Mengapa Indonesia Perlu Belajar dari Jepang Soal Pendidikan

Rabu, 21 Agustus 2024 08:30 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Guru Honorer
Iklan

Hasil penelitian Program for International Student Assessment (PISA) 2022 menunjukan peringkat mutu pendidikan Indonesia berada di peringkat 69 dari 81 negara. Urutan Indonesia tidak jauh dari 10 besar urutan terbawah. Tentu saja ada banyak faktor yang menyebabkan hal ini terjadi, dan salah satunya yang akan saya bahas di artikel ini adalah rendahnya apresiasi pemerintah terhadap profesi guru dan Apa yang perlu kita bisa pelajari dari Jepang.

Oleh Adrianus Safarin (Guru di SIS Bandung)

Pendidikan merupakah salah satu hak yang fundamental dan hakiki bagi seorang manusia. Pendidikan adalah garda terdepan sekaligus alat utama memanusiakan manusia dan memberdayakan masyarakat bahkan terbukti mampu menjadi pemutus rantai kemiskinan. Pendidikan mampu menjadi kendaraan yang bisa mengubah peradapan sebuah negara menjadi lebih maju.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Logikanya, jika pemerintah atau negara tahu prinsip dan pengetahuan dasar ini, harusnya pendidikan menjadi prioritas dan sokoguru dalam segala upaya pengambilan keputusanya termasuk perhatian lebih terhadap profesi guru dan menyelenggarakan upaya-upaya serius memberantas faktor penghambat serta menghukum oknum yang menghalangi tujuan mulia pendidikan. Namun tidak demikian di negara Indonesia.

Pendidikan dalam realitasnya seakan sulit menjadi elemen penting dalam kesadaran kolektif Masyarakat dan prioritas  bagi  pemerintah maupun lembaga-lembaga yang bernaung dibawahnya. Alokasi anggaran 20 persen yang menurut catatan adalah terbesar di Asia tidak berbanding lurus dengan mutu yang dihasilkannya  akibat tidak tepat sasaran dalam aneka kebijakan diambi, belum lagi dananya hilang habis dikantong-kantong pejabat daerah karena dikorupsi.

Alhasil, hasil penelitian Program for International Student Assessment (PISA) 2022 menunjukan peringkat mutu pendidikan Indonesia berada di peringkat 69 dari 81 negara. Urutan Indonesia tidak jauh dari 10 besar urutan terbawah. Tentu saja ada banyak faktor yang menyebabkan hal ini terjadi, dan salah satunya yang akan saya bahas di artikel ini adalah rendahnya apresiasi pemerintah terhadap profesi guru dan Apa yang perlu kita bisa pelajari dari Jepang.

 

Ketidakadilan yang Tersembunyi di Balik Semboyan Sakral “Guru adalah Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”

Negara Indonesia adalah salah satu negara dengan appresiasi terhadap guru paling rendah. Semboyan guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, yang harusnya dipahami secara simbolik, namun dalam kenyataannya menjadi literatif dengan rendahnya penghargaan terhadap jasa guru misalnya dalam bentuk gaji yang rendah. Guru dianggap sebagai jabatan pelayanan dan pengabdian karena itu tidak perlu digaji tinggi. Padahal guru adalah jabatan professional sama halnya jabatan-jabatan lain yang mana kesesuaian gaji yang diberikan dan skill yang dijual adalah prinsip dasar dalam dunia kerja.

Namun kenyataannya tidak demikian, apalagi jika sang guru adalah pekerja honorer, seperti yang viral baru-baru ini di Ende NTT, seorang guru honorer cuma digaji 250 ribu rupiah per bulan, padahal dana pendidikan yang dialirkan ke daerah untuk pendidikan cukup fantastis. Pertanyaanya adalah kemanakah anggaran 20 persen dari APBN itu? Bentuk-bentuk ketidakadilan seperti ini tentu tidak saja membuat motivasi guru untuk pendidikan bangsa yang bermutu akan semakin pudar, tetapi juga menjadikan profesi guru sebagai profesi yang tidak diminati oleh generasi-generasi muda.

Indonesia Perlu Belajar dari Jepang.

Perhatian yang adil terhadap kesejahteraan guru bagi saya akan menjadi langkah awal yang bisa mengubah mutu Pendidikan di Indonesia.  Menurut catatan gaji guru TK di Jepang berkisar 26-38 juta rupiah. Gaji ini sangat adil karena profesi guru dianggap sebagai profesi profesional, buhkan Pahlawan tanpa tanda jasa seperti yang agung-agungkan di Indonesia. Di Jepang pemerintah tidak hanya memperhatikan kesejahteraan guru, tetapi juga memberikan pelatihan untuk pengembangan skill, setelahnya skill mereka diuji dengan standarisasi dan filter yang ketat.

Di sisi lain guru tahu betul jika profesinya adalah profesi yang bergerak di bidang jasa, dimana ia akan menjual skill karena itu mereka juga bahu membahu terus mengupgrade skillnya.  Jadi betul-betul ada simbiolisme mutualisme antara pemerintah dan guru. Pemerinta Jepang menilai guru sebagai profesi yang sangat penting dan berharga karena bertugas mendidik anak bangsa. Saking pentingnya, bahkan yang mengajar anak-anak SD bukan lulusan S1 tapi malah doktor. Ini menggambarkan bahwa mereka sangat serius menganggap profesi guru dan mereka sadar pendidikan dini itu sangat penting karena pertumbuhan otak anak terjadi antara usia  antara 0 sampai 10 tahun, Doktor mengajar anak-anak SD juga menunjukkan bahwa guru sudah menjadi profesi yang serius makanya harus profesional. Di Jepang guru sudah seperti profesi dokter atau pengacara, artinya orang yang sangat ahli dan kompeten di bidangnya.

Indonesia sebenarnya tidak kurang sosok guru yang sangat berkompeten, namun persoalannya adalah belum ada simbiosis mutualisme pemerintah sebagai pengendali sistem dan pembuat kebijakan dan guru di lapangan. Namun demikian, menurut saya, simbiosis mutualisme ini harus dimulai oleh pelaku pertama, yakni negara lebih spesifik lagi adalah pemerintah dan jajarannya karena cuma negaralah yang mampu membuat menciptakan sebuah sistem dimana kesadaran kolektif biasanya baru akan muncul kemudian.

Pemerintah perlu memikirkan Pendidikan sebagai hal yang serius untuk sebuah peradapan yang maju. Oleh karena itu, pemerintah perlu menciptakan habitus baru, menata ulang sistem pendidikan di Indonesia melalui proses pengambilan kebijakan yang bermuara pada kemajuan pendidikan di Indonesia. Di level praktis dan teknis, pemerintah perlu men-challenge skill para guru, menyelanggarakan pelatihan intesif untuk peningkatan kompetensi, serta standarisasi dan proses filter yang ketat sebelum bekerja secara professional di bidang pendidikan.

Dan setelah itu tercapai ujungnya adalah memberikan gaji yang adil sebagai reward terhadap skill yang sudah diberikan oleh para guru selayaknya dalam dunia kerja profesional. Jika sistem simbiosis mutualisme ini terus berjalan, maka akan mampu memngubah wajah dan mutu pendidikan di Indonesia dan profesi guru akan menjadi profesi yang diminati oleh generasi muda.

 

 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Andree Sunsafarin

Penulis Indonesiana

1 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler