x

Rocky Gerung.

Iklan

Andree Sunsafarin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 November 2021

Rabu, 9 Agustus 2023 07:41 WIB

Rocky Gerung Sejatinya Bukan Filsuf, tapi Seorang Sofis

Masyarakat umumnya menilai Rocky Gerung sebagai seorang filsuf, seorang intelektual yang mendobrak kedunguan berpikir dan memunculkan kebenaran sejati. Namun jika kembali kepada sejarah filsafat Yunani, Rocky Gerung lebih cocok disebut sebagai seorang sofis, yakni orang yang menggunakan kepintaran dan intelektualitasnya untuk popularitas dan pemenuhan hasrat kelompok tertentu, dan bukan untuk menyingkapkan tabir kebenaran sejati.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Penemuan terbesar manusia bukanlah teknologi-teknologi canggih, atau taktik politik yang bersih dalam membangun negara, melainkan penemuan akan kebodohan. Ketika seorang manusia sadar bahwa dia tahu bahwa dia tidak tahu, kesadaran itulah yang membuat manusia belajar terus menerus sejak zaman primitif hingga kini. Kesadarana akan ketidakatahuan adalah stimulus awal manusia mulai mengeksplorasi nalarnya dan berupaya mengembangkan diri dengan aneka macam penemuan untuk memudahkan hidup.

Inilah yang dilakukan Sokrates, filosof Yunani Yunani Kuno, saat berfilsafat. Socrates, yang juga adalah guru Plato, biasa berkeliling telanjang kaki di sekitar Athena untuk berdialog dengan ahli debat yang disebut kaum sofis. Kaum sofis ini dibekali kapasitas retorika yang lihai dan hebat dalam mengolah kata dan bahasa sedemikian rupa sehingga kebenaran menjadi sebatas proposisi-proposisi yang ada sejauh diperjuangkan secara argumentatif-retoris, di luar itu tidak ada kebenaran. Mereka pada umumnya adalah kaum skeptis, relativis, sekaligus nihilis.

Kala itu Athena adalah sebuah polis yang menganut demokrasi. Tokoh-tokoh sofis populer Protagoras, Gorgias, Hippias, membuka pendaftaran untuk kelas retorika guna mendidik para calon politisi agar bisa menang dalam kontestasi politik atau menjadi tim sukses, juru bicara parpol, dan pialang suara (vote). Para calon politisi ini mampu membayar para sofis dengan biaya yang sangat mahal, demi menjadi seorang sofis dan tentunya kemenangan politis, caranya adalah dengan lihai berdebat dan berkata-kata, mereka melalui bualan-bualan atau janji-janji berhasil menarik simpati masyarakat polis yang mayoritas berpendidikan rendah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di sinilah Socrates jengkel dan kesal dengan jual-beli ilmu itu, demokrasi menjadi ajang pasar, dan lahan bagi  oligarki, memilih calon bukan lagi berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional, integritas dan kapabilitas, tetapi berdasarkan kelihaian dan kepandaian berkata-kata. Dalam kontestasi politik, kaum sofis ini menjadikan gelanggang politik sebagai tempat mengkampanyekan dan menjual jargon “akal sehat”, seolah yang lain “dungu” dan akalnya kudisan dan panuan padahal bukan kebenaran sejati yang dicari, melainkan kebenaran yang tampak seolah-olah adalah kebenaran sejauh secara argumentatif itu masuk akal.

Sokrates kemudian menantang mereka dan berdialog dengan memproblematisasi prinsip-prinsip dasar proposisi yang mereka ciptakan. Dalam dialog-dialog itu, Sokrates berhasil menunjukkan kedunguan sofis sebagaimana dicatat dalam buku-buku Plato, sofis selalu gagal mempertahankan argumennya. Tiap kali sofis merasionalisasi suatu masalah seperti keadilan (dikaiosune), kebajikan (sophia), persahabatan (philia), keutamaan (arete), kemawasdirian (sophrosune), keberanian (andreia), dst., tiap kali pula Sokrates memberikan serangan balik dan pertanyaan lanjutan yang tak bisa dibantah. Debat berlangsung tak berkesudahan. 

Namun yang menarik adalah, Socrates tidak pernah secara absolut mengatakan bahwa argumen dan kesimpulannya adalah final dan sudah paten. Inilah yang disebut socrates sebagai dialektika, yakni sesuatu proses yang selalu memberikan kemungkinan munculnya argumen dan pengetahuan yang baru. Kesimpulan yang bijak adalah bahwa rupanya pada akhirnya kedua pihak sama-sama tidak tahu. Hal inilah yang kemudian didiktumkan oleh Sokrates bahwa satu-satunya yang dia tahu adalah bahwa dirinya tidak tahu, yang kemudian menjadi prinsip primer bagi kalangan filosof atau siapapun yang mencari atau bersahabat dengan kebijaksanaan.

Nah konteks demokrasi Indonesia sekarang ini tidak jauh dari konteks demokrasi Athena pada waktu itu, dimana sebagian besar warganya belum mengerti substansi dari politik (Socrates sendiri berkali-kali memberikan kritik keras terhadap demokrasi). Dalam bahasa sederhana, mayoritas warga belum mampu berpikir kritis dan membuat pertimbangan-pertimbangan yang rasional. Kondisi inilah yang kemudian melahirkan banyak politisi-politisi yang bisa diindentikkan sebagai sofis ingusan, yang menggunakan kepintaran dan intelektualitasnya untuk mengelabuhi masyarakat. Mereka sering tampil di TV, membual seolah-olah memperjuangkan kepentingan rakyat, padahal memperjuangkan kepentingan partai dimana Ia dibayar. 

Jika para politisi itu adalah para sofis ingusan, dan Rocky Gerung merupakan pelaku kuncinya. Gerung dalam beberapa acara debat berhasil membolak-balik kata dan frase, sehingga seolah itulah kebenaran. Dia beserta golongannya merasa sebagai yang tahu dan yang lain adalah “dungu”, sayangnya sejauh ini belum ada lawan debat yang tepat selain para politisi “ingusan” itu. Namun begitu, upaya menelanjangi putusan-putusan Gerung bertebaran di jagad maya.

Menariknya, kaum sofis ini memang berupaya mencitrakan diri netral, bahkan seolah akademis dan ilmiah, dalam suatu pertarungan politik. Tetapi sebetulnya pada waktu yang sama sedang mengarahkan keyakinan dan mata publik pada apa yang sofis inginkan dalam suatu kontestasi perebutan kekuasaan. Sehingga para pendengarnya masuk dalam gudang hegemoni tanpa sadar, dan itu sebetulnya target eksploitasinya.

Sofis juga mampu menjadikan politik sebagai arena penyatuan sekte atau pandangan yang sebetulnya kontradiktif. Misalnya Gerung dielu-elukan oleh golongan jidad hitam bin celana cingkrang yang mana mereka, sebetulnya, adalah kalangan dogmatis terhadap agama, tekstualis, dan ekslusif atas tafsirnya. Sementara, disisi lain, berada secara diametral, Gerung sangat skeptis, relativitis dan cenderung nihilis. 

Kaum sofis adalah kaum yang lihai menggunakan kata-kata untuk mengelabuhi orang dari kebenaran.

 

 

Ikuti tulisan menarik Andree Sunsafarin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler