x

Sumber: Pinterest

Iklan

iqbalhusni fauzan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 31 Oktober 2023

Rabu, 1 November 2023 13:33 WIB

Resensi Novel Salah Pilih Karya Nur St. Iskandar

Nur St. Iskandar adalah seorang sastrawan yang produktif dari angkatan Balai Pustaka, telah menghasilkan kurang lebih dari 82 judul buku. Novel yang diterbitkan pertama kali pada tahun (1928), dengan jumlah 266 halaman. Nur St Iskandar ingin mengajak kita kembali untuk merasakan keadaan sosial Minangkabau pada masa itu, dimana masyarakat  masih kental dan tunduk akan adat istiadat keyakinan mereka, bahkan bisa disebut beda suku berarti beda adat, juga perbedaan kasta sangat mempengaruhi baik buruknya hubungan sesama.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul Buku      : Salah Pilih

Pengarang       : Nur St. Iskandar

Penerbit           : Balai Pustaka

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

ISBN               : 978-979-407-178-6

Halaman          : 266 hlm

Tahun Terbit    : 2013

Cetakan           : Ketiga puluh tiga

 

Nur St. Iskandar adalah seorang sastrawan yang produktif dari angkatan Balai Pustaka, telah menghasilkan kurang lebih dari 82 judul buku. Salah satunya adalah buku yang berjudul Salah Pilih. Novel yang diterbitkan pertama kali pada tahun (1928), dengan jumlah 266 halaman. Nur St Iskandar ingin mengajak kita kembali untuk merasakan keadaan sosial Minangkabau pada masa itu, dimana masyarakat  masih kental dan tunduk akan adat istiadat keyakinan mereka, bahkan bisa disebut beda suku berarti beda adat, juga perbedaan kasta sangat mempengaruhi baik buruknya hubungan sesama. Sehingga dapat kita saksikan banyak terjadi perselisihan antar  suami istri yang menjadi tokoh utama dalam novel ini dikarenakan sang istri memandang rendah adik angkat sang suami yang berasal dari keluarga ekonomi rendah bahkan anak sebatang kara dan diasuh sejak kecil oleh ibunda sang suami.

Kisah ini berawal dari sosok wanita paruh baya yang terbaring lemah dalam salah satu bilik di rumah gadang, yaitu rumah tradisional adat Minangkabau kerap yang banyak bisa kita jumpai ketika berada di Sumatera Barat. Ibu Mariati, nama wanita tua yang tak berdaya itu. Ia tinggal di rumah gedang  bersama dua orang anak dan adiknya. Suatu waktu Siti Maliah, adiknya. Ingin memberi obat  selalu ditolaknya. Karna ia hanya ingin Asnah, yakni anak angkatnya yang sejak kecil sudah tinggal dengan dirinya dan sudah ia anggap sebagai anak kandung sendiri. Asnah memiliki paras yang sangat menarik di mata para lelaki, begitu juga dengan perangainya. Sedangkan Asri anak tunggalnya, sangat lama tak ia jumpai karena sedang menempuh pendidikannya di Jakarta. Ibu Mariati dan Asnah selalu menunggu akan kepulangan kakak Asri sehingga sering tercinta dalam benak Ibu paruh baya itu untuk meminta Asri segera menghentikan pendidikannya dan tinggal bersama-sama di rumah gadang beserta adik dan bibirnya, kemudian agar anak lelaki itu segera mencari pendamping hidupnya agar suasana rumah gadang bertambah ramai dan ada yang merawat Asri, itu semua karena mengingat wanita itu telah amat berumur, dan ia sudah tidak perduli lagi akan kematian di depan matanya. Asalkan ia bisa bersama-sama bahagia dengan Asnah, Mariati, Asri dan Istrinya, di akhir hayatnya kelak.

Asnah sebenarnya selalu meminta kepada Ibu Mariati agar ia menceritakan tentang kedua orang tua kandungnya sebab dia sudah cukup umur untuk mengetahui hal itu. Ibu Mariati enggan menceritakannya karena takut perasaan Asnah nantinya menjadi asing di rumah itu, tetapi Asnah memaksa dan ia tidak rela melihat gadis itu memohon. Akhirnya diceritakanlah bahwa Asnah merupakan anak dari lelaki dermawan dan bijaksana yang berasal  dari keluarga bangsawan. Ayahnya rela diusir dari rumah meninggalkan kehidupannya sebagai anak bangsawan dan menikah dengan Ibu Asnah, merupakan wanita dari keluarga ekonomi kelas bawah. Memang adat pada kala itu sangat menyeramkan, yang kaya harus bergaul dengan yang kaya sedangkan yang miskin dipandang sebelah mata, hina jika orang dari keluarga bangsawan bergaul dengan orang miskin, dan merasa turun derajat. Kemudian ayah dan ibunya pergi ke suatu tempat untuk merantau dan berpencaharian sendiri, Namun ketika ayahnya hendak melakukan suatu pekerjaan, di sebuah perjalanan rombongannya dirampok tanpa sisa oleh kolonial belanda dan membuat Asnah ditinggalkan seumur hiduo oleh sang Ayah, setelah hal tersebut terjadi terdengarlah kabar tersebut oleh Ibu Mariati, kemudian Ibu Asnah dipanggil untuk tinggal bersamanya sebagai seorang hamba atau pembantu. Kemudian ketika usia Asnah genap 3 tahun Ibunya meninggal dan menjadikan Asnah sebatang kara. Tapi, Ibu Mariati menganggap dan menerima Asnah sebagai anak kandungnya sendiri sampai kapan pun.

Penantian panjang yang tak kunjung usai antara Ibu Mariati dan Asnah kini telah selesai. Asri pulang dari perjalanannya menempuh pendidikan, Ibu sudah tidak sabar untuk melihat wajah anak muda itu yang sudah lama tidak ia jumpai dan segera mungkin ia akan menyampaikan hajatnya untuk segera menikahkan Asri dan tinggal bersamanya di rumah gadang. Lain cerita dengan Asnah, ia malah enggan bertemu dengan Asri, karena sebenarnya telah lama ia menyimpan perasaan kepada anak muda itu, bukan perasaan sebagai Adik dan Kakak, melainkan perasaan wanita kepada seorang laki-laki pada umumnya. Karna mereka bukan saudara kandung jadi menurut agama diperbolehkan. Lain lagi jika menurut adat, jika ketahuan seperti itu maka akan dipandang oleh masyarakat sebagai orang yang tak beradat. Ibu Mariati menyampaikan hajatnya kepada Asri atas dasar yang sangat kuat sehingga Asri tidak dapat menolak, segera ia mengikuti perintah ibu, tetapi Asnah ia sangat bersedih jika hal itu terjadi. Tapi bagaimanapun hal itu adalah yang diinginkan ibu di sisa akhir hidupnya.

 Berminggu-minggu Asri mencari wanita yang kelak hendak menjadi pasangan hidupnya, namun tidak satupun yang bisa merenggut hati Asri. Asri merupakan anak muda yang ramah tamah, baik tuturnya, dan dermawan. Ia sangat tidak senang dengan adat sukunya yang merepotkan, Asri lebih suka melakukan hal yang dermawan meski melanggar adat, selama tidak bertentangan dengan agama ia masih berani, karena adat sukunya itu kuno, anak bangsawan dikira perlu menikah dengan banyak istri, jika tidak maka malu keluarga anak bangsawan tersebut. Sedangkan Asri tidak suka akan hal itu, ia lebih memikirkan perasaan salah satu perempuan, menurutnya satu sudah cukup untuk menjalin kebahagiaan selama-lamanya, tebih sangat berbeda dengan pergaulannya di Jakarta.

Asri akhirnya menemukan perempuan yang amat cantik wajahnya, manis di pandang, dan berpendidikan. Saniah namanya, ia berasal dari keluarga bangsawan yang dipandang mengerikan bagi kaum ekonomi rendah karena Ibunda Saniah yakni Rangkoyu Saleah sangat melarang tegas antara bangsawan dan orang miskin berpapasan. Tapi, karena Asri juga berasal dari keluarga yang kaya raya, banyak sawah dan ladang yang dimilikinya, juga harta Ibu Mariati sangat melimpah ruah, tidak ada alasan bagi Ibunda Saniah untuk melarang anaknya menikah dengan Asri. Terlebih lagi Asri telah menjadi pegawai kantor di Negeri itu.

Perasaan hati Asnah sangat tidak baik, ia sebetulnya tak sanggup untuk melihat Asri menikah, tapi apalah daya. Berlangsunglah upacara pernikahan Asri dengan Saniah, yang segala pertunangan hingga pernikahannya itu semuanya diatur oleh adat. Kini anak muda itu sudah tidak lajang lagi, sekarang ia beristeri. Bahagia sudah Asri telah mengabulkan permintaan Ibunya itu.

Sehari dua hari telah berlalu adat setelah menikah pun telah mereka lewati yaitu pihak laki-laki harus diam di kediaman istri selama dua minggu, kini Saniah telah dibawanya pula ke rumah gadang susuai yang dihajatkan oleh Ibu Mariati. Dengan sangat bergembira orang rumah menyambut kedua pengantin baru, akan tetapi ada hal yang membuat Ibu Mariati beserta yang lain dirumah kecewa, ketika Saniah dijamukan dengan berbagai macam kue-kue, ia tak mengindahkan suasana itu melainkan langsung pergi saja ke kamarnya. Karena menurutnya duduk sejajar dengan orang yang bukan bangsawan adalah bukan adat yang baik baginya. Karena, dirumah gadang itu siapapun boleh masuk tak memandang kasta serta harta mereka, semuanya duduk sama rata. Kemudian dari sini sudah terlihat jelas akan perbedaan adat yang sangat jauh berbeda antara adat di rumah gadang dan adat di rumah berukir, yaitu rumah tinggal Saniah bersama keluarga bangsawannya.

Setelah memang tahu akan kedua adat tersebut bertentangan akhirnya rumah tangga antara Asri dan Saniah tidak berlangsung baik, sering sekali mereka mempertikaikan perihal adat. Saniah yang tidak mau menurut akan perintah Asri padahal ia adalah suaminya, juga Asri tidak mau bertekuk lutut kepada istrinya yang seenaknya itu. Bahkan Asnah dipandang rendah dimatanya karena ia bukan Adik kandungnya Asri, melainkan hanyalah anak budak yang seharusnya mengikuti perintah. Seperti itulah siklus rumah tangga Asri yang tiada ujung. Air mata demi airmata telah banyak terjatuh diantara Asnah, Ibu Mariati, Asri begitu juga Saniah. Setelah terus-menerus menyaksikan perselisihan antara Asri dan Saniah, ibunya merasa bersalah akan hal itu, bukan rumah tangga yang seperti ini yang ia mau. Meskipun Asnah dan Asri selalu bersabar dan bijaksana dalam menghadapi perangai Saniah yang tidak baik itu, namun mereka hanya perlu bersabar lebih lama lagi agar Saniah bisa mendapat hidayah dari Allah SWT. Nasihat yang diberikan baik dari Asri, Ibu Mariati, begitu juga Asnah sudah terlalu banyak, tapi tetap saja. Saniah sangat mirip sekali perangainya dengaan Rangkoyu Saleah dengki.

Memang niat Saniah menikah dengan Asri bukan atas dasar kecintaan, melainkan agar Asri takluk dan menuruti segala keinginannya. Namun hal itu tidak akan pernah terjadi karena Asri adalah orang yang bijaksana. Segala cara telah Saniah lakukan agar suaminya itu takluk akan dirinya.

Ibu Mariati telah merasakan bahwa ia sudah tidak akan lama lagi, dan akan berpulang  untuk selama-lamanya. Namun sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya ia berpesan kepada Asnah, Asri, dan Siti Maliah. Bahwa pernikahan Asri ini tidak sama sekali mendatangkan kebahagiaan dan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, alangkah baiknya jika Asri dan Asnah menikah, tentu itu akan membuat suasana rumah gadang menjadi lebih baik dari sebelum-sebelumnya. Selepas itu Ibu Mariati telah tiada dan kalimat terakhir yang ia ucapkan ialah kalimat "laa ilaha illallah...”. Suasana kampung itu  mulai merasa kehilangan Ibu yang berbaik hati itu, terlebih bagi Asnah dan Asri.

2 bulan berlalu sudah duka cita keluarga tersebut, Asnah dilamar oleh seorang lelaki yang bernama Hasan Basri yang kala itu ia telah kaya karena mendapat harta warisan kakaknya dan ia berani melamar Asnah, namun Asnah tidak menerima lamaran itu karena ia telah berjanji pada dirinya bahwa ia tidak akan menikah. Asri baru menyadari ternyata wanita yang ia cari selama ini bukannya Saniah melainkan Asnah yang sejak dahulu selalu bercengkrama dengannya, susah senang bersamanya, terlebih Asri lebih nyaman ketika ia bertukar cerita dengan Asnah, Ternyata selama ini ia telah buta akan ketulusan Asnah kepadanya, Asri menaruh rasa pula kepada Asnah bukan sebagai Kakak kepada Adik melainkan rasa cinta kepada seorang kekasih. Tapi apalah daya ia telah menikah dengan wanita yang dipilihnya.

Asri pergi dari rumah gadang itu bersama Ibu Maliah karena sudah tidak ada lagi yang membutuhkannya disana, terlebih Saniah sangat tidak suka kepadanya. Kini ia tinggal bersama Ibu Maliah di Bayun dengan sangat ramah orang-orang menerimanya disana. Berbeda dengan Asri yang kini selalu menyibukkan dirinya dengan pekerjaannya sebagai bentuk pelampiasan dari kesedihan karena ditinggal oleh orang-orang yang sangat dicintainya. Kini rumah gadang itu menjadi sangat amat berbalik keadaan semasa ada Ibu Mariati dan Asnah disana.

Dari Negeri seberang sana Ibunda Saniah memintanya untuk datang ke rumah ukir, karena kandanya itu telah menikah di padang dengan wanita yang tidak jelas asal usulnya tanpa se-izin Rangkoyu Saleah, karena itu sudah menurunkan derajatnya. Padahal ayahnya Dt. Indomo serta Tuanku laras mamaknya mengizinkan untuk menikah dengan perempuan yang dipilihnya. Saniah tiba dengan pengutus yang diutus Ibunya dan segera berkemas untuk berangkat ke padang menemui anak durhakanya itu. Dt.Indomo melarang ia untuk pergi, namun karena kebengisannya ia bersama Saniah dan pengawalnya pergi begitu saja. Di tengah perjalanan entah memang sudah takdir atau balasan dari Allah SWT atas kelakuan ibu dan anak itu kepada orang yang tak bersalah sangat amat diluar batas. Terjadi sebuah kecelakaan yang amat dahsyat, mobilnya terlempar jauh dari atas tebing ke sebuah danau sehingga tak terselamatkan Ibu dan Anak tersebut, Kuasa Allah supir dan pengawal masih hidup bahkan pengawal tidak terluka sedikitpun.

Asri, Dt. Indomo, Rusiah kakanya Saniah sangat berduka cita memohonkan Ampun kepada Allah SWT atas dosa yang telah diperbuat oleh kedua Ibu dan Anak itu. Kini Asri tiada beristirahat. Kalender masih terus berjalan selesai sudah bela sungkawa atas tragedi tersebut kini, ia seorang diri di rumah gadang, sudah banyak wanita yang hendak melamar Asri akan menjadi suaminya dengan berbagai macam dalih harta kekayaan. Namun bukan kekayaan yang Asri mau melainkan kebahagiaan dalam rumah tangga yang ia inginkan dan kebahagiaan itu ia dapati dalam diri Asnah.

Mulai berbincang dia dengan kepala suku agar mengizinkan ia menikah dengan Asnah. Namun, kepala suku tetap melarangnya ketika ia nekat melakukan hal tersebut maka ia aka dikucilkan bahkan di usir dari kampung halamannya itu, Sungai Buitang. Ia tetap pada pendiriannya tidak akan menikah kecuali dengan Asnah baginya itu tiada melanggar agama karena mereka tidak dilahirkan dari rahim yang sama. Kemudian ia memutuskan untuk mendatangi kebahagiaanya itu di banyun dan menikahinya dengan segala fikir panjang meninggalkan segala harta kekayaan yang ia miliki serta tanah yang di wariskan ibunya kepada Asnah pun ditinggalkannya. Kemudian ia menemui sang penenang hatinya di Banyur, dan hendak berencana merantau dan menikah dengan Asnah di negeri rantauan. Ibu Maliah berfikir mengapa harus repot-repot menikah di Negeri rantauan disini pun mereka bisa menikah. Ibu Maliah mencarikan penghulu dengan diam-diam malam hari menikahkan kedua manusia itu, kemudian mereka pergi meninggalkan segala-galanya.

Ke jakarta mereka merantau tidak mempunyai apapun selain harus mulai mencari pencaharian, di sana kedua Insan itu tinggal disebuat rumah kontrakan dan sambil mempelajari banyak hal baru di Jakarta. Belum lama di jakarta, Asri mendapatkan pekerjaan yang layak dengan pangkat tinggi sedangkan Asnah belajar banyak hal tentang R.A. Kartini yang sangat menjunjung kaum perempuan. Satu tahun lebih sudah berlalu, mereka bahagia hidup disana dan bercengkrama dengan para tetanggnya, saling mengasihi satu sama lain dan tertawa riang. Setelah itu walaupun awal mereka pergi itu sangat dibenci dan dicemooh oleh orang kampungnya. Namun, mereka mendapat surat kabar dari Dt. Bendahara kampung halamannya bahwa mereka sangat dibutuhkan bagi masa depan masyarakat. Semua warga telah sadar dari kebencian dan cemoohan yang mereka lemparkan kepada Asnah dan Asri ialah salah. Asri diminta untuk menjadi kepala Negara. Kemudian kedua suami istri itu pulang kembali kekampung halamannya atas perintah masyarakat, juga akan membangun segalanya yang telah rusak. Serta akan membekali masyarakat setempat bahwa betapa pentingnya pendidikan bagi kehidupan.

 

Nur St. Iskandar sangat amat rapih mengemas kisah yang terjadi di Minangkabau, Sumatera barat itu. Banyak sisi yang dapat diambil dalam Novel ini. Mulai dari percintaan, perkawinan, adat, agama, balas budi, dan harta kekayaan. Semuanya sudah dikemas rapih oleh penulis agar para pembacanya dapat mengerti akan keadaan sosial yang amat rumit dilalui di Negeri tersebut. Banyak pesan moral yang terdapat dalam Novel ini, rupanya penulis ingin mengingatkan kepada banyak orang bahwa jangan pernah melibatkan kekayaan dalam sebuah percintaan atau bahkan hal apapun Karena hakikatnya kekayaan tidak akan menjadi tolak ukur kebahagiaan seseorang.

Di samping banyaknya kelebihan dalam Novel tersebut, banyak pula beberapa kosa kata yang sulit difahami sehingga harus menelaah baik-baik apa maksud kata tersebut, tetapi ada sebuah pelajaran berharga dari Novel Salah Pilih ini, bahwa baik buruk suatu hal yang kita lakukan semuanya akan ada balasannya, kejahatan akan dibalas dengan kejahatan pula, begitu juga dengan kebaikan akan dibalas dengan kebaikan juga, bahkan bisa berlipat ganda.

Ikuti tulisan menarik iqbalhusni fauzan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu