x

Iklan

Anselmus Dore Woho Atasoge

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 5 Juli 2023

Senin, 17 Juli 2023 07:29 WIB

Uli Beliwo Hingga Naraone dan Rumah Kohersif

Uli beliwo (rumah adat) merupakan “rumah besar” yang memiliki peran sentral bagi masyarakat Lamaholot. Ketika berada di rumah adat masyarakat memandang diri sebagai satu keluarga meski datang dari latar agama dan karakter yang berbeda.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di pelataran Rumah Adat Desa Lelenbala, Kecamatan Adonara Timur, Kabupaten Flores Timur, tujuh perempuan sedang bercengkrama di namang. Tiga di antara mereka berjilbab dan sejumlah yang lain tidak. Tak seorang lelaki pun yang nampak di sekitar namang (halaman depan rumah adat yang diperuntukkan bagi pelaksanaan ritus-ritus adat).

 Kala itu, semua lelaki baik tua maupun muda (kecuali anak sekolah) telah bergegas ke desa tetangga, Ipi Ebang. Dari kejauhan nampak asap membumbung ke langit Ipi Ebang. Puluhan wanita berjilbab Ipi Ebang sedang sibuk di dapur. Mereka duduk berkelompok menyiapkan makanan dan minuman. Lelaki-lelaki muda nampak sibuk membantu mereka. Lelaki tua dan muda lainnya tak kelihatan. Mereka  berada di bukit.

Di lereng bukit batas desa, ratusan lelaki tua dan muda duduk berkelompok mengelilingi rumpun-rumpun bambu yang tumbuh mekar di pinggir kampung Ipi Ebang yang lazim mereka sebut Kampung Lamuring. Pada sebuah rumpun bambu yang berdiameter kurang lebih 50 cm, belen lewo (pemangku adat) bersama warga Komunitas Hinga Naraone menggelar bau lolon. Setelah meminta restu leluhur melalui bau lolon, para lelaki perwakilan suku belaba beahe (petugas khusus memotong bambu) perlahan-lahan memotong bambu-bambu. Kurang dari sejam enam belas batang bambu telah dipotong dan disaksikan Belen Lewo dan para lelaki Hinga Naraone.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bambu-bambu diperuntukkan bagi pembangunan Uli Beliwo, rumah adat Ipi Ebang. Di Uli Beliwolah semua warga datang berkumpul. Dia menjadi rumah bersama tempat untuk menampung semua masyarakat sekaligus tempat menyelesaikan masalah-masalah. Di bawah pimpinan Belen Lewo, permasalahan warga dicarikan jalan keluarnya. Jika masalahnya adalah konflik antarsesama warga maka tujuan utama perjumpaan di Uli Beliwo adalah perdamaian.

Sebelum para lelaki ini menjalankan ritual Uli Beliwo, sejumlah acara dengan para penanggung jawabnya telah dijalankan.  Pertama, Huke Kewana. Bagian ini diawali dengan epu baun yaitu rembuk para ketua suku dalam rangka menentukan jadwal pengadaan bahan bangunan Uli Beliwo. Selanjutnya, para ketua suku menyampaikan hasil musyawarah kepada anggota sukunya.

Kedua, Bau Lolon/Behin Tuak Bau Lolon: Dipimpin Tuan Tanah (Belen Lewo) dan didampingi Ketua-Ketua Suku (Mehene Suku). Belen Lewo memimpin ‘doa’ memohon leluhur untuk memuluskan kegiatan. Yang terlibat dalam ritual ini adalah Komunitas Hinga Naraone yang terdiri dari tiga desa (Lelenbala, Ipi Ebang dan Terong Timur).

Adapun peran suku-suku adalah sebagai berikut: Nuda Kenahin (Tuak Mehine) berperan menuangkan dan mengedarkan tuak putih; Baku Lolaka Rae Pota yang mengatur kelancaran di dapur dan mempersiapkan segala perlengkapan (konsumsi) dan pengerahan massa; Tutu Koda Marin Kirin yang berperan menyampaikan segala keputusan dan apa yang akan terjadi kepada seluruh masyarakat; Belaba Beahe yang menyiapkan bahan (kayu) dan proses pengerjaan rumat adat; Lewotapo, penjaga batas-batas wilayah desa. Jika seseorang dengan sengaja melanggar peran-peran yang telah ditetapkan di atas (semisal suku yang tidak diperbolehkan untuk menebang ternyata menebangnya) maka dirinya akan mengalami kesulitan, sakit, celaka atau bahkan bisa meninggal).

Di wilayah ini ada dua Belen Lewo. Keduanya kakak beradik. Saat ini keduanya diwakili oleh Lodovikus Kopong (sebagai yang sulung) yang sekaligus menjabat sebagai Kepala Desa Lelenbala dan Ismail Bala (sebagai yang bungsu). Lodovikus seorang Katolik dan Ismail seorang Muslim. Ismail juga menduduki posisi sebagai kepala suku kini mendiami Desa Ipi Ebang, desa tetangga Lelenbala. Menurut Lodovikus, leluhur mereka telah ada kurang lebih dua abad yang lalu.

Kedua desa ini meski terpisah secara administrasi pemerintahan namun tetap menyatu dalam satu komunitas adat yang terdiri dari lima suku dalam komunitas adat Hinga Naraone. Kelima suku tersebut tersebar dalam 7 (tujuh) kampung yakni Lelenbala (Lamabolang), Lewohala Lolon, Lewolein, Leworeuk, Wato Doro, Ipi Ebang (Lamuring) dan Ebo Lewobala.

Setelah dari Kebun Bambu di Lamuring, para lelaki dan perempuan bergabung dalam acara makan dan minum bersama warga Ipi Ebang (bapak-bapak, mama-mama dan anak muda) dan para lelaki perkasa dari Lelenbala di bawah pimpinan Lodovikus Kopong. Mereka menikmati ubi jalar rebus (putih dan kuning), pisang rebus, ubi keladi putih, jagung titi dan sayur ‘rumpu-rempe’ (campuran daun ubi, bunga pepaya, buah pepaya muda, jantung pisang) yang dicampurkan dengan parutan kelapa tua.

Sesekali sejumlah lelaki muda mengedarkan ‘tuak putih’ (minuman yang selalu diikutsertakan dalam acara-acara adat). Menurut Hanafi Badarudin (adik dari Ismail Bala), jenis makanan seperti ini mengingatkan mereka akan makanan khas para leluhur mereka. Karena itu, hari itu makan dan minum bersama dengan bahan lokal tersebut sekaligus menjadi momen peringatan para leluhur.

Rumah adat merupakan “rumah besar” memiliki peran sentral bagi masyarakat Lamaholot. Pernyataan tokoh muda dari Desa Ipi Ebang Kecamatan Adonara Timur, Umar Sengaji, menegaskan hal itu. Baginya, uli beliwo merupakan rumah bersama yang menyatukan semua suku, semua warga kampung dan semua manusia dari pelbagai latar belakang agama. Tokoh muda lainnya, Robinus Lewo mengatakan bahwa  rumah adat merupakan tempat yang menyatukan mereka sebab rumah itu adalah milik kami bersama. Ketika berada di rumah adat memandang diri sebagai satu keluarga meski datang dari latar agama dan karakter yang berbeda.

Wacana tentang kohesi sosial telah menjadi diskusi panjang dalam kajian-kajian dan debat-debat sosio-religi dan sosio-budaya terutama ketika diskusi itu bersentuhan dengan gagasan besar tentang tatanan sosial. Tokoh-tokoh terkemuka dalam wacana ini di antaranya, Marx, Weber dan Durkheim. Marx dan Weber menghadirkan gagasan yang umumnya dikenal sebagai teori konflik. Keduanya memandang bahwa dalam setiap tatanan sosial selalu dilibatkan pengaturan kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan. Di dalam proses pengaturan itu, konflik antara individu-individu dan kelompok-kelompok tak dapat dihindarkan dan selanjutnya menjadi bagian penting dari masyarakat. dalam setiap tatanan sosial selalu dilibatkan pengaturan kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan. 

Sementara itu, Durkheim pada posisi lain menghadirkan gagasan yang umumnya dikenal sebagai teori harmoni. Ia memandang bahwa hal yang paling utama dan menonjol dalam setiap masyarakat adalah peran para aktor sosial yang ada di dalam masyarakat skala kecil yang telah terintegrasi secara terpadu. Durkheim meletakkan kepercayaannya pada gagasan bahwa harmoni dan bukannya konfliklah yang mendefinisikan keberadaan dan keadaan masyarakat. Durkheim berangkat dari kajiannya tentang fenomena sosial yang berkaitan dengan peran dan fungsi setiap anggota masyarakat dalam membentuk dan menghasilkan apa yang disebut kohesi sosial.

Kohesi sosial menjadi salah satu bangunan integrasi sosial yang dimungkinkan oleh keberadaan sistem pengetahuan dan sistem nilai serta tatanan moral yang sama yang mengikat orang-orang secara bersama-sama ke dalam satu komunitas. Dalam konteks tulisan ini, sistem-sistem itu menyata dalam uli beliwo. Boleh dikatakan bahwa uli beliwo menjadi simbol persatuan kohesif bagi masyarakat pencipta dan pemiliknya.

Menurut Jane Jensen, istilah kohesi sosial digunakan untuk menggambarkan proses pelibatan komitmen dan keinginan dan kemampuan untuk hidup bersama dalam keharmonisan. Di sisi lain, menurut Maxwell seperti yang dikutip Andy Green, dkk, kohesi sosial melibatkan pembangunan berbagi nilai dan komunitas. Pelibatan ini umumnya memungkinkan orang untuk memiliki rasa tbahwa mereka terlibat dalam usaha bersama, menghadapi tantangan bersama dan bahwa mereka adalah anggota dari komunitas yang sama. Gagasan ini terbaca pula dalam lukisan kisah tentang ‘penciptaan uli beliwo’ di atas.  

Kohesi sosial berkaitan dengan kondisi kemasyarakatan yang relatif harmonis. Indikator masyarakat yang harmonis antara lain rendahnya tingkat kejahatan dan tingginya tingkat kepercayaan antara individu dan masyarakat yang dibangun atas dasar kepercayaan. Kondisi masyarakat yang relatif harmonis itu mencakup pula masyarakat dengan toleransi yang tinggi antara individu yang satu terhadap individu lain, juga antara budaya yang satu terhadap budaya yang lain dan agama yang satu dengan agama yang lain. Kondisi ini dipandang sebagai prasyarat untuk menciptakan dan membangun kerjasama antarindividu dan individu dengan masyarakat. Komunitas Hinga Naraone telah memulai impian ini melalui Uli Beliwo-nya.***

Ikuti tulisan menarik Anselmus Dore Woho Atasoge lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler