x

Pemikiran Imam Al Ghazali

Iklan

Bryan Jati Pratama

Penulis Indonesiana | Author of Rakunulis.com
Bergabung Sejak: 19 Desember 2022

Rabu, 17 Mei 2023 08:12 WIB

Filsafat Pertama: Benar Sejak dalam Pikiran

Bagi mereka yang mencari kebenaran, tidak ada yang lebih bernilai daripada kebenaran itu sendiri. Kebenaran tidak pernah merendahkan mereka yang mencapainya, sekalioun berisiko. Al-Kindi, adalah salah satu, penyusur jalan itu. Dia dihukum karena sebuah fatwa sederhana di zaman yang salah. Zaman ketika agama sedang fanatik-fanatiknya. Saat ini, bukankah kita merasakan hal yang sama?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ada zaman ketika pemikir tidak dapat hidup tenteram, dan agaknya zaman semacam itu berlangsung sampai sekarang. Pikiran akan selalu menghasilkan ide, dan ide seringkali ditolak karena bertentangan dengan mayoritas. Ide juga seringkali bertentangan dengan kemauan politik. Apalagi jika ide itu menentang apa-apa yang lebih dulu ada, sekalipun membebaskan. Orang-orang tampaknya lebih menyukai ketertiban dibandingkan kebebasan.

Hal inilah yang dialami oleh Al-Kindi di abad ke-8. Terlahir sebagai bangsa Arab, nama aslinya Abu Yusuf Ya'qub bin Ishaq. Dia dihukum karena sebuah fatwa sederhana di zaman yang salah, zaman ketika agama sedang fanatik-fanatiknya. Dia masa itu dia merupakan satu-satunya orang yang berpendapat bahwa kita dapat belajar tentang kebenaran dari negeri asing. Dari negeri yang dilabeli jahiliyah sekalipun.

Saat itu bangsa Arab sedang berperang melawan bangsa Persia. Pada masa itu orang-orang Persia dijuluki sebagai bangsa Ajam (suatu julukan penghinaan kepada ras yang bahasa ibunya bukan bahasa Arab). Kebencian meraja kala itu. Disaat panas peperangan membara, Al-Kindi menentang pendapat mayoritas bahwa Arab mesti benar dan Persia mesti salah. Dia disalahartikan sebagai pemikir yang tidak punya pendirian yang dituduh membela Persia, padahal yang ia bela adalah kebenaran.

Seolah-olah seluruh tanah Arab lupa bahwa Nabi sendiri yang menyuruh untuk belajar sampai negeri Cina. Sebuah negeri yang jelas-jelas tidak islami. Tapi Al-Kindi, dengan kapasitasnya sebagai ulama (orang yang menguasai banyak cabang ilmu), tidak lupa. Bagi Al Kindi kebenaran dapat diperoleh darimana saja, tidak tertutup kemungkinan dari musuh sekalipun. Dan karena ini ia ditolak, perpustakaannya dibakar dan tubuhnya disiksa.

Kepiawaiannya dalam bahasa Yunani juga dipelintir oleh rezim berkuasa saat itu dengan tuduhan bahwa karya-karyanya dalam menerjemahkan tulisan Plato dan Aristoteles merupakan agenda tersembunyi untuk menafikkan agama –melemahkan penguasa.  Kejadian ini yang akhirnya melahirkan kontroversi besar yang mempertentangkan antara agama dan filsafat.

Hal itu jelas-jelas salah. Menurut al-Kindi dalam Al-Falsafah al-Ula (Filsafat Pertama), jiwa manusia terdiri dari tiga hal yaitu keinginan, amarah, dan akal budi. Akal budi ibarat seorang sais yang mengendalikan dua kuda yaitu kuda keinginan dan amarah. Ketika akal budinya baik maka keinginan dan amarah dapat dikendalikan. Akal budi yang dapat mengendalikan kudanya ini diibaratkan sebagai raja. Dan menurut Al-Kindi, inilah cara satu-satunya untuk mencapai kesempurnaan dalam agama.

Bagi Al-Kindi filsafat adalah ilmu untuk mempelajari pengetahuan sejauh yang manusia bisa. Dia mengakui bahwa urusan agama tidak akan dapat diurai dengan logika seluruhnya. Hal-hal seperti kematian, ruh, hari kiamat dan dialektis surga-neraka tidak pernah dibahas dalam buku filsafatnya. Namun dia meyakini bahwa akal budi serta kekuatan dari daya pikir manusia akan menjadi sebuah pondasi yang kuat dalam keyakinan beragama.

Bagi para penuntut ilmu, kata-kata Al-Kindi ini menjadi abadi: Kita tidak akan malu mengakui kebenaran dan mengambilnya dari sumber manapun ia datang bagi kita, bahkan jika kebenaran itu dibawa kepada kita oleh generasi yang lebih muda atau orang asing. Bagi mereka yang mencari kebenaran, tidak ada yang lebih bernilai daripada kebenaran itu sendiri. Kebenaran tidak pernah merendahkan mereka yang mencapainya, baginya adalah penghargaan dan penghormatan.

Tidak berbeda jauh kiranya dengan keadaan zaman sekarang. Gugatan terhadap keadaan terpaksa disembunyikan di dalam pikiran. Diobrolkan di lorong-lorong sunyi yang tidak terjangkau oleh telinga kekuasaan. Karena kekuasaan menggandeng agama, dan agama menguasai mayoritas. Tidak masalah apabila memang agama tersebut memang dijadikan dasar dalam bernegara dan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Namun, pada kenyataannya agama digandeng hanya untuk memonopoli suara yang mengesahkan kekuasaan dan sarana meredam pemberontakan. Karena pemimpin harus ditaati dan melawan berarti dosa.

Di abad ke-8 Al-Kindi tidak mengubah apapun. Ia dihukum dan perang tetap berkobar. Namun sekarang kisah perjuangannya dalam mencari kebenaran tersebar ke seluruh dunia. Dari sejarah semacam itu dapat dilihat bahwa pikiran-pikiran kita, bisa jadi tidak ada pengaruhnya di masa kini. Dengan segala bentuk kecurangan, ketamakan, dan manipulasi, kekuasaan akan tetap sama. Di masa kini mungkin kita tidak merubah apapun.

Tapi kekuatan hidup seseorang tidak pernah ditopang di masa kini. Kekuatan hidup ada di masa depan, di bawah sebuah bendera yang bernama harapan. Dengan harapan, orang akan tergerak untuk melawan ketidakadilan, dimulai dengan berpikir secara benar. Agar anak-cucu terbebas dari suatu penyakit yang yang bernama kebodohan dan kebodohan untuk tidak belajar dari kebodohan.

Ikuti tulisan menarik Bryan Jati Pratama lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler