakah menunggu di depan pagar selama dua dekade masih disebut pelan-pelan? Atau ini sudah menjadi ujian kesabaran yang menguji iman sampai ke akar?

Dua puluh tahun bukanlah waktu singkat. Dalam rentang itu, bayi yang lahir sudah menjadi dewasa, bahkan membangun keluarga sendiri. Tetapi proyek ini tetap diam di tempat, seakan bumi berputar namun nasibnya dibekukan. Inilah titik dimana kesabaran bukan lagi teori, melainkan sebuah ujian jiwa.

Kita sering mengukur sabar dengan kalender, menghitung tahun demi tahun. Padahal Allah mengukur sabar dengan ketundukan hati pada waktu-Nya. Waktu kita belum tentu waktu-Nya, karena yang tahu kapan segalanya terbaik hanyalah Dia. Dan sering kali, kita ingin mendahului takdir-Nya.

Jika Allah belum memberi, itu berarti kita belum siap menerima. Siap bukan hanya dalam teknis dan finansial, tetapi siap dalam jiwa, iman, dan amanah. Sebab anugerah besar tanpa kesiapan hanya akan menjadi bencana. Penundaan, sering kali, adalah bentuk pelukan lembut kasih sayang Allah untuk melindungi kita dari kehancuran yang tidak kita sadari.

Pertanyaan besar pun muncul: apakah sekarang kita sudah benar-benar siap? Apakah pemerintah sudah mempunyai kemauan politik yang tulus? Apakah tim kita sudah solid tanpa celah? Dan yang terpenting, apakah hati kita sudah mantap dan siap menjaga amanah sebesar ini tanpa tergelincir oleh godaan dunia?

Dalam hidup ini, ada satu momen sakral: ketika peluang bertemu kesiapan. Itulah yang disebut jodoh, dan jodoh adalah rahasia Allah. Kita tidak pernah bisa memaksa, tetapi bisa memantaskan diri untuk menyambutnya. Karena jodoh yang datang terlalu cepat, bisa pergi terlalu cepat pula.

Banyak orang yang mengira sabar berarti duduk diam menunggu mujizat. Padahal sabar sejati adalah tetap berjalan meski langkah terasa berat, sambil menjaga hati tetap tunduk pada kehendak-Nya. Menunggu tanpa berbuat adalah tanda menyerah. Tetapi berbuat tanpa pasrah adalah tanda sombong.

Ada rasa getir saat orang berkata, “Sabar saja, nanti juga ada jalannya.” Rasanya seperti menepuk pundak pelari maraton sambil berkata, “Santai saja, garis finish tidak kemana-mana,” padahal kakinya sudah berdarah. Dan lebih perih lagi ketika kita tidak tahu apakah garis finish itu benar-benar ada di depan mata.

Namun disinilah letak rahasia sabar: mengakui bahwa Allah sejatinya lebih tahu jalan kita. Dia menunda bukan untuk menyiksa, tetapi untuk menyelamatkan. Kita mungkin merasa siap, tetapi Dia tahu persis bahwa kita belum. Dan itulah sebabnya penundaan adalah bagian dari rencana agung-Nya.

Jika suatu hari ada yang berkata, “Kamu harus sabar,” sebaiknya kita tidak usah merasa tersinggung. Karena sabar berarti mengakui bahwa waktu belum tiba. Allah belum mempertemukan kita dengan takdir itu, karena Dia sedang menyiapkan panggung yang lebih megah. Dan mungkin, hasil akhirnya akan jauh melampaui bayangan kita.

Sabar bukan sekadar menunggu pintu terbuka, tetapi terus mengetuknya dengan hati yang yakin, bahwa kapanpun Allah mau, pintu itu akan terbuka selebar-lebarnya. Sabar berarti menerima bahwa kuncinya tidak ada di tangan kita. Bahkan, bisa jadi pintu itu sedang dibangun ulang menjadi gerbang kemuliaan. Dan kita harus memastikan diri layak memasukinya.

Kita perlu jujur: sudahkah kita berjuang habis-habisan? Sudahkah kita memeras tenaga, pikiran, dan doa hingga tak bersisa? Jika iya, maka langkah berikutnya adalah pasrah total. Karena saat manusia berhenti, itulah saat Allah memulai.

Dalam sabar, ada doa yang tidak terdengar oleh telinga manusia. Doa itu adalah bisikan hati yang berkata, “Ya Allah, aku percaya Engkau tahu yang terbaik untukku.” Dan doa semacam ini lebih kuat dari seribu proposal atau seratus lobi politik. Sebab pintu yang dibuka Allah tidak bisa ditutup siapa pun.

Jangan remehkan kata “sabar” meski terdengar klise. Di baliknya ada kekuatan yang sanggup menahan manusia dari kehancuran mental. Ada harapan yang tetap menyala meski semua logika berkata ini mustahil. Ada keyakinan bahwa waktu Allah selalu sempurna.

Akhirnya, sabar bukan sekadar menunggu hasil, melainkan menerima proses sebagai bagian dari anugerah. Setiap penundaan adalah proses penghalusan jiwa, agar kita layak menerima apa yang kita minta. Ketika waktunya tiba, kita akan melihat betapa semua ini adalah rancangan terbaik-Nya. Dan saat itu tiba, kita akan merasa bersyukur karena tidak pernah mencoba mendahului-Nya.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler